Sunday, 2 June 2013

Piye bro kabare ? Esih enak jamanku toh.



Membincang 15 tahun reformasi tidak afdol kalau tidak menyertakan fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita. Misalnya, tulisan-tulisan atau gambar di bak truk atau pantat bus mini yang menggelitik. Bak-bak truk yang identik dengan gambar-gambar seronok, kini mulai mengalami modifikasi. Pesan-pesan yang ingin disampaikan tidak sekadar mencerminkan impuls syahwat, namun sudah menyodok ke pesan-pesan ideologis dan politis.
Paling marak adalah gambar penguasa Orde Baru, Soeharto, dengan kutipan ucapan yang membuat kita mesem. Misalnya, “Esih enak jamanku toh?” (jaman = zaman). Atau “Piye bro kabare? Enak jamanku toh?” (bro = idiom gaul dari kata “brother”).
Banyak lagi bentuk kutipan yang maknanya sama. Satu hal yang menarik, hampir seluruh kutipan itu ditulis dalam bahasa Jawa. Begitu pula pesan-pesan yang dicetak dalam bentuk stiker yang dijual umum. Artinya, pembuat pesan bisa dipastikan orang Jawa. Karena Soeharto adalah orang Jawa, maka ada hubungan genetik dan etnografik antara pembuat pesan dan tokoh yang ditampilkan dalam pesan itu.
Mungkin hanya kebetulan saja kalau si penulis pesan orang Jawa. Lebih penting dari itu adalah makna dari pesan-pesan itu. Penulis pesan ingin menyampaikan perbandingan keadaan masa Orde Baru dengan keadaan sekarang menurut persepsi dan pemahamannya. Pesan itu disampaikan dalam bentuk sindiran. Dalam persepsi sang pembuat pesan, kehidupan di masa Orde Baru ternyata masih lebih baik daripada era reformasi sekarang. Tentu saja, penilaian “lebih baik” itu dalam pemahaman si pembuat pesan.
Kru truk (sopir dan kernet) adalah bagian dari masyarakat kelas bawah. Mereka bersama dengan orang-orang di kelasnya lazim disebut sebagai “wong cilik”. Terminologi “wong cilik” digambarkan sebagai orang-orang yang hidup sederhana, penghasilan mereka hanya cukup untuk pangan-sandang-papan, berpendidikan rendah, dan memiliki pemahaman tentang kehidupan berdasarkan sosialisasi dalam pergaulan.
Kemajuan teknologi informasi membuat pengetahuan mereka tentang politik dan pemerintahan mungkin tidak berbeda jauh dari kelas masyarakat yang lebih tinggi. Akses mereka terhadap media cukup terbuka, terutama media radio, koran, dan televisi. Namun, kepemilikan telepon seluler yang sudah massal memungkinkan mereka bisa mengakses internet sebagai media keempat mutakhir dan paham teknologi digital. Jika asumsi ini benar, maka pesan-pesan verbal yang mereka buat mencerminkan kesimpulan dari pemahaman mereka atas kondisi sosial politik saat ini.
Memahami Reformasi
Pesan-pesan itu bisa direspons beragam oleh orang yang membacanya. Orang bisa setuju atau tidak setuju. Bagi pihak yang setuju, tentu sependapat kalau dalam banyak hal memang kondisi kehidupan sekarang tidak lebih baik daripada era Orde Baru. “Tidak lebih baik” menurut ukuran-ukuran tertentu di mata wong cilik yang berbasis kebutuhan primer. Misalnya, ketersediaan sembako dengan harga murah, stabilitas politik, keamanan, hubungan sosial, dan harmoni.
Bagi pihak yang tidak setuju, tentu punya penilaian sendiri tentang perbandingan kehidupan di masa Orde Baru dan sekarang. Misalnya, kualitas kehidupan tidak bisa diukur dari aspek kebutuhan dasar dan keamanan lingkungan saja. Ada kebutuhan lain yang justru lebih bersifat asasi, misalnya kebebasan. Tamsil tentang kebebasan adalah ilustrasi burung dalam sangkar. Burung pun selalu mendambakan kebebasan. Kalau tidak percaya, bukalah pintu sangkar, maka burung akan cepat menerobos pintu untuk bisa hidup bebas.
Orde Baru yang otoriter dan represif bukanlah impian orang yang mendambakan kebebasan sebagai fitrah kehidupan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Juga bukan cita-cita orang yang menginginkan kualitas kehidupan yang lebih tinggi, seperti kecerdasan, kebebasan mengakses informasi, dan mengembangkan diri sesuai kebutuhan asasi setiap manusia. Kebutuhan yang sudah merupakan hak dasar manusia yang dianugerahkan Tuhan lewat Nabi Adam sebagai moyang umat manusia, yakni ketika Adam dengan lancar menyebutkan nama-nama benda sebagai simbol peradaban manusia.
Reformasi adalah proses mewujudkan hak-hak dasar manusia itu secara aktual oleh negara, bukan hanya dalam retorika, seperti Thomas Jefferson di era perbudakan Amerika Serikat (AS) yang berkata “…seluruh manusia diciptakan sama” tapi dia memelihara budak. Reformasi adalah menjadikan supremasi hukum sebagai bagian dari ideologi negara, mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, serta memberi kesempatan setiap orang untuk berkembang sesuai kebutuhan sosialnya. Dengan begitu, cita-cita masyarakat yang adil dan makmur bisa dicapai.
Karena itu, reformasi bisa berlangsung panjang lintas generasi, melelahkan, dan berdarah-darah. Sebelum mencapai keadaan seperti sekarang, negara-negara di Eropa dan AS telah melalui reformasi yang berlangsung selama ratusan tahun. Proses reformasi di Eropa berlangsung selama tiga abad dari tahun 1300-1600. Reformasi di AS dimulai sejak abad 18 dan belum selesai hingga sekarang!
Sebelum reformasi, Eropa melewati abad kegelapan hingga Renaissance. Reformasi keagamaan dan revolusi ilmiah di Eropa harus melewati perang agama yang panjang. Reformasi di AS melewati berbagai tahapan yang juga berdarah-darah, termasuk perang saudara yang panjang. Reformasi itu dimulai dari tahap penghapusan perbudakan (abolition movement), gerakan antirasialisme kulit hitam, penegakan hak-hak konstitusional dan hak sipil rakyat (civil rights), dan hak-hak politik kaum perempuan.
Jika mengacu pada sejarah reformasi di Eropa dan AS itu, 15 tahun perjalanan reformasi Indonesia belumlah apa-apa, belum satu generasi. Mungkin baru menyentuh kulitnya. Karena itu, hasil reformasi belum bisa disimpulkan hanya dengan membandingkan kehidupan masa Orde Baru dengan era pemerintahan sekarang. Dalam teori Samuel Huntington, perubahan itu baru menyangkut transisi politik yang masih terus berproses menuju konsolidasi demokrasi.
Keuntungan bagi kita adalah bisa belajar dari pengalaman reformasi di Eropa dan AS, sehingga bisa digagas akselerasi dan tidak perlu menempuh masa panjang berabad-abad. Satu hal yang penting bagi kita dalam memahami reformasi adalah mengkritisi dan mengoreksi prosesnya agar sesuai agenda yang sudah dicanangkan dalam konstitusi dan bersabar menghadapinya. Perubahan sosial bisa berlangsung lama sesuai tujuan yang ingin dicapai dan kesiapan masyarakat menghadapinya.

No comments: