A.
Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter
Pendidikan Karakter (Character Education) atau dalam konteks sekarang sangat relevan untuk
mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan
anak-anak dan remaja, kejahatan
terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah
menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas,
oleh karena itu betapa pentingnya
pendidikan karakter. Nilai-nilai
pendidikan karakter yang penting pada kehidupan manusia saat ini terbagi atas tiga poin pokok yaitu:[1]
1.
Karakter Nafsiyyah
Karakter Nafsiyyah merupakan karakter atau perilaku
seseorang yang kaitannya dengan diri sendiri. Karakter ini dimaksudkan untuk menjaga, melindungi maupun menghormati diri
supaya berkepribadian mulia.
Nilai-nilai yang tergolong pada karakter nafsiyyah ini
terdiri dari:
a.
Jujur
Jujur sangat dibutuhkan untuk diterapkan pada perilaku kehidupan
tiap manusia. Jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan seseorang untuk
mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau perbuatan). Maka dari
itu hal ini merupakan salah satu
sifat manusia yang mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya mudah mendapat
kepercayaan dari orang lain sedangkan lawan dari sifat jujur adalah khianat.
Sifat jujur merupakan salah satu
rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur
senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah adalah ibarat
barang titipan yang harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab, berhasil atau tidaknya suatu amanah sangat tergantung
pada kejujuran orang yang memegang amanah tersebut. Jika orang yang
memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan
terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Begitu juga
sebaliknya, jika amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur (khianat)
maka “keselamatan” amanah tersebut pasti “tidak akan tertolong” dengan arti
lain tidak akan terwujud amanah yang diberikan.
Allah S.W.T, berfirman mengenai
sifat jujur seperti halnya pada Qs. Annisa : 58 berbunyi:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat.
[2]
Ayat
tersebut menjelaskan tentang proses berjalannya kejujuran yang dilakukan karena
adanaya perintah/titipan untuk diberikan atau disampaikan kepada perorangan
atau kelompok. Dalam kitab tafsir al-Ibris, kalimat amanat ( M»uZ»tBF{$# ) diartikan
“ing piro-piro amanah”[3]
(Ind = terhadap beberapa amanah), jadi yang harus dilakukan bukan hanya jujur
dalam satu hal saja melainkan bermacam tingkah harus dibarengi dengan sifat
jujur. Kemudian setelah kalimat tersebut disambung dengan kalimat “ $ygÎ=÷dr&n<Î) ”, hal itu berarti bahwa kejujuran
itu bukan sekedar untuk diri sendiri melainkan berdampak kepada yang
disamapikan amanah dengan tujuan apa yang dititipakan sampai kepada penerima
secara utuh karena adanya perilaku jujur terhadap amanah tersebut sekalipun nilai
jujur itu hanya diperoleh oleh pembawa amanat.
Hianat
sebagai lawan dari jujur ini diserukan kepada orang beriiman supaya dihindari /
tidak dilakukannya sebagaimana firman Allah S.W.T dalam Q.S. al-Anfal: 27
yang berbunyi:
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä w (#qçRqèrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? .
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.[4]
Ayat
tersebut diatas terdapat huruf ahtaf “ w ” yang bermakna larangan atau (Ind =
jangan).[5] Hal itu berarti Allah S.W.T melarang sifat khianat lawan dari
sifat jujur untuk dilakukan oleh orang yang diseru dalam hal ini adalah khusus
orang beriman.
Jujur sebagai sebuah sifat atau karakter
sangat diperhatikan oleh Allah S.W.T sebagi sebuah tindakan atau ekspresi umatnya agar tercipta sebuah peralihan pesan
secara fisik maupun non-fisik tanpa adanya pengurangan (khianat) oleh pelakunya
dengan tujuan tercipta keadilan sekalipun Allah S.W.T dalam Q.S. al-Anfal: 27
disebut dengan dzat yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.
b.
Kerja Keras
Kerja keras adalah usaha maksimal untuk memenuhi keperluan hidup di
dunia dan di akhirat disertai sikap optimis. Setiap orang wajib berikhtiar
maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia dan akhirat. Kebutuhan hidup
manusia baik jasmani maupun rohani harus terpenuhi.[6]
Kebutuhan itu akan diperoleh dengan syarat apabila manusia mau bekerja keras
dan berdo’a maka Allah S.W.T pasti akan memberikan nikmat dan rizki-Nya.
Proses seseorang supaya tercapai apa keinginannya hanayalah dengan
kerja keras, sebuah keinginan tanpa adanya kerja keras maka tidak akan tercapai
dengan maksimal. Kerja keras ini merupakan proses fisik manusia suapaya keadaan
dapat berubah menjadi lebih baik. Sebagaimana firman Allah dalam Qs.
ar-Ra’du: 11 yang berbunyi :
cÎ)
. . . . ©!$#
w çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3 !#sÎ)ur
y#ur&
ª!$#
5Qöqs)Î/
#[äþqß
xsù
¨ttB
¼çms9
4 $tBur
Oßgs9
`ÏiB
¾ÏmÏRrß
`ÏB
@A#ur.
Artinya : . .
. . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[7]
Merujuk pada potongan ayat di atas,
maka setiap manusia haruslah mengusahakan
untuk kehidupannya, tidak sekedar menunggu rizki dari Allah S.W.T dengan
berpangku tangan saja sekalipun pada ketentuan takdir hanya Allah S.W.T yang
menentukannya. Dalam kitab al-Jalalain surat tersebut dijelaskan bahwa:
(cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/) لَايَسْلُبُهُمْ نِعْمَتَهُ (4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/) مِنَ اْلحَـالَـةَ اْلجَمِيلَةِ بِالمعصيَةِ (!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß) عَذَابًا
(xsù ¨ttB ¼çms9 ) من المُعَقِباَ تِ وَلَا غَيْرِهاَ ( $tBur Oßgs9) لمن
ارا د الله بهم سُوَءًا (`ÏiB ¾ÏmÏRrß) اى غيرِ اللهِ (`ÏB) زَائدةٌ (A#ur) يَمْنَعُهُ عَنهمْ.[8]
Tafsir pada ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa Allah S.W.T tidak merubah kenikmatan suatu kaum dari hal yang
baik ataupun buruk kecuali ia sendiri yang berusaha akan tetapi Allah memiliki
hak untuk memberi adzab dan tidak ada pula dzat lain yang sanggup
dimintai pertolongan. Posisi manusia sebagai sosok makhluk diberi kewenangan
untuk mengatur kehidupannya melalui proses kerja keras hal ini berarti manusia
dalam kehidupannya memiliki kewajiban untuk membela diri supaya kehidupannya
tidak sekedar terbawa arus untuk mengikuti takdir yang diterimanya sekalipun
segala sesuatunya berpangkal pada kebijakan Allah S.W.T.
c.
Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang
berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia.
Asal katanya adalah Shobaro صَبَرَ ) [9]( yang membentuk infinitif
(masdar) menjadi. Dari
segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini
adalah firman Allah S.W.T dalam Qs. al-Kahfi : 28 berbunyi:
÷É9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# cqããôt Næh/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbrßÌã ¼çmygô_ur (
wur ß÷ès? x8$uZøtã öNåk÷]tã ßÌè? spoYÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# (
wur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tRÌø.Ï yìt7¨?$#ur çm1uqyd c%x.ur ¼çnãøBr& [10].$WÛãèù
Artinya: Dan Bersabarlah
kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja
hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Ayat tersebut mejelaskan bahwa
kesabaran atau perilaku sabar merupakan kepasrahan seutuhnya terhadap kehendak
Allah S.W.T sebagai wujud keimaanan yang tidak hanya menuruti hawa nafsunya
sehingga berpaling untuk tidak berseru kepada Tuhan karena tergiur oleh
gemerlapnya keindahan duniawi sehingga terperangkap dalam keadaan yang dianggap
melampaui batas oleh Tuhannya. Menurut Saleem Hardja Sumarna bahwa :
Sabar sebagai salah satu sifat istimewa dalam penentu kesuksesan.
Menjadi sabar membuat anda bisa menjaga perspektif. Anda bisa mengingat. Bahkan
dalam situasi yang sulit.[11]
Hal itu berarti sikap sabar pada
diri seseorang dapat meningkatkan daya
ingat terhadap sesuatu hal yang dibutuhkan sekalipun pada saat itu situasi
tidak memungkinkan.
Kalimat awal (y7|¡øÿtR÷É9ô¹$#ur) pada ayat diatas, dalam Tafsir al-Ibris
dijelaskan bahwa “Sira kudu nyabar-nyabar ake awak iro”[12] (Ind = Kamu
harus mengekang perilaku sabar kepada diri sendiri), hal itu berarti mengandung
makna bahwa sabar sebagai suatu kewajiban yang harus diterapkan untuk diri
sendiri (asalkan tidak melanggar dari kodrat sebagai manusia) sekalipun
perilaku tersebut berat untuk dilakukan karena adanya keindahan dunia yang pada
saat itu juga dapat dirasakan secara nyata.
Ayat ini adalah
perintah kepada Nabi Muhammad SAW. Supaya memelihara Fuqoro Il Muslimin dan
duduk bersama mereka. Ayat ini lebih kuat dari pada surat al-An’am
karena disana hanya mencegah untuk tidak mengusir saja tanpa harus duduk
bersama mereka, seolah-olah Allah S.W.T dalam ayat tersebut berkata kepada Nabi
: “kekanglah hawa nafsumu dari sesuatu yang dibenci oleh selain mu, seerti :
usangnya pakaian fuqoro’ dan bau badan mereka, dan janganlah kamu berpaling
dari mereka karena menaruh perhatian atas
kebaikan orang-orang kaya dan keindahan pakaian mereka, karena keindahan
lahiriyyah saja tanpa keindahan batiniyyah tidak ada manfaatnya”. Dalam kitab Khasiyatus ash-Showiy ‘ala
Tafsir al-Jalalain, dijelaskan bahwa :
(واصبر نفسك) فى هـذه الا ية أمر لنبي ص.م بمراعـاة فقراه المسلمين
والجلوس معهم. وهي من اية الأنعام, لأن تلك انما نهي فيها عن طردهم : وهذه امر
بحبس نفسه علي الجلوس معهم, وكأن الله يقول : نفسك على ما يكرهه غيرك من رثاثه
ثياب الفقراء ورائحتهم الكريهة, ولا تلتفت لجمال الأغنياء وحسن ثيابهم, فاءن حسن
الظاهر مع فساد الباطن غير نافع.[13]
Nabi Muhammad dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik al-Harits bin Ashim al-Asy'ari r.a. berkata bahwa:
Rasulullah s.a.w. bersabda:
وعن
أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : "الطهور شطر الإيمان، والحمد لله تملأ الميزان، وسبحان الله
والحمد لله تملآن -أو تملأ- ما بين السماوات والأرض، والصلاة نور، والصدقة برهان،
والصبر ضياء، والقرآن حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو، فبائع نفسه فمعتقها، أو
موبقها" (رواه
مسلم).[14]
Artinya : Dari Malik al-Harits
bin Ashim al-Asy'ari r.a. berkata : Rosulullah S.A.W bersabda : "Bersuci
adalah separuh keimanan dan Alhamdulillah itu memenuhi imbangan, Subhanallah
dan Alhamdulillah itu dapat memenuhi atau mengisi penuh apa-apa yang ada di
antara langit-langit dan bumi. Shalat adalah pahala, sedekah adalah sebagai
tanda - keimanan bagi yang memberikannya - sabar adalah merupakan cahaya pula,
al-Quran adalah merupakan hujjah untuk kebahagiaanmu - jikalau mengikuti
perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya - dan dapat pula sebagai
hujjah atas kemalanganmu - jikalau tidak mengikuti perintah-perintahnya dan
suka melanggar larangan-larangannya. Setiap orang itu berpagi-pagi, maka ada
yang menjual dirinya - kepada Allah - bererti ia memerdekakan dirinya sendiri -
dari siksa Allah Ta'ala itu - dan ada yang merosakkan dirinya sendiri pula -
kerana tidak menginginkan keredhaan Allah Ta'ala." (HR Muslim).
