Sunday, 19 October 2014

PEMBAHASAN PERKULIAHAN MATA KULIAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

PEMBAHASAN PERKULIAHAN
MATA KULIAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
SEMESTER 3 IAIIG / UNUGHA CILACAP TAHUN 2014-2015
DOSEN PENGAMPU : AHMAD MUKHLASIN, S.Pd.I., M.Pd.I

A.    PENGERTIAN dan METODE SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
a.       Pengertian Sejarah Pendidikan Islam
b.      Metode Sejarah Pendidikan Islam
B.     PERIODESASI SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pendidikan Islam Periode Nabi Muhammad S.A.W
a.       Pelaksanaan Pendidikan Islam di Makkah
b.      Pelaksanaan Pendidikan Islam di Madinah
2.      Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin
a.       Abu Bakar ash-Shidiq
b.      Umar bin Khottab
c.       Utsman bin Affan
d.      Ali bin Abi Thalib
3.      Pendidikan Islam Masa Umawiyyah di Damsyik
a.       Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Umayyah
b.       Tempat dan Lembaga Pendidikan
c.       Metode Pembelajaran
4.      Pendidikan Islam Masa Kekuasaan Abasiyyah di Baghdad (750-125 M)
a.       Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
b.      Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
c.       Perkembangan Intelektual
d.      Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
e.       Strategi Kebudayaan dan Rasionalitas 
5.      Akulturasi Islam Ke Budaya Jawa Oleh Wali Songo
a.       Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
b.      Sunan Ampel (Raden Rahmat)
c.       Sunan Bonang (Makdhum Ibrahim)
d.      Sunan Drajat
e.       Sunan Kudus
f.       Sunan Giri
g.      Sunan Kalijaga
h.      Sunan Muria (Raden Umar Said)
i.        Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Tuesday, 14 October 2014

PENGERTIAN dan METODE SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

PENGERTIAN dan METODE SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM





 A.    PENGERTIAN SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pengertian Sejarah
a.       Secara Etimologi
Menurut Louis Ma’luf seperti yang dikutip oleh Drs. Hasbullah, di dalam bahasa Arab, perkataan sejarah disebut tarikh atau sirah yang berarti ketentuan masa atau waktu, dan ‘ilm tarikh yang berarti ilmu yang mengandung atau membahas penyebutan peristiwa atau kejadian, masa atau terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut. Di dalam bahasa Inggris sejarah disebut history yang berarti uraian secara tertib tentang kejadian-kejadian di masa lampau (orderly description of past event). Sedangkan sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi pada suatu bangsa atau negara, benua atau dunia.
b.      Secara Terminologi
Majdi Wahab dalam bukunya Kamil Al-Muhandis, Mu’jam Al-Mushthalahat al-arabiyah fi Al-lughah wa Al-Adab seperti yang telah dikutip oleh Drs Hasbullah menyebutkan bahwa sejarah secara terminologi diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu dan masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah berarti silsilah, asal-usul (keturunan), kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Sedangkan ilmu sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Menurut H. Munawir Cholil, ilmu sejarah merupakan suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang terjadi di kalangan umat.
Jadi, inti pokok dari sejarah selalu sarat dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Sayyid quthub yang menyatakan bahwa sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat.

2.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yaitu suatu proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik. Karena ia merupakan alat yang dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia (sebagai makhluk pribadi dan sosial) kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejateraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat. Dalam hal ini, maka kedayagunaan pendidik sebagai alat pembayaran sangat bergantung pada pemegang alat kunci yang banyak menentukan keberhasilan proses pendidikan , yang telah berkembang di berbagai daerah dari sistem yang paling sederhana menuju sistem pendidikan Islam yang modern. Dalam perkembangan pendidikan Islam, di dalam sejarahnya menunjukan perkembangan dalam subsistem yang bersifat operasional dan teknis terutama tentang metode, alat-alat dan bentuk kelembagaan. Adapun hal yang menjadi dasar dan tujuan pendidikan Islam tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Darajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditunjukkan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. Dari berbagai pengertian pendidikan Islam di atas dapat kita simpulkan bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi muslim yang baik.

3.      Pengertian Sejarah Pendidikan Islam
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dipaparkan di atas, dapat dirumuskan tentang pengertian sejarah pendidikan Islam, yaitu :
a.       Catatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya hingga sekarang ini.
b.      Satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga maupun operasi onalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.

B.     METODE SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
Mengenai metode sejarah pendidikan Islam, walaupun terdapat hal-hal yang sifatnya khusus, berlaku kaidah-kaidah yang ada dalam penulisan sejarah. Kebiasaan dari penelitian dan penulisan sejarah meliputi suatu perpaduan khusus keterampilan intelektual. Sejarahwan harus menguasai alat-alat analisis untuk menilai kebenaran materi-materi sebenarnya, dan perpaduan untuk mengumpulkan dan menafsirkan materi-materi tersebut kedalam kisah yang penuh makna, sebagai seorang ahli, sejarahwan harus mempunyai sesuatu kerangka berpikir kritis baik dalam mengkaji materi maupun dalam menggunakan sumber-sumbernya. Untuk memahami sejarah pendidikan Islam diperlukan suatu pendekatan atau metode yang bisa ditempuh adalah keterpaduan antara metode deskriptif, metode komparatif dan metode analisis sistensis. Dengan metode deskriptif, ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw, yang termaktub dalam Al-Qur’an dijelaskan oleh As-sunnah, khususnya yang langsung berkaitan dengan pendidikan Islam dapat dilukiskan dan dijelaskan sebagaimana adanya. Pada saatnya dengan cara ini maka yang terkandung dalam ajaran Islam dapat dipahami.
Metode komparatif mencoba membandingkan antara tujuan ajaran Islam tentang pendidikan dan tuntunan fakta-fakta pendidikan yang hidup dan berkembang pada masa dan tempat tertentu. Dengan metode ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan yang ada pada dua hal tersebut sehingga dapat diajukan pemecahan yang mungkin keduanya apabila terjadi kesenjangan.
Metode analisis sinsesis digunakan untuk memberikan analisis terhadap istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang diberikan ajaran Islam secara kritis, sehingga menunjukkan kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam. Pada saatnya dengan metode sintesis dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang akurat dan cermat dari pembahasan sejarah pendidikan Islam. Metode ini dapat pula didayagunakan untuk kepentingan proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia yang Islami.
Dalam penggalian dan penulisan sejarah pendidikan Islam ada beberapa metode yang dapat dipakai antaranya :
1.      Metode Lisan dengan metode ini pelacakan suatu obyek sejarah dengan menggunakan interview.
2.      Metode Observasi dalam hal ini obyek sejarah diamati secara langsung.
3.      Metode Documenter dimana dengan metode ini berusaha mempelajari secara cermat dan mendalam segala catatan atau dokumen tertulis.



SUMBER BACAAN


A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia.

Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendiidikan Islam klasik, Bandung: Percetakan Angkasa.

Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.

Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

--------------------, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 1995.

Enung K Rukiati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia.

H. Munawir Cholil, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad SAW, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.

Sayyid Quthub, Konsepsi sejarah Dalam Islam, Yayasan Al-Amin, Jakarta, 1984.

