Saturday 21 February 2015

I'TIBAR ROSSUL dan PENANAMAN ETIKA MASYARAKAT MODEREN

I'TIBAR ROSSUL ?
PENANAMAN ETIKA ?
MASYARAKAT MODEREN ?

Friday 20 February 2015

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KISAH NABI IBRAHIM AS DAN NABI ISMAIL AS (Studi Komparatif antara Kitab Tafsir al-Ibris dan Kitab Tafsir al-Jalalain) (BAB 2)

BAB II
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DAN KARAKTER


A.      Karakter Nafsiyyah
Karakter Nafsiyyah merupakan karakter atau perilaku seseorang yang kaitannya dengan diri sendiri. Karakter ini dimaksudkan untuk menjaga, melindungi maupun menghormati diri supaya berkepribadian mulia. Nilai-nilai yang tergolong pada karakter nafsiyyah ini terdiri dari :
1.    Jujur
Jujur sangat dibutuhkan untuk diterapkan pada perilaku kehidupan tiap manusia. Jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau perbuatan). Maka dari itu hal ini merupakan salah satu sifat manusia yang mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya mudah mendapat kepercayaan dari orang lain sedangkan lawan dari sifat jujur adalah khianat.
Sifat jujur merupakan salah satu rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah adalah ibarat barang titipan yang harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, berhasil atau tidaknya suatu amanah sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanah tersebut. Jika orang yang memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur (khianat) maka “keselamatan” amanah tersebut pasti “tidak akan tertolong” dengan arti lain tidak akan terwujud amanah yang diberikan.
Allah S.W.T, berfirman mengenai sifat jujur seperti halnya pada Qs. Annisa : 58 berbunyi :
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. [1]

Ayat tersebut menjelaskan tentang proses berjalannya kejujuran yang dilakukan karena adanaya perintah/titipan untuk diberikan atau disampaikan kepada perorangan atau kelompok. Dalam kitab tafsir al-Ibris,  kalimat amanat (M»uZ»tBF{$# ) diartikan “ing piro-piro amanah”[2] (Ind = terhadap beberapa amanah), jadi yang harus dilakukan bukan hanya jujur dalam satu hal saja melainkan bermacam tingkah harus dibarengi dengan sifat jujur. Kemudian setelah kalimat tersebut disambung dengan kalimat “ $ygÎ=÷dr&n<Î) ”, hal itu berarti bahwa kejujuran itu bukan sekedar untuk diri sendiri melainkan berdampak kepada yang disamapikan amanah dengan tujuan apa yang dititipakan sampai kepada penerima secara utuh karena adanya perilaku jujur terhadap amanah tersebut sekalipun nilai jujur itu hanya diperoleh oleh pembawa amanat.
Hianat sebagai lawan dari jujur ini diserukan kepada orang beriiman supaya dihindari / tidak dilakukannya sebagaimana firman Allah S.W.T dalam Q.S. al-Anfal : 27 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? .

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.[3]

Ayat tersebut diatas terdapat huruf ahtaf  “ Ÿw ” yang bermakna larangan atau (Ind = jangan).[4] Hal itu berarti Allah S.W.T melarang sifat khianat lawan dari sifat jujur untuk dilakukan oleh orang yang diseru dalam hal ini adalah khusus orang beriman.
Jujur sebagai sebuah sifat atau karakter sangat diperhatikan oleh Allah S.W.T sebagi sebuah tindakan atau ekspresi  umatnya agar tercipta sebuah peralihan pesan secara fisik maupun non-fisik tanpa adanya pengurangan (khianat) oleh pelakunya dengan tujuan tercipta keadilan sekalipun Allah S.W.T dalam Q.S. al-Anfal : 27 disebut dengan dzat yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.

2.    Kerja Keras
Kerja keras adalah usaha maksimal untuk memenuhi keperluan hidup di dunia dan di akhirat disertai sikap optimis. Setiap orang wajib berikhtiar maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia dan akhirat. Kebutuhan hidup manusia baik jasmani maupun rohani harus terpenuhi.[5] Kebutuhan itu akan diperoleh dengan syarat apabila manusia mau bekerja keras dan berdo’a maka Allah S.W.T pasti akan memberikan nikmat dan rizki-Nya.
Proses seseorang supaya tercapai apa keinginannya hanayalah dengan kerja keras, sebuah keinginan tanpa adanya kerja keras maka tidak akan tercapai dengan maksimal. Kerja keras ini merupakan proses fisik manusia suapaya keadaan dapat berubah menjadi lebih baik. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. ar-Ra’du : 11 yang berbunyi :
žcÎ). . . . ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur.  
Artinya         :  . . . . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[6]

Merujuk pada potongan ayat di atas, maka setiap manusia haruslah mengusahakan untuk kehidupannya, tidak sekedar menunggu rizki dari Allah S.W.T dengan berpangku tangan saja sekalipun pada ketentuan takdir hanya Allah S.W.T yang menentukannya. Dalam kitab al-Jalalain surat tersebut dijelaskan bahwa :
(cÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/) لَايَسْلُبُهُمْ نِعْمَتَهُ (4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/) مِنَ اْلحَـالَـةَ اْلجَمِيلَةِ بِالمعصيَةِ (!#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß) عَذَابًا  (Ÿxsù  ¨ŠttB ¼çms9 ) من المُعَقِباَ تِ وَلَا غَيْرِهاَ ( $tBur Oßgs9)  لمن ارا د الله بهم سُوَءًا (`ÏiB  ¾ÏmÏRrߊ) اى غيرِ اللهِ  (`ÏB) زَائدةٌ (A#ur) يَمْنَعُهُ عَنهمْ.[7]