Hadits tersebut di atas menyinggung
masalah sabar, yang mana disitu dijelaskan bahwa sabar adalah sebuah penerang /
cahaya (والصبرضياء), penerang
yang dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Qs. al-Kahfi : 28
yaitu penerang dalam segi penentu kesuksesan, menjaga perspektif dan ingatan.
d.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab, jadi tanggung
jawab adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab
juga berarti berbuat sebagai wujud kesadaran akan kewajibannya.[15]
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab. Disebut
demikian karena manusia, selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial,
juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia
memiliki tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan
sejumlah peranan dalam konteks sosial, individual ataupun teologis.
Dilihat dari sisi
makhluk individu, manusi memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala
urusan yang kaitannya dengan diri sendiri. Maka dari itu manusia memposisikan
diri untuk menjawab segala kebutuhannya supaya dapat selalu menjalankan
kelansungan hidupnya tanpa harus berharap banyak kepada orang lain, oleh sebab
itu tanggung jawab bagian
pokok dari kehidupan manusia. Selaras dengan fitrah, tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu
memiliki sifat ini, Ia akan
semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan
selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa
melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung
jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing
individu berbeda.
Manusia sebagai
makhluk Individu dalam bertanggung jawab atas kehidupannya wajib memenuhi
kebutuhan pangan dari tenaganya sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W
:
عَنِ اْلمَقْدَادِ بْنِ سَعْدِ يَكْرِبَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ
يَأْكُلَ مِنْ عَمَلَ يَدَيْهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى(
Artinya: Dari Makdad bin Sa’di Yakrib r.a,
Rosulullah S.A.W bersabda : Tidak ada makanan yang lebih baik bagi
seseorang melebihi makanan yang berasal dari buah tangannya sendiri.
Sesungguhnya Nabi Daud AS makan dari hasil tangannya sendir. (H.R Bukhori).
Hal tersebut berarti
bahwa manusia akan terhormat ketika memenuhi kebutuhan pangannya berasal dari
cirih payah atau usahanya sendiri tanpa berharap secara lebih terhadap orang
lain sekalipun manusia tidak mungkin jika tidak membutuhkan orang lain.
Manusiapun dibebani dengan tangung jawab sosial karena manusia juga sebagai
makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan terhadap sesama ataupun makhluk lain
tanpa me-nafi-kan manusia sebagai sosok hamba dihadapan Tuhannya.
Karakter Nafsiyyah inilah yang akan
individu rasakan atau menanggungnya secara nyata bukan orang lain yang berada
di lingkungan kita untuk berperan penuh terhadap segala kebutuhan yang
diperlukan. Sebagai sosok individu, manusia memiliki kewajiban dan tanggung
jawab mutlak akan tingkah lakunya sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam Qs.
Saba : 25.
@è% w cqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& wur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? .
2.
Karakter Insaniyyah
Al-Insan terbentuk dari kata (نسي – نسيًا و نسيانًا) yang berarti
lupa.[16]
Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan pada keistimewaan
manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan
dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan
makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu
fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah
SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-Insan yang dipadu
wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai
dengan nilai-nilai Insaniyyah yang terwujud dalam perpaduan iman dan
amalnya. Sebagaimana firman Allah S.W.T dalam surat at-Tiin : 6.
Artinya : “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Karakter Insaniyyah umumnya ditafsirkan sebagai karakter seseorang dalam membina perhubungan baik dengan diri sendiri dan orang lain, yaitu apa
yang dikatakan sebagai kemahiran intrapersonal dan kemahiran Interpersonal.
Kaitannya manusia memiliki karater Insaniyyah karena manusia sebagai
sosok yang bermasyarakat maka harus mempertimbangkan bahwa disekelilingnya
terdapat kelompok lain yang dapat dibutuhkan dan membutuhkan sehingga saling
membutuhkan antar satu sisi sekalipun tidak terikat perjanjian. Dalam segi
Insaniyyah ini nilai-nilai yang perlu diterapkan sebagi penopang karakter
adalah:
a.