Monday, 15 September 2014

Peradaban dan modernisasi Pendidikan dalam Siratan Hadits Nabi S.A.W



    1. Hadist Anas bin Malik tentang Membuat Mudah, Gembira dan    Kompak
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَبَسِّرُواوَلاَتُنَفِّرُوا (اخرجه البخاري في كتاب العلم(
Artinya: Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW ”mudahkanlah dan jangan kamu persulit. Gembirakanlah dan jangan kamu membuat lari”. (HR. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori al-Ju’fi)

Hadist di atas menjelaskan bahwa proses pembelajaran harus dibuat dengan mudah sekaligus menyenangkan agar siswa tidak tertekan secara psikologis dan tidak merasa bosan terhadap suasana di kelas, serta apa yang diajarkan oleh gurunya. Dan suatu pembelajaran juga harus menggunakan metode yang tepat disesuaikan dengan situasi dan kondisi, terutama dengan mempertimbangkan keadaan orang yang akan belajar. Meskipun dalam Islam banyak hal yang telah dimudahkan oleh Allah akan tetapi perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan berarti kita boleh menyepelekan syari’at Islam dalam hal pendidikan, mencari-cari ketergelinciran atau mencari pendapat lemah sebagian ulama agar kita bisa seenaknya, namun kemudahan itu diberikan dengan alasan agar kita selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

2.      Hadist Aisyah tentang Menyampaikan Perkataan yang Jelas dan Terang
عَنْ عَائِشَةَ رَحِمَهاَاللهُ قَالَتْ كَانَ كَلاَمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَماً فَصْلاَيَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ (اخرجه ابوداود في كتاب الادب)
Artinya: Dari Aisyah rahimahallah berkata: ”Sesungguhnya perkataan Rasulullah SAW adalah perkataan yang jelas memahamkan setiap orang yang mendengarnya. (HR. Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sjastani al-Azdi)

Hadist tersebut untuk kita sebagai calon guru agar dalam pengucapan suatu perkataan hendaklah dengan terang dan jelas, supaya orang yang mendengarkan (peserta didik) dapat memahami maksud yang disampaikan. Dan apabila dengan ucapan pertamanya belum menjelaskan kepada murid, ,maka guru itu wajib mengulanginya agar murid tersebut bisa paham dalam pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Perkataan yang jelas dan terang akan menjadi salah satu faktor keberhasilan suatu pendidikan, karena jika tidak demikian dikhawatirkan nantinya akan terjadi salah pengertian, ketika terjadi salah pengertian bukan tidak mungkin justru peserta didik akan melenceng dari yang diharapkan. Diharapkan dengan adanya perkataan yang jelas dan terang tersebut anak didik mampu mmenyerap dan memahami apa yang diharapkan oleh pendidik.

3.       Hadist Abu Hurairah tentang Metode Cerita (Kisah)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَا رَجُلُ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ العَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَاِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ العَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلاَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَارَسُوْلَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِي البَهَا ئِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍرَطْبَةٍ أَجْرٌ (اخرجه البخاري في كتاب المشقات)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ”Ketika seorang laki-laki sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ia merasakan sangat haus sekali. Kemudian ia menemukan sumur lalu ia masuk kedalamnya dan minum, kemudian ia keluar (dari sumur) kemudian datang seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya ia menjilati tanah karena sangat haus, lelaki itu berkata: anjing sangat haus sebagaimana aku, kemudian ia masuk kedalam sumur lagi dan ia memenuhi sepatunya (dengan air) kemudian (ia naik lagi) sambil menggigit sepatunya dan ia memberi minum anjing itu kemudian Allah bersyukur kepadanya dan mengampuninya. Sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah kita mendapat pahala karena menolong hewan?”, Nabi menjawab: ”Disetiap yang mempunyai limpa hidup ada pahalanya.”(HR. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori al-Ju’fi)


Dari hadist di atas menerangkan bahwa apabila kita berbuat baik kepada sesama makhluk Allah SWT walaupun perbuatan tersebut hanya sebesar biji jagung, maka perbuatan kita akan mendapat pahala dan ridho Allah SWT. Misalnya memberi minum hewan yang najis. Sehingga dapat dijelaskan bahwa pendidikan metode kisah atau cerita ini dapat menimbulkan kesan mendalam pada jiwa seorang anak didik, sehingga dapat membuka hati nuraninya dan berupaya melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan dari perbuatan yang buruk sebagai dampak dari kisah itu, apalagi penyampaikan kisah-kisah tersebut dilakukan dengan cara menyentuh hati dan perasaan. Al-Qur’an mempergunakan meode cerita untuk seluruh pendidikan dan bimbingan yang mencakup seluruh metodologi pendidikannya, yaitu untuk pendidikan mental, akal dan jasmani serta menaruh jaringan-jaringan yang berlawanan yang terdapat didalam jiwanya itu, pendidikan melalui teladan dan pendidikan melalui nasehat. Oleh karena itu, cerita merupakan kumpulan bimbingan yang snagat baik.

4.       Hadist Abu Hurairah tentang Metode Tanya Jawab
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ؟ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (أخرجه مسلم في كتاب البروالصلة والاداب
Artinya: Dari Abi Hurairah, ia berkata: ada seorang laki-laki datang pada Rasulullah SAW kemudian ia bertanya: ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku hormati?”. Beliau menjawab Ibumu, ia berkata kemudian siapa?” Beliau menjawab kemudian ibumu, ia berkata kemudian siapa? Beliau menjawab kemudian ibumu, ia berkata kemudian siapa? Beliau menjawab kemudian Bapakmu dan saudara-saudara dekatmu.(HR. Muslim bin al-Hijaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi)

Hadist di atas menerangkan bahwa suatu ketika ada seseorang laki-laki datang kepada Rasulullah, kemudian bertanya tentang orang-orang yang paling berhak untuk dihormatinya. Kemudian terjadilah dialog antara Rasulullah dan laki-laki tersebut dan Rasulullanpun mengajarinya tentang akhlak terhadap orang tuanya terutama ibunya, maka terjadilah tanya jawab antar keduanya. Metode tanya jawab merupakan metode yang paling tua digunakan disamping metode yang lain, karena metode ini banyak sekali digunakan para Nabi terdahulu. Dan dalam penggunaan metode ini, pengertian dan pemahaman akan terasa lebih mantap. Sehingga segala bentuk kesalahpahaman dan kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari semaksimal mungkin. Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat Two Wag Traffic, sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dengan siswa, dalam komunikasi ini terlihat adanya timbal balik secara langsung antara guru dengan siswa. Metode ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana materi pelajaran yang telah dikuasai oleh siswa, untuk merangsang siswa berfikir, dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan maslah yang belum paham.

5.      Hadist Anas bin Malik tentang Metode Diskusi
عَنْ أَنَسٍ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًاأَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوا يَارَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُفَوْقَ يَدَيْهِ (أخرجه البخاري في كتاب الظالم والغضب(
Artinya: Dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah telah bersabda: tolonglah saudaramu yang dzalim maupun yang didhalimi. Mereka bertanya: wahai Rasulullah, bagaimana menolong orang dzalim?, Rasulullah menjawab tahanlah (hentikan) dia dan kembalikan dari kedzaliman, karena sesungguhnya itu merupakan pertolongan kepadanya.(HR. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori al-Ju’fi)

Hadist ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk menolong orang yang dzalim dan yang didzalimi. Anas berkata ia telah menolong orang yang didzalimi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah bagaimana cara menolong orang yang dzalim? Rasul pun menjawab untuk menghentikannya dan mengembalikannya dari kedzaliman. Diskusi terdapat pada permasalahan bagaimana cara menghentikan orang dzalim tersebut dan mengembalikan dia dari kedzalimannya. Diskusi pada dasarnya tukar menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur penaglaman, secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Oleh karena itu diskusi bukan debat atau perang mulut. Dalam diskusi tiap orang diharapkan memberikan smbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan paham yang dibina bersama.

6.       Hadist Abu Hurairah tentang Alat Peraga
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ اليَتِيْمِ لَهُ أَوْلِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الجَنَّةِوَأَشَارَمَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِوَالوُسْطَى (اخرجه مسلم في الزهدوالرقائق(
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda : ” Aku akan bersama orang-orang yang menyantuni anak yatim di surga akan seperti ini (Rasulullah menunjukkan dua jari, jari telunjuk dan tengah yang saling menempel)”.(HR. Muslim bin al-Hijaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi)

Hadits ini memang tidak secara eksplisit menerangkan tentang penggunaan alat peraga dalam metode pengajaran akan tetapi secara implisit Nabi Muhammad SAW memberikan contoh tentang penggunaan alat peraga dalam memberikan penjelasan dengan cara menunjukkan kedua jari Beliau sebagai perumpamaan. Dari hadits ini kita mendapati bahwa dalam memahami konsep yang abstrak, kita membutuhkan suatu media yang kongkrit agar pengetahuan menjadi mudah dipahami. Alat peraga merupakan salah satu komponen penentu efektivitas belajar. Alat peraga mengubah materi ajar yang abstrak menjadi kongkrit dan realistik. Penyediaan alat peraga merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan belajar sesuai dengan tipe belajar siswa. Pembelajaran menggunakan alat peraga berarti mengoptimalkan fungsi seluruh panca indera siswa untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa dengan cara mendengar, melihat, meraba dan menggunakan pikirannya secara logis dan realistis. Ada beragam jenis alat peraga pembelajaran, mulai dari benda aslinya, tiruannya, yang sederhana sampai yang canggih, diberikan di dalam kelas atau luar kelas. Bisa juga berupa bidang dua dimensi (gambar), bidang tiga dimensi (ruang), animasi/flash (gerak), video (rekaman atau simulasi). Teknologi telah mengubah harimau yang ganas yang tidak mungkin dibawa dalam kelas bisa tampak di dalam kelas dalam habitat kehidupan yang sesungguhnya.

