A.
BIOGRAFI
Nama
lengkapnya adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali, dia dilahirkan pada tahun 450
H/1058 M (setelah Dinasti Seljuk merebut kekuasaan di Baghdad), di kampung
Gazalah daerah Tus, wilayah Khurasan. Ayahnya bernama Muhammad, dia adalah
seorang penenun dan mempunyai toko tenun di kampungnya. Kehidupannya sangat
miskin, tetapi dia seorang pecinta ilmu yang taat menjalankan agama. Ayah
al-Ghazali meninggal ketika al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali dititipkan di
sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi murid-muridnya. Guru
al-Ghazali yang utama di madrasah itu adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi
terkenal.
Pada masa
kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada Ahmad bin al-Razakani (seorang faqih),
lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah
itu dia kembali ke Tus dan terus pergi ke Naisabur. Di sini dia belajar pada
salah seorang teolog aliran Asy’ariyah yang terkenal yaitu Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, yang bergelar Imam al-Haramain. Di sini al-Ghazali belajar tentang
studi teologi yang mendasari diri pada mempelajari al-Qur’an, hadits, dan hukum
Islam sesuai madzhab Imam Syafi’i. Beberapa waktu kemudian, al-Ghazali diangkat
sebagai dosen di sekolah agama Nizamiyah di Baghdad, tempatnya mengajar teologi
dan hukum Islam.
Tahun 1095,
al-Ghazali mengalami sejumlah goncangan batin, sebuah krisis spiritual, sebagai
akibat dari sikap keragu-raguannya, sikapnya ini menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya, yaitu :
1. Apakah pengetahuan yang hakiki itu?
2. Apakah ia diperoleh melalui indra atau melalui akal?
Pernyataan-pertanyaan
inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran
pengetahuan manusia. Hampir 6 bulan dia terombang-ambing antara dunia dan
akhirat. Pada tahun 488 H/1095 M, al-Ghazali pergi ke tanah Syam, kota Damaskus
untuk berkhalwat (menghindarkan diri dari segala hiruk pikuk manusia,
mengasingkan diri di puncak masjid Jami’ di kota Damaskus). Dia berkhalwat
selama 2 tahun.
Setelah
mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka pada usia
55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Kota Tus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir
505 H/19 Desember 1111 M.
B.
AJARAN-AJARAN AL-GHAZALI
Menurut
al-Ghazali, orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi orang
tidak menggali sampai pada uratnya. Padahal kalau sekiranya digali sampai ke
urat, filsafat tidaklah memperoleh pendirian ketuhanan, tapi hanyalah akan
menggoyahkannya. Al-Ghazali menegakkan ilmu Kalam sebagai suatu ilmu. Kata-kata
filsafat tidak lagi semata-mata dipinjamnya untuk menguatkan pendiriannya,
tetapi telah diperbaikinya dan dijadikannya suatu ilmu yang tahan uji. Ghazali
menggabungkan filsafat, lanjutan faham Socrates, Plato, Aristoteles, Zeno,
Epicus, Diogenes, Aristippus, dan lain-lain. Al-Ghazali menarik kesimpulan
bahwa “filsafat itu ialah mengemukakan akal, tetapi akal itu sendiri tidak
senantiasa dapat dipercaya buat sanggup mencapai kebenaran yang mutlak”.
1.
Al-Munqizu Minadh
Dhalal
Dalam kitab
ini dapat dilihat usaha Ghazali merenungi laut ma’rifat, menari tempat
berpegang. Dilukiskannya bagaimana kesan dan perasaannya melihat masyarakat
yang ada di sekelilingnya. Dipelajari setiap agama dan mazhab-mazhab yang ada
dalam setiap agama, dipelajari pula filsafat.
Empat golongan
yang ada dalam Islam mendapat bahasanya yang mendalam.
a. Kaum
mutakallimin (ilmu kalam), ahli teologi Islam.
b. Ahli
filsafat
c. Kaum
batiniyah
d. Kaum
sufiyah
Al-Ghazali
kagum dengan filsafat, karena dengan filsafat kita bisa mengasah otak, terutama
dalam hal ilmu pasti dan ilmu alam (riyadhah dan tabiat). Tetapi setelah
sampai pada soal-soal ketuhanan, nyatalah filsafat hanya terawang akal manusia
yang tidak senantiasa dapat dipegang. Dia berpendapat bahwa ketuhanan
Aristoteles itu bertentangan dengan agama.
Kaum Dahry/kaum
materialis memungkiri adanya yang menjadikan alam, dan berkata bahwa alam
terjadi sendirinya.
Kaum Naturalis
yang meskipun mengakui adanya Yang Maha Bijaksana tetapi memungkiri bahwa
manusia akan dibangkitkan lagi sesudah matinya, dan memungkiri adanya hari
pembalasan (akhirat).