Tolong Menolong
Manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dalam pembahasan
sebelumya, membutuhkan uluran orang lain sekalipun tidak diperkenankanya hanya
sekedar berpangku tagan kepada orang lain maka dari itu perlu dibangun jiwa
tolong menolong sebagai pemenuh kebutuhan dalam membentuk karakter Ilaahiyyah.
Tolong menoloh disini adalah tolong menolong
yang kaitannya dengan kebaikan bukan dalam hal buruk atau melanggar aturan
Islam. Allah S.W.T menganjurkan hal ini sebagai mana dalam Qs. al-Maidah:
2:
. . . . (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur (
wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
. . . .[18]
Artinya : . . . . dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran . . . .
Dari ayat tersebut diatas, jelas bahwasannya tolong menolong yang
dianjurkan adalah yang kaitannya dengan hal kebaikan. Dalam Tafsir al-Jalalain
potongan ayat tersebut ditafsirkan :
(#qçRur$yès?ur ) ( É9ø9$#n?tã فعل ما امرتم بهِ) 3(uqø)G9$#ur بترك ما نهيتم عنه wur ) (#qçRur$yès? (فيه
حذف احدى التّاءين في الاصلn?tã) É(OøOM}$# المعاصىِ (bºurôãèø9$#ur) التعدى في حدود الله [19].
Tafsir tersebut menjelaskan bahwa anjuran tolong menolong atas kita
semua dalam hal kebaikan terhadap semua hal dengan dasar (fondasi)
ketaqwaan, dan janganlah kalian dalam hal ini orang yang beriman atau kalian
pelaku tolong menolong untuk dosa (maksiat) dan jangan berseteru terhadap
ketetapan Allah.
Tolong menolong yang diperioritaskan disini adalah terhadap segala unsur
kebaikan bukan terhadap pelanggaran kepada norma atau aturan yang berlaku. Tradisi tolong menolong sudah ada dan
dilakukan oleh masyarakat sejak zaman Rosululllah S.A.W, sebagai mana hadits
yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid al-Juhani r.a.,
وعن
أبى عبد الرّحمن زيدبن خالد الجهنيِ رضي الله عنه قال : قال نبيُّ الله ص.م : من
جهز غازِياً في سبيل الله فقد غزا, وعن خلف غازيا في أهله بخيرٍ فقدغزا. ( متفق
عليه )[20]
Artinya : Dari Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid al-Juhani r.a.,
katanya: "Nabiyullah S.A.W. bersabda: "Barangsiapa yang memberikan
persiapan bekal untuk seseorang yang berperang fi sabilillah, maka dianggaplah
ia sebagai orang yang benar-benar ikut berperang yakni sama pahalanya dengan
orang yang ikut berperang itu. Dan barangsiapa yang meninggalkan kepada
keluarga orang yang berperang fi sabilillah
berupa suatu kebaikan apa-apa yang dibutuhkan untuk kehidupan keluarganya itu,
maka dianggap pulalah ia sebagai orang yang benar-benar ikut berperang." (Muttafaq
'alaih)
Hadits tersebut diatas menjelaskan yang intinya bahwa tolong menolong
dalam bentuk memberikan persiapan atau bekal untuk seseorang disamakan dengan
pelaku yang ditolong (dalam teks hadits adalah Fi Sabilillah) maka
penolong tersebut sama halnya dengan melakukan tindaka serupa, sedangkan jika
memenuhi kebutuhan berupa kebaikan terhadap keluarga yang ditinggalkan
berperang dianggap sebagai orang yang turut serta berperang. Keistimewaan
tolong menolong ini sangatlah mulia sekalipun apa yang dilakukan berbeda tetapi
memiliki nilai kesamaan dengan pelaku yang ditolong.
b.
Toleransi
Toleransi dalam
kajian fiqih Islam masuk kategori al-mu’amalat (interaksi
sosial) hal ini menjadi kebutuhan penting manusia sehingga manusia akan
terpuruk dalam kesesatan jika dia tidak menemukan singkronisasi
kebajikan, baik yang ada hubungannya secara vertikal maupun horizontal.
Toleransi merupakan istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat.
Istilah toleransi
dalam bahasa Arab dapatt disamakan dengan istilah "سَمُحَ – سمْحاً وسِمَاحًا وسمَاحَةً" . Kata ini pada dasarnya berarti murah hati atau suka berderma.[21]
Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada / terbuka dalam menghadapi perbedaan yang
bersumber dari kepribadian yang mulia.
Secara doktrinal,
toleransi sepenuhnya diharuskan untuk umat Islam. Islam secara definisi adalah
“damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering
dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’alamin” (agama yang
mengayomi seluruh alam), Ini berarti
bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada melainkan harus
dapat memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat. Islam menawarkan dialog
dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman
umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tidak mungkin disamakan.
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä (#qçRqä.
úüÏBº§qs% ¬!
uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
wur öNà6¨ZtBÌôft
ãb$t«oYx©
BQöqs%
#n?tã
wr& (#qä9Ï÷ès?
4 (#qä9Ïôã$#
uqèd Ü>tø%r&
3uqø)G=Ï9
( (#qà)¨?$#ur
©!$# 4
cÎ) ©!$#
7Î6yz $yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
Ayat diatas sebagai seruan untuk orang beriman, dapat disimpulkan bahwa
anjuran untuk menegakkan kebenaran didasarkan atas Allah, memiliki sikap adil
dan dilarang untuk membenci suatu kaum
hingga berlaku tidak adil. Maka dari itu, toleransi sebagai sebuah media
karakter dalam masyarakat perlu diterapkan tanpa adanya sikap pandang bulu
kepada suatu kelompok untuk terbentuknya nilai keadailan.