Friday, 1 August 2014

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KISAH NABI IBRAHIM AS DAN NABI ISMAIL AS (Studi Komparatif antara Kitab Tafsir al-Ibris dan Kitab Tafsir al-Jalalain) (BAB 5)

BAB V
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS sebagaimana dalam pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Nilai-nilai pendidikan karakter dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada kitab Tafsir Al-Ibris
Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam Kitab Tafsir Al-Ibris  dari sisi-sisi karakter Nafsiyyah lebih dilandasi motivasi dalam rangka mengharap ridlo Allah S.W.T melalui shidqu an-niyyah wa-al-‘azm. Dari sisi sosial, Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS dalam karakter Insaniyyahnya tidak hanya dibatasi oleh urusan duniawinya saja sehingga tolong menolong yang diterapkan dalam kehidupannya mencakup keselamatan orang lain yang berkaitan dengan norma ketuhanan. Dalam karakter Ilahiyyahnya, Nabi Ibrahim AS dalam Kitab Tafsir Al-Ibris lebih banyak penentuan dalam mencari sosok Tuhan yang sebenarnya sedangkan Nabi Ismail AS untuk masalah Karakter Ilahiyyahnya merupakan hasil dari do’a Nabi Ibrahim AS yang dikabulkan oleh Allah S.W.T.
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kitab tafsir  Al-Ibris yang mengkisahkan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS secara global terbagi dalam tiga karakter yaitu Nafsiyyah, Insaniyyah dan Ilahiyyah akan tetapi proses dalam menjalani tidak sama antara keduanya. Dalam kitab Tafsir Al-Ibris, Nabi Ibrahim AS secara total sebagai pelopor karakter dengan segala temuannya. Berbeda dengan Nabi Ismail AS, beliau lebih pada sosok anak yang menjalani perintah orang tuanya.



2.      Nilai-nilai pendidikan karakter dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada kitab Tafsir Al-Jalalain
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kitab Tafsir Al-Jalalain mengenai kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS sama halnya pada kitab Al-Ibris yaitu Karakter Nafsiyyah, Karakter Insaniyyan dan Karakter Ilahiyyah. Dari ketiga karakter tersebut, Nabi Ibrahim maupun Nabi Ismail AS hanya difokuskan untuk pengabdian kepada Allah S.W.T sehingga apa yang beliau lakukan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keridloan dari Allah S.W.T.

3.      Persamaan dan Perbedaan Nilai pendidikan karakter dalam Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir Al-Ibris dan Kitab Tafsir Al-Jalalain
a.       Persamaan
Nilai pendidikan karakter yang dilalui oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam Kitab Tafsir Al-Ibris dan Kitab Tafsir Al-Jalalain memiliki kesamanan penafsiran yang secara global terdiri atas penanaman karakter Nafsiyyah (karakter yang berkenaan dengan diri sendiri), Karakter Insaniyyah (karakter yang berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat) dan Karakter Ilahiyyah (karakter yang berkaitan untuk urusan dengan Allah S.W.T).
b.      Perbedaan
Perbedaan nilai pendidikan karakter yang dikisahkan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS adalah pada prosesnya. Nilai karakter dalam Kitab Tafsir Al-Ibris menerapkan sisi-sisinya sesuai dengan urusannya masing-masing kecuali pada proses pembangunan ka’bah yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Sedangkan dalam Kitab Tafsir Al-Jalalain, karakter dari keduanya ditafsirkan murni untuk memperoleh keridloan Allah S.W.T.  


B.  Saran-saran
Perlunya menjadi pembeda antara Manusia dengan makhluk yang lain maka Karakter Nafsiyyah, Karakter Insaniyyah dan Karakter Illahiyyah senantiasa ditempatkan pada wilayahnya masing-masing dengan membaca kenyataan-kenyataan yang menjadi fakta. Untuk menciptakan manusia yang bermakna “Insan” bukan “Basyar” pembelajaran yang harus dilakukan adalah melalui hakikat Insan itu sendiri apa.
Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS baik dalam tafsir al-Ibris maupun al-Jalalain, terlepas dari kenabiannya adalah sosok manusia yang mau untuk belajar dari kehidupannya sehingga kendala apapun yang dihadapinya bisa terpecahkan oleh Nilai Karakter yang menyifatinya.

C.  Kata Penutup
Puji kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang maha pengasih lagi maha penyayang atas segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dari awal hingga akhir. Tak lupa pula penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan tugasnya. Namun demikian penulis menyadari sepenuh hati bahwa tesis yang ditulis ini masih banyak kekurangan, kelemahan dan masih jauh dari kriteria sempurna maka dari itu saran, masukan sangat kami harapkan dan semoga dengan kekurangan ini masih bisa meraih manfaat. Amiin


Banyumas, 10 Desember 2013

Penulis


Ahmad Mukhlasin
NIRM. 011.10.12.1571


NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KISAH NABI IBRAHIM AS DAN NABI ISMAIL AS (Studi Komparatif antara Kitab Tafsir al-Ibris dan Kitab Tafsir al-Jalalain) (BAB 4)

BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN KARAKTER
DALAM KISAH NABI IBRAHIM AS DAN NABI ISMAIL AS


A.    Analisis Nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Ibris
1.    Karakter Nafsiyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Ibris
a.       Jujur
Ibrahim adalah seorang Nabi yang diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang jelas. Yaitu ujian di atas kemampuan manusia biasa seperti halnya ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya. Dalam mimpi tersebut, Allah S.W.T, memerintahkan Ibrahim AS untuk menyembelih (mengorbankan) Ismail. Meskipun menghadapi ujian dan tantangan yang berat, Nabi Ibrahim AS tetap menunjukkan sebagai seorang hamba yang menepati janjinya dan selalu menunjukan sikap terpuji. Dalam perintah Allah S.W.T pada mimpinya tersebut kemudian disampaikan kepada Ismail. Hal ini dijelaskan dalam Qs. Ash Safaat : 102 :
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? . . . .4  [1]
Ayat tersebut, dalam Kitab Tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
 (١٠٢). بَآرݞ فوترَن وس يوسوا فتوݞ تهون, نبى ابراهيم نومفا وحي سوفيا يمبليه فوترانى. نبى ابراهيم عنديكا : هَى اناء اݞسنْ اݞݤيْر !!! اݞسُنْ سوفنا ساجرنى سارى, مناوا اݞسُونْ ݒمبليه مراݞ سليرامو, ݘوبا فيكرن كافريي موݞݤوه سليرا مو ؟ . . .[2]
Artinya              : Ketika  anaknya Nabi Ibrahim AS (Ismail) berusia tujuh tahun, Nabi Ibrahim AS mendapatkan wahyu supaya menyembelih anaknya, kemudian Nabi Ibrahim AS berkata :  hai anakku !!! dalam mimpiku, aku disuruh Allah S.W.T untuk menyembelih kamu, coba pikirkan; bagaimana menurut kamu ? . . . .