Tafsir pada ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah S.W.T tidak merubah kenikmatan suatu kaum dari hal yang baik ataupun buruk kecuali ia sendiri yang berusaha akan tetapi Allah memiliki hak untuk memberi adzab dan tidak ada pula dzat lain yang sanggup dimintai pertolongan. Posisi manusia sebagai sosok makhluk diberi kewenangan untuk mengatur kehidupannya melalui proses kerja keras hal ini berarti manusia dalam kehidupannya memiliki kewajiban untuk membela diri supaya kehidupannya tidak sekedar terbawa arus untuk mengikuti takdir yang diterimanya sekalipun segala sesuatunya berpangkal pada kebijakan Allah S.W.T.            
                     
3.    Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah Shobaro صَبَرَ)  [8]( yang membentuk infinitif  (masdar) menjadi. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah S.W.T dalam Qs. al-Kahfi : 28 berbunyi :
÷ŽÉ9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# šcqããôtƒ Næh­/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbr߃̍ム¼çmygô_ur ( Ÿwur ß÷ès? x8$uZøŠtã öNåk÷]tã ߃̍è? spoYƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( Ÿwur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tR̍ø.ÏŒ yìt7¨?$#ur çm1uqyd šc%x.ur ¼çnãøBr&  [9].$WÛãèù
Artinya :  Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Ayat tersebut mejelaskan bahwa kesabaran atau perilaku sabar merupakan kepasrahan seutuhnya terhadap kehendak Allah S.W.T sebagai wujud keimaanan yang tidak hanya menuruti hawa nafsunya sehingga berpaling untuk tidak berseru kepada Tuhan karena tergiur oleh gemerlapnya keindahan duniawi sehingga terperangkap dalam keadaan yang dianggap melampaui batas oleh Tuhannya. Menurut Saleem Hardja Sumarna bahwa :
Sabar sebagai salah satu sifat istimewa dalam penentu kesuksesan. Menjadi sabar membuat anda bisa menjaga perspektif. Anda bisa mengingat. Bahkan dalam situasi yang sulit.[10]
 
Hal itu berarti sikap sabar pada diri seseorang dapat meningkatkan  daya ingat terhadap sesuatu hal yang dibutuhkan sekalipun pada saat itu situasi tidak memungkinkan.
Kalimat awal (y7|¡øÿtR÷ŽÉ9ô¹$#ur) pada ayat diatas, dalam Tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa “Sira kudu nyabar-nyabar ake awak iro”[11] (Ind = Kamu harus mengekang perilaku sabar kepada diri sendiri), hal itu berarti mengandung makna bahwa sabar sebagai suatu kewajiban yang harus diterapkan untuk diri sendiri (asalkan tidak melanggar dari kodrat sebagai manusia) sekalipun perilaku tersebut berat untuk dilakukan karena adanya keindahan dunia yang pada saat itu juga dapat dirasakan secara nyata.
Ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad SAW. Supaya memelihara Fuqoro Il Muslimin dan duduk bersama mereka. Ayat ini lebih kuat dari pada surat al-An’am karena disana hanya mencegah untuk tidak mengusir saja tanpa harus duduk bersama mereka, seolah-olah Allah S.W.T dalam ayat tersebut berkata kepada Nabi : “kekanglah hawa nafsumu dari sesuatu yang dibenci oleh selain mu, seerti : usangnya pakaian fuqoro’ dan bau badan mereka, dan janganlah kamu berpaling dari mereka karena menaruh perhatian atas  kebaikan orang-orang kaya dan keindahan pakaian mereka, karena keindahan lahiriyyah saja tanpa keindahan batiniyyah tidak ada manfaatnya”. Dalam kitab Khasiyatus ash-Showiy ‘ala Tafsir al-Jalalain, dijelaskan bahwa :
(واصبر نفسك) فى هـذه الا ية أمر لنبي ص.م بمراعـاة فقراه المسلمين والجلوس معهم. وهي من اية الأنعام, لأن تلك انما نهي فيها عن طردهم : وهذه امر بحبس نفسه علي الجلوس معهم, وكأن الله يقول : نفسك على ما يكرهه غيرك من رثاثه ثياب الفقراء ورائحتهم الكريهة, ولا تلتفت لجمال الأغنياء وحسن ثيابهم, فاءن حسن الظاهر مع فساد الباطن غير نافع.[12]
   
Nabi Muhammad dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik al-Harits bin Ashim al-Asy'ari r.a. berkata bahwa : Rasulullah S.A.W bersabda :
وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال ‏ :‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏ :‏ ‏"‏الطهور شطر الإيمان، والحمد لله تملأ الميزان، وسبحان الله والحمد لله تملآن -أو تملأ- ما بين السماوات والأرض، والصلاة نور، والصدقة برهان، والصبر ضياء، والقرآن حجة لك أو عليك‏.‏ كل الناس يغدو، فبائع نفسه فمعتقها، أو موبقها‏"‏ ‏‏‏(‏رواه مسلم‏)‏‏‏‏.[13]