Nabi Muhammad S.W.T,
dalam sebuah hadits bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ
عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ أَبُو يَعْلَى)[22]
Artinya : dari Anas
bin Malik RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku
di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai
tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim dan Abu
Ya’la).
Dari hadits tersebut terdapat
kalimah “li-jaarihi” (لِجَارِهِ) yang bermakna tetangga, sebagaimana
dalam pembahasan diatas bahwa sanya ketika hidup dalam bermasyarakat tidak
hanya dihuni oleh satu kelompok yang sama melainkan berbeda, maka dari itu
kalimat “li-jaarihi” dalam hadits tersebut tidak bisa bermakana tetangga
muslim saja melainkan non-muslim yang ada disekitarnyapun perlu dan membutuhkan
sikap toleransi. Dapat kita ketahui bahwa Rasulullah S.A.W tidak hanya bertetangga dengan Muslim
namun beliau juga bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar Madinah kala
itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka sama-sama
mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga punya
hak untuk mendapatkan kedamaian.
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii
al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang
meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap
non-muslim, yaitu:[23]
1.
Keyakinan
terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
2. Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan
keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi
mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
3.
Seorang
muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi
sesatnya orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.
4.
Keyakinan
bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi
pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan
dzalim meskipun terhadap kafir.
c.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa
berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari. Upaya
peningkatan kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif, dengan
kompetisi ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan
aturan yang ada atau yang telah disepakati untuk diterima sebagai proses
kebaikan. Tidak sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu
dan merugikan orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan
terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai
bencana kehidupan, maka diperlukan ada
orang atau sekelompok orang yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan mencegah
dari perbuatan yang tidak baik. Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an
sebagai “amar makruf nahi munkar”.
Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini sebagai sebuah
keberuntungan sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam Qs. Ali Imran : 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$#
Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[24]
Dari ayat
tersebut jelas bahwasanya Amar Ma’ruf Nahi Munkar setidaknya
ada yang melakukannya pada kelompok masyarakat, dengan tujuan supaya dapat
tergolong pada kelompok orang yang beruntung. Disisi lain dari ayat tersebut
juga terdapat devinisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, pada kalimah ma’ruf (معرف) bermakna segala perbuatan yang mendekatkan kita
kepada Allah; dan dalam kalimah Munkar (منكر ) ialah
segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.[25] Secara utuh, Amar
Ma’ruf Nahi
Munkar diartikan
dengan “menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, disamping
kewajiban-kewajiban lain”.[26]
Sebelum
seseorang melakukan aktivits Amar Ma’ruf Nahi Munkar perlu adanya bebarapa
hal sebagai bekal untuk dimiliki, diantaranya adalah :
1. Berilmu
Menyadari bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran, maka
perlu dipergunakannya untuk melakukan sebuah tindakan. Ilmu sebagai buah dari
akal pikiran nantinya menjadi kendanli atau mengkonsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar supaya tidak terbalik.
Perilaku manusia dalam aktivitas atau kebiasaan hidupnya sangat ditentukan oleh
ilmu yang dimilikinya. Maka dari itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang dilakukannya
harus dibekali dengan ilmu sehingga tindakkan tersebut dapat diterima oleh
objek bahkan tidak salah dalam memahaminya.
Kaitannya dengan ilmu, manusia yang memiliki akal inilah nantinya dapat
dengan mudah menerima pelajaran. Allah S.W.T berfirman dalam Q.s az-Zummar : 9
…. 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Artinya : . . . . Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.
Ayat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa
antara berilmu dengan tidak berilmu ini menjadi beda sedangkan orang yang
berakallah sesungguhnya orang yang sanggup menerima pelajaran. Dari itu
semualah kiranya ilmu harus dijadikan bekal dalam melangkah atau melakukan
aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
2. Lemah Lembut
Lemah lembut atau baik hati (tidak pemarah); peramah[27]
merupakan perilaku yang perlu dibangun untuk berkomunikasi sosial dalam
lingkungan. Sikap ini perlu dibangun karena dapat menciptakan masyarakat yang
nyaman adanya kebijakan yang humanis. Lemah lembut merupakan sikap yang baik,
sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي
إِسْمَعِيلَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ قَالَ سَمِعْتُ جَرِيرَ بْنَ
عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ حُرِمَ الرِّفْقَ حُرِمَ الْخَيْرَ أَوْ مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ
الْخَيْرَ. (رواه مسلم)[28]
Artinya : Yahya bin Yahya mengatakan Abdul Wahid bin Ziyad dari Muhamad bin Abi Ismail Abdul Rahman
bin Hilal mengatakan Jalil bin ‘abdillah mengatakan Bahwa Rosulullah S.A.W
bersabda “Barang siapa dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang),
berarti ia dijauhkan dari kebaikan”.(HR. Muslim).
Hadits tersebut pada intinya bahwa ketika
sifat lemah lembut (kasih sayang) pada seseorang telah hilang berarti kebaikan
yang dimiliki oleh orang tersebut telah jauh, jadi ketika seseorang masih
memiliki ke-lemah lembut-an itu berarti orang tersebut tergolong oranng baik
karena masih dekat dengan kebaikan sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad
S.A.W.