Penjelasan Tafsir al-Ibris tersebut menceritakan tentang wahyu dalam mimpinya Nabi Ibrahim AS yang berkaitan dengan anaknya yang mana pada posisi itu Ismail dalam masa yang sangat disayangi oleh Ayahnya, namun karena sikap kejujuran yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim AS sehingga beliau menceritakan keadaan yang sedang Allah S.W.T minta kepada Ibrahim.
Sebagaiman pembahasan jujur dalam karakter Nafsiyyah diatas, hal yang dilakukan Nabi Ibrahim AS ini merupakan sebuah tindakan untuk penyelamatan amanah yang dibawanya. Apa yang Allah S.W.T wahyukan dalam mimpinya, kemudian dilakukan untuk disampaikan sekalipun hal tersebut sangat menyakitkan terhadap seseorang yang menerima wahyu maupun objek dari wahyu tersebut. Pelaksanaan kejujuran yang dilakukannya ini tidak hanya cukup untuk disampaikan kepada Ismail saja melainkan dipraktikkan (dilaksanakan perintah dalam mimpinya).
Kejujuran Nabi Ibrahim AS diakui oleh Nabi Muhammad S.A.W sebagai mana dalam sebuah hadits :
وَحَدَّثَنِي أَبُوْ الطَّاهِرِ. أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ. أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوْبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِيْنَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلاَم قَطُّ إِلاَّ ثَلاَثَ كَذَبَاتٍ.  ثِنْتَيْنِ فِي ذَاتِ اللهِ قَوْلُهُ ( إِنِّي سَقِيمٌ ) وَقَوْلُهُ ( بَلْ فَعَلَهُ كَبِيْرُهُمْ هَذَا ) وَوَاحِدَةٌ فِي شَأْنِ سَارَةَ فَإِنَّهُ قَدِمَ أَرْضَ جَبَّارٍ وَمَعَهُ سَارَةُ وَكَانَتْ أَحْسَنَ النَّاسِ فَقَالَ لَهَا إِنَّ هَذَا الْجَبَّارَ إِنْ يَعْلَمْ أَنَّكِ اِمْرَأَتِي يَغْلِبْنِي عَلَيْكِ فَإِنْ سَأَلَكِ فَأَخْبِرِيْهِ أَنَّكِ أُخْتِي فَإِنَّكِ أُخْتِي فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ فِي اْلأَرْضِ مُسْلِمًا غَيْرِي وَغَيْرَكِ فَلَمَّا دَخَلَ أَرْضَهُ رَآهَا بَعْضُ أَهْلِ الْجَبَّارِ أَتَاهُ فَقَالَ لَهُ لَقَدْ قَدِمَ أَرْضَكَ اِمْرَأَةٌ لاَ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تَكُوْنَ إِلاَّ لَكَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَأُتِيَ بِهَا فَقَامَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَم إِلَى الصَّلاَةِ فَلَمَّا دَخَلَتْ عَلَيْهِ لَمْ يَتَمَالَكْ أَنْ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقُبِضَتْ يَدُهُ قَبْضَةً شَدِيدَةً فَقَالَ لَهَا ادْعِي اللهَ أَنْ يُطْلِقَ يَدِي وَلاَ أَضُرُّكِ فَفَعَلَتْ فَعَادَ فَقُبِضَتْ أَشَدَّ مِنَ الْقَبْضَةِ اْلأُوْلَى فَقَالَ لَهَا مِثْلَ ذَلِكَ فَفَعَلَتْ فَعَادَ فَقُبِضَتْ أَشَدَّ مِنَ الْقَبْضَتَيْنِ اْلأُولَيَيْنِ فَقَالَ ادْعِي اللهَ أَنْ يُطْلِقَ يَدِي فَلَكِ اللهَ أَنْ لاَ أَضُرَّكِ فَفَعَلَتْ وَأُطْلِقَتْ يَدُهُ وَدَعَا الَّذِي جَاءَ بِهَا فَقَالَ لَهُ إِنَّكَ إِنَّمَا أَتَيْتَنِي بِشَيْطَانٍ وَلَمْ تَأْتِنِي بِإِنْسَانٍ فَأَخْرِجْهَا مِنْ أَرْضِي وَأَعْطِهَا هَاجَرَ قَالَ فَأَقْبَلَتْ تَمْشِي فَلَمَّا رَآهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَم اِنْصَرَفَ فَقَالَ لَهَا مَهْيَمْ قَالَتْ خَيْرًا كَفَّ اللهُ يَدَ الْفَاجِرِ وَأَخْدَمَ خَادِمًا قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ فَتِلْكَ أُمُّكُمْ يَا بَنِي مَاءِ السَّمَاءِ                              [3].
Secara garis besar hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa : Nabi Muhammad S.A.W sangat mengakui kejujuran Nabi Ibrahim AS karena tidak pernah melakukan perbuatan dusta kecuali pada pada tiga kali kesempatan yang di makluminya yaitu :
-       Pengakuan sakitnya Nabi Ibrahim AS
Ucapan Nabi Ibrahim yang berbunyi; Sesungguhnya Aku sakit hal itu terdapat dalam QS Ash Shafaat : 89. Pengakuan tersebut dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau diajak merayakan keramaian (pesta) yang diadakan Raja Namrud. Dalam Kitab Tafsir al-Ibris diceritakan bahwa :
ستاهون سفيسان نمروذ ݤا وى كرا مييان ݤݚى٢نان ان اݞ ساءانجابانى كوطا ؞  بياسانى ووݞ ساء نغارا متو كابيح مياع  ارا٢ – فرلو فراياءَن سنع٢. دادى كو طا ايا بنجور سفى, ساع بالينى سعكع فرا ياءان, بياساني نولي فادا مياع كلنطيع يمبه براهالا. انا اع سيجي تهون. نبي ابراهيم دي اجاء كاي معكونواكو. نعيع نبى ابراهيم اورا كرصا. ماله عوجارعاجراكن برهالا ؞ : نليكو نبى ابراهيم دى اجاء, نبى ابراهيم ايطؤ٢ نعالي لنتاع (زمان ايكو, علم فلنتعان كلاكوباعت) نولى داوُوه : يين نعالى لنتاع اعسن, اعسن ارف لا را, قومى نبي ابراهيم عندل, نولى فادا براعكات ديوى, نبى ابراهيم  دى تعغال ؞[4]

Kisah tersebut menjelaskan bahwa “dalam tiap tahun Raja Namrud membuat perayaan besar-besaran di luar kota yang diikuti oleh warganya di tempat yang disediakan untuk merayakan pesta sehingga pusat kota menjadi sepi. kebiasaan yang dilakukan orang-orang adalah pergi ke kelentheng untuk menyembah berhala. Pada suatu tahun, Nabi Ibrahim AS diajak untuk turut berpesta, Nabi Ibrahim AS tidak menginginkannya akan tetapi malah membuat berhala yang ada dalam klentheng tersebut berantakan. Pada saat Nabi Ibrahim AS diajak, beliau berpura-pura menatap bintang (yang mana pada saat itu ilmu perbintangan sangat diyakini kebenarannya), beliau berkata : “saat saya melihat bintang, saya akan sakit”. Kemudian kaum Nabi Ibrahim AS mempercayainya dan bergegaslah mereka pergi meninggalkannya.”
-       Pemberontakan terhadap patung berhala
Pada saat harcurnya berhala sesembahan Raja Namrud, Nabi Ibrahim AS sebagai satu-satunya orang yang menjadi pelakunya, hal tersebut sudah terbaca oleh Raja Namrud dan para pengikutnya. Kemudian Nabi Ibrahim AS dipangil untuk dikonfirmasi akan perbuatannya sebagaimana dikisahkan dalam surat al-Anbiya : 62-63 dan dalam tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
۲) : (بارع نبى ابراهيم ووس دى تكا ءكى), ووع اكيه, خصوصى نمروذ تاكون : افا سيرا كع تومينداء مجاه٢سسمباهان٢ اعسون ايكى – هى ابراهيم؟ ؞ (٦۳) : نبى ابراهيم ماعسولى : كع تومينداء مجاه۲ اكو فعغدين اكي : سيرا كابيه فدا تاكونا مراع برهالا۲ ايكو, سافا كع تومينداء مجاه۲ – بؤ مناوا فدا بيصا عوجف ؞[5]