Artinya :     Dari Malik al-Harits bin Ashim al-Asy'ari r.a. berkata : Rosulullah S.A.W bersabda : "Bersuci adalah separuh keimanan dan Alhamdulillah itu memenuhi imbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah itu dapat memenuhi atau mengisi penuh apa-apa yang ada di antara langit-langit dan bumi. Shalat adalah pahala, sedekah adalah sebagai tanda - keimanan bagi yang memberikannya - sabar adalah merupakan cahaya pula, al-Quran adalah merupakan hujjah untuk kebahagiaanmu - jikalau mengikuti perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya - dan dapat pula sebagai hujjah atas kemalanganmu - jikalau tidak mengikuti perintah-perintahnya dan suka melanggar larangan-larangannya. Setiap orang itu berpagi-pagi, maka ada yang menjual dirinya - kepada Allah - bererti ia memerdekakan dirinya sendiri - dari siksa Allah Ta'ala itu - dan ada yang merosakkan dirinya sendiri pula - kerana tidak menginginkan keredhaan Allah Ta'ala." (HR Muslim).

Hadits tersebut di atas menyinggung masalah sabar, yang mana disitu dijelaskan bahwa sabar adalah sebuah penerang / cahaya (والصبرضياء), penerang yang dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Qs. al-Kahfi : 28 yaitu penerang dalam segi penentu kesuksesan, menjaga perspektif dan ingatan.

4.    Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab, jadi tanggung jawab adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau  perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai wujud kesadaran akan kewajibannya.[14] Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertang­gung jawab. Disebut demikian karena manusia, selain merupa­kan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks sosial, individual ataupun teologis.
Dilihat dari sisi makhluk individu, manusi memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala urusan yang kaitannya dengan diri sendiri. Maka dari itu manusia memposisikan diri untuk menjawab segala kebutuhannya supaya dapat selalu menjalankan kelansungan hidupnya tanpa harus berharap banyak kepada orang lain, oleh sebab itu tanggung jawab bagian pokok dari kehidupan manusia. Selaras dengan fitrah, tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini, Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.
Manusia sebagai makhluk Individu dalam bertanggung jawab atas kehidupannya wajib memenuhi kebutuhan pangan dari tenaganya sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W : 
عَنِ اْلمَقْدَادِ بْنِ سَعْدِ يَكْرِبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلَ يَدَيْهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى(
Artinya :  Dari Makdad bin Sa’di Yakrib r.a, Rosulullah S.A.W bersabda : Tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang melebihi makanan yang berasal dari buah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud AS makan dari hasil tangannya sendir. (H.R Bukhori).

Hal tersebut berarti bahwa manusia akan terhormat ketika memenuhi kebutuhan pangannya berasal dari cirih pAyah atau usahanya sendiri tanpa berharap secara lebih terhadap orang lain sekalipun manusia tidak mungkin jika tidak membutuhkan orang lain. Manusiapun dibebani dengan tangung jawab sosial karena manusia juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan terhadap sesama ataupun makhluk lain tanpa me-nafi-kan manusia sebagai sosok hamba dihadapan Tuhannya.
 Karakter Nafsiyyah inilah yang akan individu rasakan atau menanggungnya secara nyata bukan orang lain yang berada di lingkungan kita untuk berperan penuh terhadap segala kebutuhan yang diperlukan. Sebagai sosok individu, manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab mutlak akan tingkah lakunya sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam Qs. Saba : 25.
@è% žw šcqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& Ÿwur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? .


B.       Karakter Insaniyyah
Al-Insan terbentuk dari kata (نسي – نسيًا و نسيانًا) yang berarti lupa.[15] Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-Insan yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai Insaniyyah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah S.W.T  dalam surat at-Tiin : 6.
žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî .5bqãYøÿxE [16]