3. Bersabar
Sabar atau bersabar sebagaimana dijelaskan dalam karakter Insaniyyah, penerapan
dalam melakukan aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak kalah penting
sebab selain sabar sebagai penerang dalam melakukan aktivitas yang terkait
dengan diri sendiri ini juga sebagai memiliki dampak besar ketika harus
berhadapan dengan orang banyak untuk meneraapkan segala aktivitasnya dalam
berbuat Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Pekerjaan sabar ini harus dilakukan dengan keteguhan hati sekalipun
secara materi sangat dirugikan. Kesabaran yang pernah dialami oleh Nabi
Muhammad S.A.W kaitannya dengan materi sebagaimana dalam sebuah hadits :
وعن أبي سعيد سعد بن مالك بن سنان الخدري رضي
الله عنهما: "أن ناساً من الأنصار سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاهم، ثم سألوه فأعطاهم ، حتى نفد ما عنده، فقال لهم حين
أنفق كل شيء بيده : "ما يكن عندي من خير فلن أدخره عنكم
، ومن يستعفف يعفه الله، ومن يستغن يغنه الله، ومن
يتصبر يصبره الله. وما أعطي أحد عطاءً خيراً وأوسع من الصبر" (متفق عليه)[29]
Artinya : Dari Abu Said iaitu Sa'ad bin Malik
bin Sinan al-Khudri radhiallahu 'anhuma bahawasanya ada beberapa orang dari
kaum Anshar meminta sedekah kepada
Rasulullah s.a.w., lalu beliau memberikan sesuatu pada mereka itu, kemudian
mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya pula sehingga habislah harta yang
ada di sisinya, kemudian setelah habis membelanjakan segala sesuatu dengan
tangannya itu beliau bersabda: "Apa saja kebaikan yakni harta
yang ada di sisiku, maka tidak sekali-kali akan ku simpan sehingga tidak ku
berikan padamu semua, tetapi oleh sebab sudah habis, maka tidak ada yang dapat
diberikan. Barangsiapa yang menjaga diri dari meminta-minta pada orang lain,
maka akan diberi rezeki kepuasan oleh Allah dan barangsiapa yang merasa dirinya
cukup maka akan diberi kekayaan oleh Allah - kaya hati dan jiwa - dan
barangsiapa yang berlaku sabar maka akan dikurnia kesabaran oleh Allah. Tiada
seorangpun yang dikurniai suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas
kegunaannya daripada kurnia kesabaran itu." (Muttafaq 'alaih)
Kisah dalam sebuah hadits tersebut
adalah cermin kesabaran yang dapat dinilai rugi secara materi akan tetapi pelu
disadari bahwa penerapan sabar yang dilakukan bukanlah untuk mendapatkan
keuntungan secara materi akan tetapi kepastian karunia yang dijanjikan oleh Allah
S.W.T.
d.
Peduli
Peduli dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan mengindahkan;
memperhatikan; menghiraukan.[30] jadi maksud peduli yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah i’tikad dalam melakukan
tindakan sosial dengan memperhatikan kondisi lingkungan kemudian memberi solusi
sebagai sebuah jawaban nyata terhadap kebutuhan atau masalah yang sedang
dialami oleh kelompok masyarakat tersebut sehingga orang lain dapat terhindar
dari kesulitan yang sedang dialaminya.
Manusia
yang hidup dalam lingkungan sosial tidak bisa terlepas dari berbagai macam
permasalahan duniawinya. Maka untuk itu kepedulian sebagai ruh untuk
bermasyarakat perlu ditanamkan sebagai media untuk saling merasakan ataupun
pemecah masalah. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad S.A.W bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ
طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ
اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ
عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي
عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ) رواه مسلم [31](
Artinya : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah S.A.W. bersabda :
Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai
kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya
hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan
Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib)
seorang muslim, Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu
menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh
jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga.
Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah
dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka
ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi
malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan
siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR.
Muslim).
Permasalahan-permasalahan
sosial dalam hadits tersebut tidak berdampak pada urusan duniawi saja bahkan
kepedulian yang harus ditangani juga bukan hanya hal-hal yang kasap mata
ataupun dapat dilakukan secara materi. Maka kepedulian ini cakupannya luas sehingga
kepedulian yang bentuknya psikologis (non materi) seperti menutupi aib perlu dilakukan supaya orang tersebut memiliki rasa nyaman karena dapat
diterima oleh masyarakat dan permasalahan tersebut lambat laun akan hilang.
3.
Karakter Ilaahiyyah
Ilaahiyyah sebagai bagian
karakter dalam perilaku manusia ini tiada lain adalah sebagai media vertical
(ibadah) terhadap sang pencipta supaya tata caranya sesuai dengan kehendak
Allah. Secara fisik manusia
dilihat dari tingkah “basyariyyah” dengan binatang tidaklah berbeda.
Namun perlu disadari bahwa manusia diciptakan tidak sekedar untuk hidup saja
melainkan sebagi sosok sental yang berperan ganda dalam kehidupan dunia.
Sebagai ‘abd dalam pencitraannya manusia harus memahami tata caranya supaya apa yang diajukan kepada sang khalik
dapat samapai dan terjawab.