Maksud dari tafsir tersebut diatas adalah “ketika Nabi Ibrahim AS didatangkan (ke tempat berhala), banyak orang yang bertanya, khususnya Raja Namrud : apakah kamu yang menghancurkan sesembahan aku ini ya Ibrahim ?; Kemudian menjawab : yang menghancurkan sesembahan adalah berhala besar itu; kalian semua tanyakan kepada berhala-berhala itu “siapa yang memhancurkannya, siapa tahu bisa mengucap (menjawabnya).
-       Menyangkut diri Sarah
Nabi Ibrahim AS hijrah bersama Siti Sarah ke Mesir,  pada saat itu Negara tersebut dipimpin oleh raja Fir’aun yang bernama Sinan bin Ulwan bin Ubaid bin Auj bin Imlaq bin Lawaz bin Sam bin Nuh. Raja tersebut dikenal sangat rakus,  demi keselamatan mereka berdua maka Nabi Ibrahim AS membohongi sang raja sebagaimana dalam kisah bahwa :
اع معسا ايكو نغارا مصردي فرينته دينع راجا كع راكوس وتكى. نالكا نبى ابراهيم ملبو اع  نغارا مصر, ستى سارة اورا دي اكو بوجوني. نعيع دي اكو سدلوري. كع دي كواتركي مناوادي اكو بوجوني, ممكن نبى ابراهيم دي فا تينى بنجور ستى سارة دي فيك.[6]  

Kisah tersebut terdapat pengakuan Nabi Ibrahim AS bahwa Sarah tidak diakui istri melainkan saudara, karena jika diakui sebagai istri akan dimungkinkan Fir’aun membunuhnya kemudian menikahi Sarah. Dalam kisah selanjutnya, Sarah diambil oleh utusan kerajaan untuk menghadap Raja yang sebelumnya terlebih dahulu menemui Nabi Ibrahim. Ketika Sarah sampai di kerajaan, sang raja malah menganggap ini (sarah) adalah golongan setan, sehingga selamatlah sarah dari kerakusan Fir’aun tersebut. Spekulasi dalam Kejujuran yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS tidaklah ringan bahkan jika kejujuran atau strategi tersebut tidak diterima atau dibantah oleh objeknya maka akan mengancam keselamatan Nabi Ibrahim AS.
Nabi Ismail AS, telah kita ketahui dalam kisah qurban yang dilaksanakan dalam momentum iedhul adha. Jujur yang dilaksanakan ketika beliau diqurbankan oleh Ayahnya adalah sebagai bentuk jujur dalam niat dan kemauan (shidqu an-niyyah wa al-'azm) yaitu melakukan segala sesuatu dilandasi motivasi dalam kerangka hanya mengharap ridhlo Allah S.W.T, Nilai sebuah amal dihadapan Allah S.W.T sangat ditentukan oleh niat atau motivasi seseorang.[7]
Kejujuran semacam hal tersebut oleh Nabi Ismail AS dicerminkan ketika Ayahnya menanyakan tentang kesanggupan untuk diqurbankan karena perintah Allah S.W.T dalam mimpinya. Pada kesempatan itu, Nabi Ismail AS menyanggupinya untuk disembelih. Dalam kitab al-Ibris, jawaban Ismail AS terhadap Ayahnya dijelaskan bahwa :
 : بفاء دالم اتورى ننداءكن فرينته ايفون الله, دالم ان شاء الله امبتن بادي بعكاع.[8]
Nabi Ismail AS dalam kisah tersebut menjawab dengan optimis dan tidak menolak (atau brontak) sebab menyadari bahwa apa yang dilakukan Ayahnya tersebut adalah murni perintah dari Allah S.W.T.
Kisah kejujuran Ismail AS ini sebagai sebuah simbol bahwa patuhnya seorang anak kepada orang tuanya yang tidak bisa ditolak atau digantikan dengan tindakan lain sebagai wujud penghambaan diri kepada Allah S.W.T sehingga hal ini menjadi inspirasi pengorbanan yang oleh umat Islam adalah mengqurbankan hewan qurban dihari iedhul adha untuk mengungkap kebesaran Allah.

b.      Kerja Keras
Simbol kerja keras yang sering dinilai oleh sebagaian besar masyarakat adalah kerja yang dapat dirasakan secara fisik seperti membangun sebuah bangunan sekalipun banyak kerja keras non-fisik yang lebih menguntungkan hajat hidup orang banyak. Salah satu kerja keras Nabi Ibrahim AS secara fisik adalah dalam “melanjutkan” pembangunan ka’bah. Pada saat Nabi Ibrahim AS mengerjakan pembangunan ka’bah beliau bersama istrinya yang bernama Siti Hajar dan anaknya, lingkungan tersebut adalah lingkungan tandus, belum didiami orang lain sedangkan beliau berasal dari Babylonia dan meninggalkan istrinya yang bernama Siti Sarah sehingga harus pergi meninggalkan Ismail dan Ibunya.[9] Secara sederhana hal tersebut tercermin sifat kerja keras Nabi Ibrahim AS.
Setelah pembangunan Ka’bah dimulai, ketika itu Ismail sudah dapat ikut membantu Ayahnya. Pembangunan Ka’bah yang semakin meninggi sehingga Nabi Ibrahim AS tidak sanggup lagi tangannya sampai pada bangunan tersebut, akan tetapi beliau tidaklah lantas menghentikan bangunan itu melainkan menginjak batu yang disediakan oleh anaknya sehingga pembangunan tidak terhenti. Nabi Ibrahim menyusun naik batu sementara Nabi Ismail AS pula mengutip batu-batu besar, selain itu mereka tetap senantiasa memanjatkan doa sekalipun usaha fisik ditempuhnya sebagaimana firman Allah S.W.T  dalam Qs. al-Baqarah : 127 :
øŒÎ)ur ßìsùötƒ ÞO¿Ïdºtö/Î) yÏã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@ŠÏè»yJóÎ)ur $uZ­/u ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$#
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa) : "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".[10]
Kerja keras yang dilakukan Nabi Ibrahim AS ketika membangun ka’bah dijelaskan dalam tafsir al-Ibris bahwa :
سأ جرون فدا يامبوت كاوي, ككارونى نبي ابرهيم لن نبي اسماعيل تانساه ييوون مراع وعيران.[11]

Sebagai sosok beriman, Nabi Ibrahim AS dan putranya menyeimbangkan urusan duniawi dengan ukhrowi sebagai wujud kerja keras untuk menjalankan hidupnaya. perilaku tersebut tercermin ketika beliau melanjutkan pembangunan Ka’bah. Jadi untuk mewujudkan kerja keras tidak sekedar mengutamakan satu hal saja sebagai bentuk usaha melainkan harus berimbang supaya pekerjaan terwujud dan melalui doa, Allah S.W.T. meridloi.
Gotong-royong yang menjadi tradisi bangsa Indonesia untuk kebersamaan dalam kerja keras demi kepentingan umum yang bersifat untuk kemaslahatan, Nabi Ismail AS beserta Ayahnya telah menjalankannya terlebih dahulu. Mereka membangun Ka’bah dengan tangan-tangan mereka sendiri. Mengangkut batu dan pasir serta bahan-bahan lainnya dengan tenaga yang ada padanya. Setiap selesai bekerja  Nabi Ibrahim AS bersama Nabi Ismail AS, keduanya berdoa, “Ya Tuhan! Terimalah kerja kami ini, sungguh Engkau maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.
Kerja keras yang dilakukan Nabi Ismail AS tersebut bersama Ayahnya tidak hanya terlihat secara fisik saja akan tetapi ada ikhtiar melalui doa dan ide supaya pekerjaan tersebut dapat berlangsung tanpa hambatan yang berarti.  Ketika bangunan tersebut semakin tinggi sehingga sang Ayah tangannya tidak sampai, Nabi Ismail AS menyediakan batu untuk tumpuan supaya sang Ayah tangannya sampai untuk menata material bangunan.