Artinya : “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Karakter Insaniyyah umumnya ditafsirkan sebagai karakter  seseorang dalam membina perhubungan baik dengan diri sendiri dan orang lain, yaitu apa yang dikatakan sebagai kemahiran intrapersonal dan kemahiran Interpersonal. Kaitannya manusia memiliki karater Insaniyyah karena manusia sebagai sosok yang bermasyarakat maka harus mempertimbangkan bahwa disekelilingnya terdapat kelompok lain yang dapat dibutuhkan dan membutuhkan sehingga saling membutuhkan antar satu sisi sekalipun tidak terikat perjanjian. Dalam segi Insaniyyah ini nilai-nilai yang perlu diterapkan sebagi penopang karakter adalah :
1.      Tolong Menolong
Manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dalam pembahasan sebelumya, membutuhkan uluran orang lain sekalipun tidak diperkenankanya hanya sekedar berpangku tagan kepada orang lain maka dari itu perlu dibangun jiwa tolong menolong sebagai pemenuh kebutuhan dalam membentuk karakter Ilaahiyyah. Tolong menoloh disini adalah tolong menolong yang kaitannya dengan kebaikan bukan dalam hal buruk atau melanggar aturan Islam.  Allah S.W.T menganjurkan hal ini sebagai mana dalam Qs. al-Maidah : 2 :
 . . . . (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 . . . .[17]
Artinya              : . . . . dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran . . . .
Dari ayat tersebut diatas, jelas bahwasannya tolong menolong yang dianjurkan adalah yang kaitannya dengan hal kebaikan. Dalam Tafsir al-Jalalain potongan ayat tersebut ditafsirkan :
(وتعاونوا على البر) فعل ما أمرتم به (والتقوى) بترك ما نهيتم عنه (ولا تعاونوا) فيه حذف إحدى التاءين في الأصل (على الإثم) المعاصي (والعدوان) التعدي في حدود الله [18].
Tafsir tersebut menjelaskan bahwa anjuran tolong menolong atas kita semua dalam hal kebaikan terhadap semua hal dengan dasar (fondasi) ketaqwaan, dan janganlah kalian dalam hal ini orang yang beriman atau kalian pelaku tolong menolong untuk dosa (maksiat) dan jangan berseteru terhadap ketetapan Allah S.W.T.
Tolong menolong yang diperioritaskan disini adalah terhadap segala unsur kebaikan bukan terhadap pelanggaran kepada norma atau aturan yang berlaku.  Tradisi tolong menolong sudah ada dan dilakukan oleh masyarakat sejak zaman Rosululllah S.A.W, sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid al-Juhani r.a.,
وعن أبى عبد الرّحمن زيدبن خالد الجهنيِ رضي الله عنه قال : قال نبيُّ الله ص.م : من جهز غازِياً في سبيل الله فقد غزا, وعن خلف غازيا في أهله بخيرٍ فقدغزا. (متفق عليه)[19]

Artinya : Dari Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid al-Juhani r.a., katanya : "Nabiyullah S.A.W. bersabda : "Barangsiapa yang memberikan persiapan bekal untuk seseorang yang berperang fi sabilillah, maka dianggaplah ia sebagai orang yang benar-benar ikut berperang yakni sama pahalanya dengan orang yang ikut berperang itu. Dan barangsiapa yang meninggalkan kepada keluarga orang yang berperang  fi sabilillah berupa suatu kebaikan apa-apa yang dibutuhkan untuk kehidupan keluarganya itu, maka dianggap pulalah ia sebagai orang yang benar-benar ikut berperang." (Muttafaq 'alaih)

Hadits tersebut diatas menjelaskan yang intinya bahwa tolong menolong dalam bentuk memberikan persiapan atau bekal untuk seseorang disamakan dengan pelaku yang ditolong (dalam teks hadits adalah Fi Sabilillah) maka penolong tersebut sama halnya dengan melakukan tindaka serupa, sedangkan jika memenuhi kebutuhan berupa kebaikan terhadap keluarga yang ditinggalkan berperang dianggap sebagai orang yang turut serta berperang. Keistimewaan tolong menolong ini sangatlah mulia sekalipun apa yang dilakukan berbeda tetapi memiliki nilai kesamaan dengan pelaku yang ditolong.

2.      Toleransi
Toleransi dalam kajian fiqih Islam masuk kategori al-mu’amalat (interaksi sosial) hal ini menjadi kebutuhan penting manusia sehingga manusia akan terpuruk dalam kesesatan jika dia tidak menemukan singkronisasi kebajikan, baik yang ada hubungannya secara vertikal maupun horizontal. Toleransi merupakan istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi  terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Istilah toleransi dalam bahasa Arab dapatt disamakan dengan istilah "سَمُحَ – سمْحاً وسِمَاحًا وسمَاحَةً"  . Kata ini pada dasarnya berarti murah hati atau suka berderma.[20] Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada / terbuka dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan untuk umat  Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’alamin” (agama yang mengayomi seluruh alam),  Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada melainkan harus dapat memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tidak mungkin disamakan.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/  .šcqè=yJ÷ès?
Ayat diatas sebagai seruan untuk orang beriman, dapat disimpulkan bahwa anjuran untuk menegakkan kebenaran didasarkan atas Allah, memiliki sikap adil dan dilarang untuk membenci  suatu kaum hingga berlaku tidak adil. Maka dari itu, toleransi sebagai sebuah media karakter dalam masyarakat perlu diterapkan tanpa adanya sikap pandang bulu kepada suatu kelompok untuk terbentuknya nilai keadailan.
Nabi Muhammad S.W.T, dalam sebuah hadits  bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ أَبُو يَعْلَى)[21]

Artinya         :  dari Anas bin Malik RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim dan Abu Ya’la).
Dari hadits tersebut terdapat kalimah “li-jaarihi” (لِجَارِهِ) yang bermakna tetangga, sebagaimana dalam pembahasan diatas bahwa sanya ketika hidup dalam bermasyarakat tidak hanya dihuni oleh satu kelompok yang sama melainkan berbeda, maka dari itu kalimat “li-jaarihi” dalam hadits tersebut tidak bisa bermakana tetangga muslim saja melainkan non-muslim yang ada disekitarnyapun perlu dan membutuhkan sikap toleransi. Dapat kita ketahui bahwa Rasulullah S.A.W tidak hanya bertetangga dengan Muslim namun beliau juga bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar Madinah kala itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka sama-sama mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga punya hak untuk mendapatkan kedamaian.
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim, yaitu :[22]
-          Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
-          Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
-          Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.
-          Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir.