Dari uraian tersebut kita fahami bahwa pada dasarnya manusia terdiri atas
dua substansi, yaitu jasad / materi dan
roh/immateri. Jasad manusia berasal dari alam materi (saripati yang berasal
dari tanah), sehingga eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau
hukum Allah S.W.T. yang berlaku
di alam materi (Sunnatullah). Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada
di alam arwah, sudah mengambil kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka
mengakui Allah S.W.T. sebagai Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya sebagaimana
dalam Q.S. al-A’raf : 172 :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)",[32]
Konsisten terhadap eksistensi
diri atau naturnya, maka salah satu tugas hidup yang harus dilaksanakannya
adalah menghambakan dirinya melalui perjanjian (agama) yang dipastikan Allah
S.W.T., posisi manusia sebagai ‘abd ini awal penciptaannya memang
sebagai pengabdi. Dalam karakternya, manusia
selain harus memiliki kepiyawaian untuk melakukan urusan duniawi maka perlu
pula penyeimbang supaya dapaat tergolong dalam ranah insanul kamil. Untuk
masuk dalam tatanan tersebut maka ibadah kepada Allah khususnya ibadah Mahdhah
perlu dibangun kearifan supaya bentuk ataupun tidakan manusia tidak
bertentangan. Dalam ibadah, ada beberapa
hal yang harus dipenuhi oleh manusia supaya tidak sia-sia dalam penilaian
Allah. Adapun cara tersebut adalah :
a.
Iman
Iman yang dimaksud disini adalah ketetapan hati; keteguhan hati;
keteguhan batin; keseimbangan batin atas keberadaan Allah.[33]
Bagi manusia, iman ini berarti cara atau jalan untuk menganggap terhadap adanya
Allah S.W.T. Kaitannya dengan religiousitas manusia,agama (Islam)
sebagai jalan maka kunci pokok untuk menanamkan sikap keteguhan hati karena
yakin adanya Allah S.W.T. Letak iman pada diri seseorang harus berdiri di atas
keyakinan yang kuat,[34]
sehingga ketika seseorang memiliki keimanan yang kuat akan merasa diawasi oleh
Allah S.W.T dalam segala tingkahnya karena Allah S.W.T sebagai dzat
jelas tanpa adanya keraguan terhadapnya. Maka dari itu, Iman laksana benteng
yang akan menjaga setiap muslim dari godaan, gangguan dan tantangan, terutama yang datang dari luar dirinya. Iman akan
menjadikan seorang muslim mempunyai pegangan yang kuat dalam kehidupan.
Al-qur’an menjelaskan tentang keimanan
sebagaimana dalam Q.s al-Mu’minun : 1-5:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# cqàÊÌ÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ
Artinya : Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya.[35]
sejumlah indikator
keimanan seorang muslim dalam ayat tersebut adalah:
1)
Seorang
muslim yang melaksanakan sholat dengan khusyu’
2)
Seorang
muslim yang menghindari ungkapan yang tidak bermanfaat.
3)
Seorang
muslim yang menunaikan zakat.
4)
Seorang
muslim yang menjaga kemaluannya.
Indikator
tersebut yang bersumber dari surat diatas sangat terlihat jelas bahwasanya iman
seseorang tidak sekedar untuk mementingkan dirinya sendiri namun perlu melihat
keadaan sekitar (menghargai kearifan lokal) seperti menjaga lisan, zakat
sebagai kepedulian sosial dan menjaga kemaluan; itu berarti Islam dalam teori
Iman mengarahkan umatnya untuk melakukan tindakan yang bermanfaat untuk
lingkungan sebagai pondasi dalam tatanan rakhmatal lil ‘alamin.
b.
Ikhlas
Ikhlas sebenarnya mempunyai arti
dan makna yang luas, salah satunya yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain
baik berupa benda ataupun jasa dan lain sebagainya tanpa mengharapkan imbalan
apapun, yang memang niat didalam hati adalah murni hanya memberi dan tidak
mengharap sedikitpun dibalas pemberiannya (dalam artian positif).
Dilihat dari segi bahasa, ikhlas berasal dari kata akhlasha yang
merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja
intransitif khalasha (خَلصَ)[36] dengan
menambahkan satu huruf ‘alif (أ); Bentuk mudhari’
(saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu
(يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya
yaitu ikhlash (إِخْلاص), sedangkan dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan “bersih hati; tulus hati”,[37] maksudnya adalah dalam melakukan segala
bentuk tindakan positif harus bersih hati atau tulus hati tanpa meminta balas
budi atau penilaian kecuali dari Allah. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikhlas itu bukanlah
pekerjaan fisik yang atsarnya terlihat oleh mata manusia.
Kaitannya dengan amal ibadah, Ikhlas ini seakan-akan menjadi kekuatan
untuk sampainya pesan kita kepada Allah S.W.T karena tidak ada sekutu atau
harapan kepada dzat yang lain. Manusia dalam penciptaannya tiada lain
untuk menyembah kepada Allah maka dari itu segala aktivitas manusia harus
secara tekad diperuntukkan untuk pengabdian diri kepada sang pencipta tanpa
dinodai oleh kebutuhan lain. Allah S.W.T berfirman dalam Qs. Al-Bayyinah
: 5.
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$#
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.[38]
Ayat tersebut diatas merupakan sebuah bukti bahwasanya kemurnian dalam
ibadah tidak bisa ditawar atau ada kebutuhan lain selain untuk berharap kepada
Allah S.W.T. Dalam sebuah hadits, Rasulullah S.A.W bersabda :
وعن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي الله عنه قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر
إلى قلوبكم وأعمالكم" (رواه مسلم).