c.       Sabar
Sebagaimana dalam kisah kebohongan yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim AS namun dicurigai sebagai pelaku penghancuran berhala, berbagai alasanpun tidak diterima oleh orang kafir bahkan mereka semakin berang dan berteriak : “Bakar Ibrahim, bantulah tuhan kalian.” Mereka pun membakar tubuh Ibrahim di antara tumpukan kayu bakar. Kesabaran yang begitu kuat di dada Ibrahim tidak membuatnya surut menegakkan kebenaran, meskipun nyawa taruhannya.
Sabar yang pahit itu berbuah manis. Api yang sifatnya membakar tiba-tiba keluar dari hukumnya; api panas dan membakar kayu, tetapi tidak membakar tubuh Ibrahim, Dalam tafsir al-Ibris dijelaskan :
فرساسات ووع سأ نغر فدا عمفول٢ اكي كيو دى امفوك٢ سأجرونى سأوولان. = بارع كايوووس مونجوع٢ كيا غنوع, كايو مولاهى دى سومد = بارع غنيبى ووس مولاد٢, نبى ابرهيم دى بوندا, نولى ديجغوراكى نيع تعاه٢ هي غنيى = سادوروعى دى جغراكى, اكيح ملائكة٢ كع ارف تولوع = انا كع ارف يرام بايو, انا كع ارف نكأكي اعين, نعيع نبي ابرهيم اوراكرصا = عنتي ملائكة جبريل عندييكا : فنجنعان حاجة فونفا ؟ نبي ابرهيم ماعسولي : مناوى داتع فنجنعان كولا بوتن حاجة فونفا٢. ملائكةجبريل عنديكامانيه : مناوى مكاتن اعغيه يوون داتع غوستى الله, نبى ابراهيم ماعسولي : حَسبِى مِنْ سؤَالي علمهُ بحالى – حسبِىَ اللهُ ونعم الوكيل = (فرسانيفون الله داتع كاوونتنان كاولا, سامفون يكافى فيون كاوولا = اعكع يكافى كاوولا الله تعالى – الله تعالى فونيكا ساهى٢ نيفون ذات اعكع ديفون فاسراهي). الله تعالى نولى داووه : يَاناَرُكونى برْدًا وّسلامًا على ابرهيم (هى غنى! سيرا انها, دادي اديم لن اورا انبايا ني تمراف ابراهيم)[12]            

Kesabaran yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika dibakar oleh Raja Namrud pada saat beliau berusia enam belas tahun, banyak malaikat yang menawarkan pertolongan kepadanya namun Nabi Ibrahim AS tidak menerimanya. Karena kesabaran dan kepasrahan terhadap segala pertolongan Allah S.W.T, atas ridlo-Nya api yang dinyalakan untuk membakar Nabi Ibrahim AS hilang sifat panasnya. Hal inilah dapat menjadi bukti bahwa Allah S.W.T bersama dengan orang-orang yang sabar.
Kesabaran Nabi Ismail AS ketika harus menepati nadzar Ayahnya kepada Allah S.W.T ketika menyembelih Qurban fisabilillah sehingga orang-orang dan malaikat mengaguminya, beliau mengatakan bahwa :
“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,”[13]

Dengan ungkapan tersebut yang disampaikan oleh sang Ayah pada saat belum memiliki anak laki-laki, Nabi Ismail AS terlahir sebagai anak laki-lakinya yang pertama sehingga dikorbankanlah Nabi Ismail AS dengan alasan karena adanya wahyu dari Allah S.W.T.
Wahyu yang sang Ayah terima kemudian disampaikanlah kepada Nabi Ismail AS, pada saat itu Nabi Ismail berusia tujuh tahun dan menyanggupinya. Dikisahkan pada al-Qur’an, proses menjelang penyembelihan tersebut dalam Qs. Ash-Shaffaat : 103 :
!$£Jn=sù $yJn=ór& ¼ã&©#s?ur ÈûüÎ7yfù=Ï9
Artinya           : Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim   membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).[14]
Proses itu sangat tampak nyata kesabaran baik tercermin oleh sang Ayah maupun anak.
Terlahirnya Nabi Ismail AS merupakan hasil doa yang dipanjatkan oleh sang Ayah kepada Allah S.W.T sebagaimana dalam Qs. Ash-Shaffaat : 100-101 :
Éb>u ó=yd Í< z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# . çm»tRö¤±t6sù AO»n=äóÎ/ 5OŠÎ=ym .
Artinya           : Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.[15]
Secara langsung sekalipun tidak pernah ada nadzar yang diungkapkan berkenaan dengan anak laki-laki maupun wahyu untuk disebelihnya anak tersebut, Allah S.W.T sudah mempersiapkan anak-anak Nabi Ibrahim AS yang telah berdoa kepada-Nya berupa anak yang sabar. Dalam kitab tafsir al-Ibris, kesabaran  yang terdapat dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa :
الله تعالى فاريع ببوعه فوتراكاكوع كع ارس فعغاليهي[16]
Kesabaran yang sudah diakui dan dipersiapkan oleh Allah S.W.T ini kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS sehingga berbagai keanugrahan dapat diperolehnya setelah adanya ikhtiar untuk menjalani kesabaran tersebut. Nabi Ismail AS yang telah lulus uji ketika hendak disembelih Ayahnya sehingga Allah S.W.T menggantikannya dengan kambing.

d.      Tanggung Jawab
Rasa simpati dan tanggung jawab terhadap keluarga telah mendorong Nabi Ibraham AS untuk menasihati dan mewasiatkan kepada anak-anak beliau agar berpegang teguh kepada agama Allah S.W.T. Tarbiyatul Abna’ (Pendidikan anak-anak), adalah tanggung jawab besar dan agung yang dipikulkan kepada Nabi Ibrahim AS sebagai kepala keluarga. Beliau sebagai seorang kepala keluarga, dihadapan anaknya memiliki peranan tanggung jawab sama seperti orang tua yang lain terhadap semua anaknya. Tanggung jawab atas anaknya tersebut, beliau menasihatinya untuk senantiasa beriman kepada Allah S.W.T, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah : 132 yang dijelaskan dalam tafsir al-Ibris bahwa :
كنجع نبي ابرهيم ارف سيدا سمونو اوغا نبي يعقوب فوترا٢ني فدادي وصيتي كع سوراساني : اوه اناء٢ كوي كابيه اعغير! سجاتينى الله تعالى ايكو ووس مليها كي اغمو اسلام كاغوسيراكابيه. [17]

Bentuk tanggung jawab yang diajarkan Nabi Ibrahim AS kepada anaknya bukan hanya untuk menghambakan diri kepada Allah S.W.T yang bersifat tauhidiyyah dan nantinya hanya ber imbas pada diri sendiri. Ismail AS sebagai anak Nabi Ibrahim AS, kala itu membangun ka’bah. Nabi Ibrahim AS berperan sebagai tukang batu sedangkan anaknya membantu untuk menyediakan / mendekatkan kebutuhan Ayahnya dalam membangun kabah, dalam tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
كعبح نولى دى باعون. نبي ابرهيم كع دادى توكاعى, نبي اسماعيل كع دادى فمبانتونى.[18]

Sikap Nabi Ismail AS yang telah diakui oleh Allah S.W.T dalam golongan orang yang shaleh dan berbagai macam ujian berat yang pernah dialaminya, sebagai sosok anak dari Nabi Ibrahim AS beliau tetap memposisikan dirinya sebagai anak yang harus patuh kepada orang tuanya terbukti pada saat membantu melanjutkan pembangunan ka’bah, belum lagi sebelum itu pada saat berusia tujuh tahun dengan segala kepasrahan dan kerelaan terhadap Allah S.W.T karena akan dijadikan sembelihan untuk membuktikan nadzar Ayahnya.
Tanggung jawab yang tidak ringan tersebut dialami Nabi Ismail AS dalam kehidupannya bukan hanya bermanfaat atas dirinya saja melainkan sebagai inspirasi keimanan umat manusia kepada Tuhannya. Dalam al-Qur’an, karakter / mental tanggung jawab yang dimiliki oleh Nabi Ismail AS dipesankan kepada Nabi Muhammad S.A.W supaya menceritakan bahwa Nabi Ismail AS adalah yang benar janjinya. Dalam kitab tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
اندرانا, محمد ! شجرون اسمعيل كع كاسبوت اع كتاب القران تمنان اسمعيل اكو ووع كع تمن جانجينى[19]