3.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari. Upaya peningkatan kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif, dengan kompetisi ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan aturan yang ada atau yang telah disepakati untuk diterima sebagai proses kebaikan. Tidak sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu dan merugikan orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai bencana  kehidupan, maka diperlukan ada orang atau sekelompok orang yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang tidak baik. Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an sebagai “amar makruf nahi munkar”.
Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini sebagai sebuah keberuntungan sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam Qs. Ali Imran : 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#

Artinya           :  Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[23]

Dari ayat tersebut jelas bahwasanya Amar Ma’ruf Nahi Munkar setidaknya ada yang melakukannya pada kelompok masyarakat, dengan tujuan supaya dapat tergolong pada kelompok orang yang beruntung. Disisi lain dari ayat tersebut juga terdapat devinisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar,  pada kalimah ma’ruf  (معرف) bermakna segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; dan dalam kalimah  Munkar (منكر) ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.[24] Secara utuh,  Amar Ma’ruf Nahi Munkar diartikan dengan “menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, disamping kewajiban-kewajiban lain”.[25]
Sebelum seseorang melakukan aktivits Amar Ma’ruf Nahi Munkar perlu adanya bebarapa hal sebagai bekal untuk dimiliki, diantaranya adalah :
a.         Berilmu
Menyadari bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran, maka perlu dipergunakannya untuk melakukan sebuah tindakan. Ilmu sebagai buah dari akal pikiran nantinya menjadi kendanli atau mengkonsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar supaya tidak terbalik. Perilaku manusia dalam aktivitas atau kebiasaan hidupnya sangat ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya. Maka dari itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang dilakukannya harus dibekali dengan ilmu sehingga tindakkan tersebut dapat diterima oleh objek bahkan tidak salah dalam memahaminya.
Kaitannya dengan ilmu, manusia yang memiliki akal inilah nantinya dapat dengan mudah menerima pelajaran. Allah S.W.T berfirman dalam Q.s az-Zummar : 9 
…. 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Artinya :  . . . . Katakanlah : "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Ayat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa antara berilmu dengan tidak berilmu ini menjadi beda sedangkan orang yang berakallah sesungguhnya orang yang sanggup menerima pelajaran. Dari itu semualah kiranya ilmu harus dijadikan bekal dalam melangkah atau melakukan aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
b.        Lemah Lembut
Lemah lembut atau baik hati (tidak pemarah); peramah[26] merupakan perilaku yang perlu dibangun untuk berkomunikasi sosial dalam lingkungan. Sikap ini perlu dibangun karena dapat menciptakan masyarakat yang nyaman adanya kebijakan yang humanis. Lemah lembut merupakan sikap yang baik, sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي إِسْمَعِيلَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ قَالَ سَمِعْتُ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حُرِمَ الرِّفْقَ حُرِمَ الْخَيْرَ أَوْ مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ. (رواه مسلم)[27]
Artinya                : Yahya bin Yahya mengatakan Abdul Wahid bin  Ziyad dari Muhamad bin Abi Ismail Abdul Rahman bin Hilal mengatakan Jalil bin ‘abdillah mengatakan Bahwa Rosulullah S.A.W bersabda “Barang siapa dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang), berarti ia dijauhkan dari kebaikan”.(HR. Muslim).

Hadits tersebut pada intinya bahwa ketika sifat lemah lembut (kasih sayang) pada seseorang telah hilang berarti kebaikan yang dimiliki oleh orang tersebut telah jauh, jadi ketika seseorang masih memiliki ke-lemah lembut-an itu berarti orang tersebut tergolong oranng baik karena masih dekat dengan kebaikan sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad S.A.W.

c.         Bersabar
Sabar atau bersabar sebagaimana dijelaskan dalam karakter Insaniyyah, penerapan dalam melakukan aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak kalah penting sebab selain sabar sebagai penerang dalam melakukan aktivitas yang terkait dengan diri sendiri ini juga sebagai memiliki dampak besar ketika harus berhadapan dengan orang banyak untuk meneraapkan segala aktivitasnya dalam berbuat Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Pekerjaan sabar ini harus dilakukan dengan keteguhan hati sekalipun secara materi sangat dirugikan. Kesabaran yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad S.A.W kaitannya dengan materi sebagaimana dalam sebuah hadits :
وعن أبي سعيد سعد بن مالك بن سنان الخدري رضي الله عنهما‏ :‏ ‏"‏أن ناساً من الأنصار سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاهم، ثم سألوه فأعطاهم ، حتى نفد ما عنده، فقال لهم حين أنفق كل شيء بيده ‏ :‏ ‏"‏ما يكن عندي من خير فلن أدخره عنكم ، ومن يستعفف يعفه الله، ومن يستغن يغنه الله، ومن يتصبر يصبره الله‏.‏ وما أعطي أحد عطاءً خيراً وأوسع من الصبر‏"‏ ‏ (‏متفق عليه‏)‏‏[28]