Artinya : Dari Abu Hurairah, iaitu Abdur
Rahman bin Shakhr r.a., katanya: Rasulullah S.A.W. bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu
tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia
melihat kepada hati-hatimu sekalian."(HR. Muslim).[39]
Kepastian-kepastian ternilainya ibadah sebagaimana dalam hadits tersebut
adalah pekerjaan hati (isi hati) dari pelaku ibadah tersebut. Mengingat kembali
bahwasanya ikhlas sebagai karakter Ilaahiyyah yang letaknya di hati maka
kaitannya dengan ibadah / menindakkan kegiatan yang diperuntukkan kepada Allah
S.W.T harus bersih hatinya supaya tidak mengotori jalan atau tempat yang
diridloinya.
c.
Ihsan
Ihsan ((احسن adalah kata
dalam bahasa Arab yang berarti “menjadikan baik” atau “memperbaiki”.[40] Ihsan dalam hubungan kepada Allah
adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya (dengan mata
hati), jika ia tidak mampu melihat-Nya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah
melihat perbuatannya.[41]
Beribadah secara ihsan merupakan perilaku atau karakter seseorang dalam
menghadap kepada tuhannya sehingga konsentrasi terhadap apa yang sedang
dilakukannya akan terbangun.
Allah mewajibkan perbuatan Ihsan
pada setiap keadaan. Sampai-sampai dalam hal harus membunuh orang (pada jihad
fii sabilillah, qishash, atau hukuman syar’i yang lain), sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits dari Abi Ya’la bahwa Rosulullah S.A.W bersabda:
عَنْ
أَبِي يَعْلَى شَدَّاد ابْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ
ذَبِيْحَتَهُ. ( رواه مسلم )[42]
Artinya : Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya
Allah mewajibkan ihsan (berlaku baik) pada segala hal, maka jika kamu membunuh
hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka
sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau
dan memberi kelapangan bagi hewan yang disembelihnya”. (HR. Muslim)
Hal itu berarti Islam
sangat menghendaki karakter atau kebiasaan yang baik dalam berbagai situasi
atau apa yang dihadapinya. Cakupan ihsan kaitannya beribadah
kepada Allah S.W.T. itu berarti
dengan cara Maqoomul Musyaahadah dan Maqoomul
murooqobah, sedangkan lingkup makhluk sosial diterapkan dalam kegiatan yang tidak
memuat unsur dzalim.
d.
Takwa
Perintah untuk bertakwa kepada
Allah S.W.T. disetiap waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun. Takwa merupakan cara supaya terpeliharanya
diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah S.W.T. dan menjauhi segala
larangan-Nya.[43] Perilaku
takwa yang diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya itu berarti tidak hanya
dibatasi oleh dimensi apapun. Ketakwaan
ini merupakan sebuah wasiat Allah untuk setiap manusia sebagaimana dalam Qs.
an-Nisa : 131 :
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZø¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$Î)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬!
$tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YÏHxq
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di
langit dan yang di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah
kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang
di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan
Maha Terpuji.[44]
Takwa ini oleh
Allah S.W.T. diperintahkan kepada umat manusia sejak zaman sebelum nabi
Muhammad S.W.T. maka dari itu takwa merupakan sebuah amalan yang tidak bisa
ditawar lagi untuk tidak dilaksanakan, sekalipun Allah S.W.T sendiri tidak
otoriter terhadap hal itu.
[2] Departemen
Agama, AL QURAN DAN TERJEMAHNYA, (Semarang: CV ALWAAH, 1993), hal. 128.
[3] Bisyri Musthofa, al-Ibris lima’rifati Tafsiri al-Qurani al-Azizi
Bil Lughoti al-Jaawiyati, Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, TT), hal. 219
[5] A.W Munawir, Kamus
Al Munawir (Arab – Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet 14,
hal. 1245
[6] Dangstars Tea, “Kerja Keras” http://dangstars.blogspot.com/2013/03/pengertian-kerja-keras-tekun-ulet-dan-teliti.html,
hal. 1
[8] Jalaludin
Muhammad Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin
‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Jalilain al- Imamain, (Semarang:
al-‘alawiyah, TT), hal. 202
[11] Saleem
Hardja Sumarna, Menjadi Pribadi Pemenang, (Klaten : Galmas Publising,
2013), Cet 1, hal. 77
[12] Bisyri
Musthofa, Op. Cit, hal. 894
[13] Muhammad Jamil, Khasiyatus ash-Showiy ‘ala Tafsir al-Jalalain, (Surabaya:
Alhidayah, TT), Jilid III, Hal. 14
[14] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Riyadus
Sholihin Min Kalam Syayidi al-Mursalin, (Sampang : Al Haromain, TT), hal.
28
[15] Yogie Arif Fadillah, Tanggung Jawab, http://yogiearieffadillah.wordpress.com/2013/06/04/makalah-manusia-dan-tanggung-jawab/, hal. 1
[19] Jalaludin
Muhammad Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin
‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit, hal. 95
[22] Abi Zakaria
Yahya Bin Syarof an Nawawi, Syarah Shohih Muslim, Jilid
1, (Beirut Libanon, Darul Fikr, 2004),
hal. 15
[23] Yusuf
al-Qardhawi, Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, (Qahirah : Maktabah Al-Wahbah, 1992), hal. 53-55
[27] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi keempat, hal. 807
[34] Depatemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam,
Jilid 2, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2003), hal. 209
[37] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi keempat, hal. 521