Keistimewaan dalam kehidupan yang dilalui Nabi Ismail AS ini tidak hanya untuk diceritakan kepada umatnya saja pada zaman itu, bahkan Rosulullah Muhammad S.A.W dipesan oleh Allah S.W.T untuk menceritakan kepada umatnya atas kebenaran, kenabian dan kerasulannya. Haji, Qurban Idhul Adhha yang pada saat ini masih berlaku pada kalangan umat Islam penjuru dunia banyak diwarnai oleh kisah-kisah kehidupan Nabi Ismail AS baik dengan Ayahnya maupun ibunya.
2.    Karakter Insaniyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Ibris
a.       Tolong Menolong
Sikap yang dilakukan Nabi Ibrahim AS tidak hanya dalam hubungan orang tua dan anak ketika melanjutkan pembangunan ka’bah atau pun dalam menghambakan diri kepada Allah S.W.T, alasan Allah S.W.T member gelar khalilullah kepada beliau diantaranya karena kesanggupannya dalam meletakkan keseimbangan dalam kebaikan yang menyangkut orang lain. Dijelaskan dalam  Qs. an Nissa : 125 :
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsƒªB$#ur ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz
Artinya           : Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.[20]

Tauhid yang menjadi penemuannya, atas dasar keilmuan yang dimilikinya tersebut Nabi Ibrahim AS sanggup untuk menolong Ayahnya dari ancaman kesesatan. Kesesatan yang mejadi bagian dari orang-orang yang bersekutu dengan syaitan tidak diinginkan beliau terjadi pada Ayahnya. Pertolongan Nabi Ibrahim AS dalam hal tersebut sebagimana QS Maryam : 43 dalam tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
كاوولا فونيكا نامفي علم اعكع فنجنعان امبوتن نامفى (اعكيحه فونيكا وحيتوحيد).[21] 
Ilmu tauhid yang mengilhami beliau kemudian dijadikan sarana untuk menolong sang Ayah yang masih menyembah patung, akan tetapi tidak adanya hidayah pada sang Ayah saat itu sehingga Nabi Ibrahim AS gagal dalam memahkan nilai-nilai tauhid kepada Ayahnya.
Setelah Nabi Ismail AS dewasa, beliau membantu Ayahnya, Nabi Ibrahim AS untuk “melanjutkan” membangun ka’bah sebagai pusat penyembahan kepada Allah S.W.T. Ka’bah itu akhirnya menjadi kiblat orang-orang beriman setelahnya termasuk kaum muslimin sekarang. Nabi Ibrahim mendatanginya. Tibalah saat yang tepat untuk menjelaskan hikmah Allah S.W.T yang telah terjadi dari perkara-perkara yang samar.
Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail : "Wahai Ismail, sesungguhnya Allah S.W.T memerintahkan padaku suatu perintah" ketika datang perintah pada Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya, beliau menjelaskan kepadanya persoalan itu dengan gamblang. Dan sekarang ia hendak mengemukakan perintah lain yang sama agar ia mendapatkan keyakinan bahawa Ismail akan membantunya. Kita dihadapan perintah yang lebih penting daripada penyembelihan. Perintah yang tidak berkenaan dengan peribadi Nabi tetapi berkenaan dengan makhluk. Ismail berkata : Laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu padamu.Nabi Ibrahim AS berkata : “Apakah engkau akan membantuku?” Ismail menjawab : “Ya, aku akan membantumu.” Nabi Ibrahim AS berkata : Sesungguhnya Allah S.W.T memerintahkan aku untuk membangun rumah di sini. Nabi Ibrahim AS mengisyaratkan dengan tangannya dan menunjuk suatu bukit yang tinggi di sana.[22]
Kesanggupan Nabi Ismail AS dalam pembangunan ka’bah ini sebagaimana ajakan Ayahnya tersebut tidak hanya untuk kepentingan mereka berdua saja tetapi untuk kepentingan orang banyak. Sebagaimana perkataan Ayahnya bahwa “Perintah yang tidak berkenaan dengan peribadi Nabi tetapi berkenaan dengan makhluk”. Perintah Allah S.W.T kepada Nabi Ibrahim AS tersebut, beliau menganggap lebih penting daripada perintah ketika untuk menyembelih Ismail.

b.      Toleransi
Ibrahim AS sebagai seorang Nabi yang pernah mendapatkan wahyu untuk menyembelih anaknya. Sebagaimana dalam Qs Ash Safaat : 102 yang terlebih dahulu sudah disebutkan dalam pembahasan karater jujur, pada ayat tersebut terdapat kalimat Tanya untuk anaknya tentang masalah wahyu yang diterimanya. Dengan apa yang dilakukannya itu berarti bahwa wahyu yang beliau terima tidak serta merta dilakukannya sekalipun Beliau adalah seorang Nabi yang tentunya lebih baik dari orang lain namun hal tersebut ditawarkan untuk dipikir terlebih dahulu akan kesanggupan anak tersebut untuk disembelihnya.
Kisah tersebut dalam tafsir al Ibris disebutkan bahwa :
. . . : هَى اناء اݞسنْ اݞݤيْر !!! اݞسُنْ سوفنا ساجرنى سارى, مناوا اݞسُونْ ݒمبليه مراݞ سليرامو, ݘوبا فيكرن كافريي موݞݤوه سليرا مو ؟ . . .[23]
Tawaran tersebut terhadap yang diajukan kepada anaknya tentunya bukanlah sebagai “kebetulan saja”, perlu diingat lagi bahwa secara nalar kita pahami bahwa seorang Nabi tidak pernah menolak untuk menjalankan wahyunya karena sudah jelas kebenarannya. Nabi Ibrahim AS sebagai sosok yang memiliki jiwa toleran, ketika mendapatkan wahyu dari Allah S.W.T Beliau sanggup untuk berdiskusi terhadap pihak yang menjadi objek.
Sikap toleran yang dilakukan Nabi Ismail AS lebih kepada urusan yang berkaitan dengan Ayahnya. Dari ajuan pertanyaan yang seharusnya bersikap brontak akan tetapi dijalani dengan penuh ketegaran.
: بفاء دالم اتورى ننداءكن فرينته ايفون الله.[24]
Seorang anak tentunya tidak akan bisa berlaku semacam itu kecuali ketika mendapat hidayah dari Allah S.W.T. Nabi Ismail AS bersikap tidak brontak bahkan dengan kerendahan hati untuk bisa bersikap terang disampaikannya. Perasaan dingin yang dirasakan sang Ayah muncul ketika jawaban semacam itu keluar dari anaknya, bahkan ketoleransian yang tinggi tercipta sehingga sang Anak lebih untuk menyuruh Ayahnya untuk menjalankan apa yang menjadi perintah dari Allah S.W.T

c.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Tindakan amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dalam perjalanan hidupnya tidak hanya didasarkan atas wahyu atau perintah dari Allah S.W.T semata. Atas dasar akal sebagai karunia-Nya beliau pergunakan, lemah lembut karena apa yang harus dilakukannya supaya tidak bertentangan atau bersingungan dengan orang lain dan sabar dilakukannya supaya tujuan tercapai karena adanya ridlo Allah S.W.T.
Berilmu sebagai sebuah alat untuk melakukan tindakan amar ma’ruf nahi munkar dipergunakan oleh Nabi Ibrahim AS supaya perintah yang berkenaan dengan anjuran mapun larangan untuk melakukannya. Cara cerdas Beliau ketika harus menghancurkan berhala yang pernah dilakukan tidak bisa terlepas dari kecerdasannya. Raja Nabrud sebagai orang yang paling marah terhadap perilaku Nabi Ibrahim AS tersebut yang memang terlebih dahulu telah mencurigai tentang siapa yang menghancurkan berhala-berhala ditempat ibadah menanyakannya kepada Nabi Ibrahim AS, dan beliaupun menjawab secara cerdas dan beralasan  diplomatis. Kisah tersebut dijelaskan dalam kitab Tafsir al Ibris :
. . . افا سيرا كع تومينداء مجاه٢سسمباهان٢ اعسون ايكى – هى ابراهيم؟ ؞ (٦۳) : نبى ابراهيم ماعسولى : كع تومينداء مجاه۲ اكو فعغدين اكي : سيرا كابيه فدا تاكونا مراع برهالا۲ ايكو. . . ؞[25]