Artinya              : Dari Abu Said iaitu Sa'ad bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiallahu 'anhuma bahawasanya ada beberapa orang dari kaum Anshar meminta  sedekah kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau memberikan sesuatu pada mereka itu, kemudian mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya pula sehingga habislah harta yang ada di sisinya, kemudian setelah habis membelanjakan segala sesuatu dengan tangannya itu beliau bersabda : "Apa saja kebaikan yakni harta yang ada di sisiku, maka tidak sekali-kali akan ku simpan sehingga tidak ku berikan padamu semua, tetapi oleh sebab sudah habis, maka tidak ada yang dapat diberikan. Barangsiapa yang menjaga diri dari meminta-minta pada orang lain, maka akan diberi rezeki kepuasan oleh Allah dan barangsiapa yang merasa dirinya cukup maka akan diberi kekayaan oleh Allah - kaya hati dan jiwa - dan barangsiapa yang berlaku sabar maka akan dikurnia kesabaran oleh Allah. Tiada seorangpun yang dikurniai suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas kegunaannya daripada kurnia kesabaran itu." (Muttafaq 'alaih)

Kisah dalam sebuah hadits tersebut adalah cermin kesabaran yang dapat dinilai rugi secara materi akan tetapi pelu disadari bahwa penerapan sabar yang dilakukan bukanlah untuk mendapatkan keuntungan secara materi akan tetapi kepastian karunia yang dijanjikan oleh Allah S.W.T.

4.      Peduli
Peduli dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan.[29] jadi maksud peduli yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar adalah  sebuah i’tikad dalam melakukan tindakan sosial dengan memperhatikan kondisi lingkungan kemudian memberi solusi sebagai sebuah jawaban nyata terhadap kebutuhan atau masalah yang sedang dialami oleh kelompok masyarakat tersebut sehingga orang lain dapat terhindar dari kesulitan yang sedang dialaminya.
Manusia yang hidup dalam lingkungan sosial tidak bisa terlepas dari berbagai macam permasalahan duniawinya. Maka untuk itu kepedulian sebagai ruh untuk bermasyarakat perlu ditanamkan sebagai media untuk saling merasakan ataupun pemecah masalah. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad S.A.W bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :  مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ) رواه مسلم[30] (
Artinya            : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah S.A.W. bersabda : Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa  yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya. (HR. Muslim).

Permasalahan-permasalahan sosial dalam hadits tersebut tidak berdampak pada urusan duniawi saja bahkan kepedulian yang harus ditangani juga bukan hanya hal-hal yang kasap mata ataupun dapat dilakukan secara materi. Maka kepedulian ini cakupannya luas sehingga kepedulian yang bentuknya psikologis (non materi) seperti menutupi aib perlu dilakukan supaya orang tersebut memiliki rasa nyaman karena dapat diterima oleh masyarakat dan permasalahan tersebut lambat laun akan hilang.

C.      Karakter Ilaahiyyah
Ilaahiyyah sebagai bagian karakter dalam perilaku manusia ini tiada lain adalah sebagai media vertical (ibadah) terhadap sang pencipta supaya tata caranya sesuai dengan kehendak Allah. Secara fisik manusia dilihat dari tingkah “basyariyyah” dengan binatang tidaklah berbeda. Namun perlu disadari bahwa manusia diciptakan tidak sekedar untuk hidup saja melainkan sebagi sosok sental yang berperan ganda dalam kehidupan dunia. Sebagai ‘abd dalam pencitraannya manusia harus memahami tata  caranya supaya apa yang diajukan kepada sang khalik dapat samapai dan terjawab.
Dari uraian tersebut kita fahami bahwa pada dasarnya manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jasad / materi dan roh/immateri. Jasad manusia berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau hukum Allah S.W.T. yang berlaku di alam materi (Sunna­tullah). Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada di alam arwah, sudah mengambil kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah S.W.T. sebagai Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya sebagaimana dalam Q.S. al-A’raf : 172 :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî
Artinya         : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab : "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",[31]

Konsisten terhadap eksistensi diri atau naturnya, maka salah satu tugas hidup yang harus dilaksana­kannya adalah menghambakan dirinya melalui perjanjian (agama) yang dipastikan Allah S.W.T., posisi manusia sebagai ‘abd ini awal penciptaannya memang sebagai pengabdi. Dalam karakternya, manusia selain harus memiliki kepiyawaian untuk melakukan urusan duniawi maka perlu pula penyeimbang supaya dapaat tergolong dalam ranah insanul kamil. Untuk masuk dalam tatanan tersebut maka ibadah kepada Allah khususnya ibadah Mahdhah perlu dibangun kearifan supaya bentuk ataupun tidakan manusia tidak bertentangan.  Dalam ibadah, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh manusia supaya tidak sia-sia dalam penilaian Allah. Adapun cara tersebut adalah :
1.      Iman
Iman yang dimaksud disini adalah ketetapan hati; keteguhan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin atas keberadaan Allah.[32] Bagi manusia, iman ini berarti cara atau jalan untuk menganggap terhadap adanya Allah S.W.T. Kaitannya dengan religiousitas manusia,agama (Islam) sebagai jalan maka kunci pokok untuk menanamkan sikap keteguhan hati karena yakin adanya Allah S.W.T. Letak iman pada diri seseorang harus berdiri di atas keyakinan yang kuat,[33] sehingga ketika seseorang memiliki keimanan yang kuat akan merasa diawasi oleh Allah S.W.T dalam segala tingkahnya karena Allah S.W.T sebagai dzat jelas tanpa adanya keraguan terhadapnya. Maka dari itu, Iman laksana benteng yang akan menjaga setiap muslim dari godaan, gangguan dan tantangan, terutama yang datang dari luar dirinya. Iman akan menjadikan seorang muslim mempunyai pegangan yang kuat dalam kehidupan.
Al-qur’an menjelaskan tentang keimanan sebagaimana dalam Q.s al-Mu’minun : 1-5 :
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ
Artinya         : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.[34]
sejumlah indikator keimanan seorang muslim dalam ayat tersebut adalah :
1)      Seorang muslim yang melaksanakan sholat dengan khusyu’
2)      Seorang muslim yang menghindari ungkapan yang tidak bermanfaat.
3)      Seorang muslim yang menunaikan zakat.
4)      Seorang muslim yang menjaga kemaluannya.
Indikator tersebut yang bersumber dari surat diatas sangat terlihat jelas bahwasanya iman seseorang tidak sekedar untuk mementingkan dirinya sendiri namun perlu melihat keadaan sekitar (menghargai kearifan lokal) seperti menjaga lisan, zakat sebagai kepedulian sosial dan menjaga kemaluan; itu berarti Islam dalam teori Iman mengarahkan umatnya untuk melakukan tindakan yang bermanfaat untuk lingkungan sebagai pondasi dalam tatanan rakhmatal lil ‘alamin. 

2.      Ikhlas
Ikhlas sebenarnya mempunyai arti dan makna yang luas, salah satunya yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain baik berupa benda ataupun jasa dan lain sebagainya tanpa mengharapkan imbalan apapun, yang memang niat didalam hati adalah murni hanya memberi dan tidak mengharap sedikitpun dibalas pemberiannya (dalam artian positif).
Dilihat dari segi bahasa, ikhlas  berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ)[35] dengan menambahkan satu huruf ‘alif (أ); Bentuk mudhari’ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص), sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “bersih hati; tulus hati”,[36]  maksudnya adalah dalam melakukan segala bentuk tindakan positif harus bersih hati atau tulus hati tanpa meminta balas budi atau penilaian kecuali dari Allah. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikhlas itu bukanlah pekerjaan fisik yang atsarnya terlihat oleh mata manusia.
Kaitannya dengan amal ibadah, Ikhlas ini seakan-akan menjadi kekuatan untuk sampainya pesan kita kepada Allah S.W.T karena tidak ada sekutu atau harapan kepada dzat yang lain. Manusia dalam penciptaannya tiada lain untuk menyembah kepada Allah maka dari itu segala aktivitas manusia harus secara tekad diperuntukkan untuk pengabdian diri kepada sang pencipta tanpa dinodai oleh kebutuhan lain. Allah S.W.T berfirman dalam Qs. Al-Bayyinah : 5.
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$#
Artinya :     Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[37]

Ayat tersebut diatas merupakan sebuah bukti bahwasanya kemurnian dalam ibadah tidak bisa ditawar atau ada kebutuhan lain selain untuk berharap kepada Allah S.W.T. Dalam sebuah hadits, Rasulullah S.A.W bersabda :
وعن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏ :‏ ‏"‏ إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم‏"‏ ‏‏‏(‏رواه مسلم‏)‏‏.‏
Artinya         : Dari Abu Hurairah, iaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a., katanya : Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian."(HR. Muslim).[38]

Kepastian-kepastian ternilainya ibadah sebagaimana dalam hadits tersebut adalah pekerjaan hati (isi hati) dari pelaku ibadah tersebut. Mengingat kembali bahwasanya ikhlas sebagai karakter Ilaahiyyah yang letaknya di hati maka kaitannya dengan ibadah / menindakkan kegiatan yang diperuntukkan kepada Allah S.W.T harus bersih hatinya supaya tidak mengotori jalan atau tempat yang diridloinya.

3.      Ihsan
Ihsan ((احسن adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “menjadikan baik” atau “memperbaiki”.[39]  Ihsan dalam hubungan kepada Allah adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya (dengan mata hati), jika ia tidak mampu melihat-Nya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.[40] Beribadah secara ihsan merupakan perilaku atau karakter seseorang dalam menghadap kepada tuhannya sehingga konsentrasi terhadap apa yang sedang dilakukannya akan terbangun.
Allah mewajibkan perbuatan Ihsan pada setiap keadaan. Sampai-sampai dalam hal harus membunuh orang (pada jihad fii sabilillah, qishash, atau hukuman syar’i yang lain), sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits dari Abi Ya’la bahwa Rosulullah S.A.W bersabda :
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّاد ابْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. (رواه مسلم )[41]      
 
Artinya    : Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan (berlaku baik) pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan memberi kelapangan bagi hewan yang disembelihnya”. (HR. Muslim)

Allah S.W.T suka kepada manusia yang bisa bersikap ihsan kepada sesama manusia, lebih-lebih jika sikap ihsan itu dilakukan terhadap kedua orang tuanya. Secara khusus Allah S.W.T memerintahkan dengan firmanNya dalam QS. Al-Isra : 23 :
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2
Artinya    :  dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.[42]

Hal itu berarti Islam sangat menghendaki karakter atau kebiasaan yang baik dalam berbagai situasi atau apa yang dihadapinya. Cakupan ihsan kaitannya beribadah kepada Allah S.W.T. itu berarti dengan cara Maqoomul Musyaahadah dan Maqoomul murooqobah, sedangkan lingkup makhluk sosial diterapkan dalam kegiatan yang tidak memuat unsur dzalim.