Kaum filsafat
ketuhanan, yang mengakui memang ada Tuhan, tetapi pengetahuan Tuhan itu hanya
tentang perkara-perkara besar dan tidak meliputi juz-i (detail).
Kaum batiniah,
berpendapat bahwa ilmu yang khusus tidaklah didapat dengan sembarangan saja.
Ilmu “yang sejati” hanya dapat diturunkan dari “Imam yang Ma’shum”, yang suci
dari kesalahan dan dosa.
Di dalam
“al-Munqizu” tidak banyak beliau membicarakan batiniyah. Batiniyah banyak
dikupas dalam buku al-Muztazhiri, al-Kisthsil Mustaqim, dan al-Hujjatul Haq.
Kritik yang
hebat kepada filsafat ditulisnya pada kitab “Tahafutul Falasifah”.
2.
Tasawuf
Yang sangat
menarik al-Ghazali dalam tasawuf ialah latihan-latihan jiwanya. Latihan
mempertinggi sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menahan dorongan nafsu
buat sifat-sifat yang tercela (madzmumah), sehingga menjadi bersihlah hati
sanubari. Maka, hati sanubari yang bersih itulah yang dapat mendekati Tuhan,
ditambah lagi jika senantiasa dihiasi dengan dzikir, yaitu ingat atau menyebut Allah.
Dipelajari dengan seksama perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw dan
sahabat-sahabatnya yang berhubungan dengan ilmu kebatinan. Bahkan dipelajari
pula tarikh kehidupan Nabi Isa al-Masih as dan ditelaahnya kitab-kitab karangan
kaum sufiyah, sebagai “Qutbul Qutub” karangan Abu Thalib al-Makki, kitab-kitab
karangan al-Harits al-Muhasibi, fatwa dan buah renungan al-Junaidi, al-Syibhi,
Abu Bustami, bahkan juga al-Hallaj.
Al-Ghazali
menyusun buku “Ihya Ulumuddin” (menghidupkan kembali ilmu agama). Suatu buku
yang membahas secara luas berbagai masalah keagamaan. Suatu kesanggupan
menghidangkan soal besar dalam bahasa yang mudah, gabungan kejernihan otak
dengan perasaan hati yang murni. Satu filsafat yang luhur dari seorang anti
filsafat. Suatu jelmaan fikiran tinggi dari seorang yang tidak hanya
mengemukakan fikiran. Satu kitab buat menyempurnakan faham tentang rahasia
Qur’an, satu sastra yang bukan saja untuk muslimin, bahkan kebenaran untuk
dunia. Dalam buku inilah dikawinkan kembali di antara lahir dengan batin di
antara fiqhi dengan tasawuf dan ilmu kalam. Semuanya buat satu maksud, yaitu
mengokohkan Iman dan Cinta kepada Tuhan Sarwa Sekalian Alam.
3.
Ma’rifat
Ilmu sejati
atau ma’rifat menurut Ghazali ialah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat
Rububiyyah. Wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada yang wujud,
melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatannya adalah dua, bukan
satu. Di sinilah al-Ghazali menjelaskan pendiriannya yang berbeda dengan
al-Hallaj dan sufi lain yang berkesan. Wujudnya itu ialah kesatuan semesta (wihdatul
wujud). Alam seluruhnya ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang
kekuasaan dan kebesaran-Nya.
C.
Karya-karya al-Ghazali
1. Dalam bidang filsafat
a. Maqasid al-Falasifah
b. Tahafut al-Falasifah
c. Al-Ma’arif al-Aqliyah
d. Mi’yar al-Ilm
2. Dalam bidang ilmu kalam
a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
b. Al-Risalah al-Qudsiyah
c. Qawa’id al-Aqaid
d. Iljam al-‘Awam ‘an Ilm al-Kalam.
3. Dalam bidang fiqh dan ushul fiqh
a. Al-Wajiz
b. Al-Wasit
c. Al-Basith
d. Al-Musthafa
4. Dalam bidang tasawuf / akhlak
a. Ihya’ Ulum al-Din
b. Al-Munqiz min al-Dalah
c. Minhaj al-‘Abidin
d. Mizan al-‘Amal
e. Kimiya al-Sa’adah
f. Misykat al-Anwar
g. Al-Risalah al-Laduniyyah
h. Bidayah al-Hidayah
i.
Al-Adab fi
al-Din
j.
Kitab
al-Arbain.
5. Dalam bidang-bidang lain
a. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil
b. Jawahir al-Qur’an
c. Al-Mustazhiri
d. Hujjah al-Haqq
e. Mufassal al-Khilaf
f.
Al-Darj
g. Al-Qistas
al-Mustaqim
h. Fatihah al-‘Ulum
i.
Al-Tibr al-Masbuk fi Wasihah al-Mulk
j.
Suluk al-Sultanah
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002.
Asmaran,
Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, cet. 1.
Hamka,
Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas,
1994.
Syaikh
Fadhialla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000 cet. 1.