4.      Takwa
Perintah untuk bertakwa kepada Allah S.W.T. disetiap waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun. Takwa merupakan cara supaya terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah S.W.T. dan menjauhi segala larangan-Nya.[43] Perilaku takwa yang diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya itu berarti tidak hanya dibatasi oleh dimensi apapun. Ketakwaan ini merupakan sebuah wasiat Allah S.W.T untuk setiap manusia sebagaimana dalam Qs. an-Nisa : 131 :
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZøŠ¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$­ƒÎ)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YŠÏHxq  
Artinya           : Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.[44]

Takwa ini oleh Allah S.W.T. diperintahkan kepada umat manusia sejak zaman sebelum Nabi Muhammad S.W.T.dalam ayat lain yang berkenaan dengan karakter takwa, Allah S.W.T berfirman sebagaimana  QS al-Baqoroh : 177 :
}§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$#
Artinya       : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.[45]

Bebrapa hal tergolong dalam ayat tersebut diatas, diantaranya adalah : masalah keimanan, kepedulian sosial dan perlindungan diri. Seseorang sanggup menjalankan shalat sebagai simbol keimanan, peduli terhadap unsur kemanusiaan dan memiliki etika untuk menghargai dirinya itu berarti orang tersebut secara langsung menerapkan ketakwaan yang dianjurkan oleh Allah S.W.T.

Manusia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kehidupannya maka faktor moral dari ke tiga karakter secara global tersebut diatas menjadi tolak ukur simbol kesempurnaan yang harus diterapkannya. Perlindungan untuk dirinya harus dijalani agar segala sesuatu yang menempel pada dirinya bisa selamat, sebagai makhluk sosial maka etika bermasyarakat senantiasa digunakan dengan tujuan supaya segala sesuatu yang ada dalam lingkungan kita tidak menjadi ancaman atau terancam. Mengenai masalah penghambaan diri kepada Tuhan, manusia membutuhkan etika yang harus selalu diterapkan yang tiada lain untuk mendapat keridloan.         




[1] Soenarjo, AL QURAN DAN TERJEMAHNYA, (Semarang :  CV ALWAAH, 1993), hal. 128.
[2] Bisyri Musthofa, al-Ibris lima’rifati Tafsiri al-Qurani al-Azizi Bil Lughoti al-Jaawiyati, Jilid I, (Kudus : Menara Kudus, TT), hal. 219
[3] Soenarjo, Op. Cit., hal. 370
[4] A.W Munawir, Kamus Al Munawir (Arab – Indonesia), (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), Cet 14, hal. 1245
[6] Soenarjo, Op. Cit.,Hal. 370
[7] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-Karim  al-Jalilain al- Imamain, (Semarang : al-‘alawiyah, TT), hal. 202
[8] A.W Munawir, Op. Cit.,  hal. 760
[9] Soenarjo,  Op. Cit., hal. 448
[10] Saleem Hardja Sumarna, Menjadi Pribadi Pemenang, (Klaten : Galmas Publising, 2013), Cet 1, hal. 77
[11] Bisyri Musthofa, Op. Cit, hal. 894
[12] Muhammad Jamil, Khasiyatus ash-Showiy ‘ala Tafsir al-Jalalain, (Surabaya : Alhidayah, TT), Jilid III, Hal. 14
[13]  Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Riyadus Sholihin Min Kalam Syayidi al-Mursalin, (Sampang : Al Haromain, TT), hal. 28
[15] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 1416
[16] Soenarjo, Op. Cit., hal. 95
[17] Ibid, hal. 156
[18] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit, hal. 95
[19] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Op. Cit, hal. 106
[20] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 657
[21] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, Syarah Shohih Muslim, Jilid 1,  (Beirut  Libanon, Darul Fikr, 2004), hal. 15
[22] Yusuf al-Qardhawi, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, (Qahirah : Maktabah Al-Wahbah, 1992), hal. 53-55
[23] Soenarjo, Op. Cit., hal. 93
[24] Loc. Cit
[25] Alex. MA, Op. Cit., hal. 24
[26] Dedy Sugiyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi keempat, hal. 807
[27] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, 0p.Cit, Jilid 9, hal. 124
[28] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Op. Cit, hal. 28
[29] Dedy Sugiyono, Op. Cit,  hal. 1036
[30] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, 0p.Cit, Jilid 9, hal. 19
[31] Soenarjo, Op. Cit., hal. 250
[32] Dedy Sugiyono, Op. Cit,  hal. 526
[33] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta : PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2003), hal. 209
[34] Soenarjo, Op. Cit., hal. 526
[35] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 359
[36] Dedy Sugiyono, Op. Cit,  hal. 521
[37] Soenarjo, Op. Cit, hal. 1084
[38] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Op. Cit,  hal. 9
[39] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 264
[40] Depatemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi … , Jilid 2, Op. Cit., hal. 176
[41] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof  an Nawawi, 0p.Cit, Jilid 7, hal. 9
[42] Soenarjo, Op. Cit, hal. 427
[43] Dedy Sugiyono, Op. Cit., hal. 1382
[44] Soenarjo, Op. Cit., hal. 144
[45] Ibid, Hal 43