Jawaban Nabi Ibrahim AS terhadap pertanyaan Raja Namrud sangat masuk akal dan sistematis sehingga “mematikan” lawan bicaranya (penanya) dan kelompok yang sedang dihadapinya.  Dengan jawaban yang dilontarkan Nabi Ibrahim AS tersebut, seharusnya Raja Namrud dan pengikutnya harus berani meninggalkan kepercayaan karena berhala besar yang ditanya tidak bisa menjawab akan tetapi karena Raja memiliki kekuasaan penuh sehingga Nabi Ibrahim AS dihukum bakar.
Selain cerdas, dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar juga harus dengan sikap lemah lembut. Sikap lemah lembut yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim AS diantaranya ketika Beliau menasihati Ayahnya supaya tidak lagi menyembah berhala. Awal kali beliau berda’wah kepada Ayahnya, dengan lemah lembut mengatakan “wahai bapakku, janganlah engkau menyembah batu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat. Dan yang tidak bisa memberi manfaat juga tidak bisa mencegah keburukan dari kamu”.[26] Dalam Qs Maryam : 42 Allah S.W.T berfirman :
øŒÎ) tA$s% ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»tƒ zNÏ9 ßç7÷ès? $tB Ÿw ßìyJó¡tƒ Ÿwur çŽÅÇö7ムŸwur ÓÍ_øóムy7Ytã $\«øx©
Artinya           : Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?.[27]

Bersabar sebagai bagaian yang tidak bisa dilepaskan dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana kita ketahui “sabar” dalam pembahasan karakter Nafsiyyah, setidaknya ada tiga hal yang dijelaskan dalam  Qs. al-Kahfi : 28 tentang kesabaran yaitu :
-            Sabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;
-            dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini;
-            dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Ketiga poin pokok tersebut dilakukan Nabi Ibrahim AS dalam perjalanan hidupnya, ketika beliau berda’wah kepada Ayahnya maupun kepada masyarakat Raja Namrud. Bagaimana keuletan dan kepasrahan kepada Allah S.W.T lakukan untuk mendapat ridlo-Nya sekalipun kemudian beliau tahu dan menyadari bahwa Ayahnya sulit mendapat hidAyah dari Allah S.W.T sedangkan Namrud adalah seorang raja yang dapat bebas keinginannya sekalipun terkalahkan oleh diplomasi.
Nabi Ismail AS dalam berperilaku amar maruf nahi munkar lebih berkesan kelembutannya. Kisah hidupnya yang dianjurkan Allah S.W.T  supaya diceritakan dalam al-Quran. Nabi Ismail AS merupakan sosok yang selalu mendapat ridlo dari Allah S.W.T maka dari itu urusan berat yang menjadi tanggungan dalam kehidupannya senatiasa member keberkahan pada kehidupan umatnya.
Anjuran Nabi Ismail AS yang berkaitan dalam dua unsur atau hablum min Allah dan hablum minan nas adalah urusan sholat dan zakat. QS. Maryam : 55 sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Ibris bahwa :
كهنون نبى اسمعيل اكو تانسه مرينتا هاكي قومي علاكون صلاة لن زكاة, لن كاهانانى نبي اسماعيل اكو ان اع عرسا ني فعرانى تنسه دين ريضاني.[28]
Hal tersebut merupakan sebuah perilaku yang nantinya akan menciptakan keselarasan dalam berkomunikasi. Sholat sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhannya dan zakat sebagi media untuk bisa saling merasakan antar sesame manusia diajarkan kepada  uamatnya.

d.      Peduli
Kepedulian Nabi Ibrahim AS yang sering kita dengar adalah masalah Qurban Idhul Adha. Disisi lain beliau memiliki kepedulian yang tidak kalah mulia dengan sebagaian besar yang kita tahu. Nabi Ibrahim AS sebagai anak dari seorang penyembah berhala, beliau menyadari bahwa apa yang disembah orang tuanya adalah bagian dari kesesatan. Al-Quran dalam QS Maryam : 45 dijelaskan yang artinya “Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".
Nasihat Nabi Ibrahim AS yang dilontarkan kepada Ayahnya merupakan wujud kepedulian yang tinggi oleh seorang anak kepada bapaknya karena kekhawatiran akan turunnya azab dari Tuhan yang Maha pemurah sehingga nantinya dikelompokkan kepada golongan syaitan oleh-Nya.  Dalam Tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
اوه بفاء ! ساءا يستو كولا فونيكا كوواتوس, بيليه فنجنعان (مناوي بوتن توبت) بادى ننداع فاسكسان سعكيع الله تعالى اعكع ولاس اسيه, لاجع فنجنعان دادوس كانجانبفون شيطان وونتن اعنراكاv [29]  

Kesanggupan Nabi Ibrahim AS untuk menasihati Ayahnya bukan berarti biadab terhadap orang tuanya. Keyakinan yang kuat dengan pengetahuan yang dimilikinya akan kebenaran Allah S.W.T sekalipun mengatakan bahwa Allah S.W.T. akan menurunkan siksa kepada orang tua ketika tidak segera menghindarkan diri dari kesesatan ini merupakan sebuah kepedulian tauhidiyah yang Nabi Ibrahim AS lakukan. Kepedulian tersebut sangat besar manfaatnya bagi yang menasihati maupun yang dinasihati akan tetapi pada saat itu Ayah Nabi Ibrahim AS tidak mengindahkan nasihatnya.
Amar maruf Nahi munkar yang selalu dijalani Nabi Ismail AS tidak sebatas untuk kepentingan dirinya saja. Dalam sholat yang dianjukan kepada umatnya dilihat dari sisi sosial maka akan terjadi hubungan saling mengingatkan antara satu sama lain sehingga tercipta keagraban dalam lingkungan.
Zakat yang menjadi ajuran berikutnya dapat dimaknai bahwa kehidupan sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain harus dipupuk. Maka dari itu zakat sebagai media untuk dapat peduli dianjurkan kepada umatnya.  Sholat dan zakat yang pernah dianjurkannya tersebut, menyimpan makna kepedulian yang tinggi jika keduanya dijalani atas dasar kesadaran yang murni.

3.    Karakter Ilaahiyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Ibris
a.       Iman
Keimanan Nabi Ibrahim AS yang teguh, dapat di lihat bagaimana ketika beliau dengan tegas untuk tidak ikut serta menyembah patung berhala yang di sanjung-sanjung masyarakat pada kala itu. Beliau berani untuk menjadi dirinya yang berbeda, untuk mempertahankan kebenaran, perbuatan semacam itu layak kita contoh.
Nabi Ibrahim AS memperoleh keyakinan melalui pencarian yang sangat panjang, semula beliau menganggap bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan. Namun pada akhirnya beliau menemukan kebenaran yang hakiki, yaitu zat tunggal yang di yakini sebagai Tuhan yaitu Allah Azza Wa Jalla. Nyawa yang hanya satu beliau miliki tidaklah takut melayang untuk membela penemuann tentang keimanan yang sesungguhnya.
Keyakinan yang kuat akan keberadaan dan kuasa Allah S.W.T dengan totalitas beliau ujudkan. Proses pembakaran Nabi Ibrahim AS oleh Raja Namrud dengan keadaan raga Nabi diikat untuk kemudian dilemparkan kebunga  api, membuat Malaikat Jibril dan malikat lainnya bahkan burung berkeinginan untuk menolongnya akan tetapi karena keimanan yang kuat kepada Allah S.W.T membuatnya pasrah dan menyerahkan segala urusan yang sedang dijalani ini kepada-Nya. Karena keimanan tersebut kemudian Allah S.W.T menghilangkan sifat panas yang dimiliki api.
Keimanan yang mutlak kepada Allah S.W.T dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ini sangat dihargai oleh Allah S.W.T sekalipun hal tersebut tidak diharapkan atau diminta-Nya. Nabi Ibrahim atas keimanannya tersebut yang tidak mengharap kepada dzat selain Allah S.W.T sehingga dihilangkan sifat panasnya api pada saat Nabi Ibrahim AS  didalamnya. Dalam Tafsir al-Ibris, kepasrahan kepada Allah S.W.T oleh Nabi Ibrahim AS dikisahkan bahwa :
ملائكة جبريل عندييكا : فنجنعان حاجة فونفا ؟ نبي ابرهيم ماعسولي : مناوى داتع فنجنعان كولا بوتن حاجة فونفا٢. ملائكةجبريل عنديكامانيه : مناوى مكاتن اعغيه يوون داتع غوستى الله, نبى ابراهيم ماعسولي : حَسبِى مِنْ سؤَالي علمهُ بحالى – حسبِىَ اللهُ ونعم الوكيل = (فرسانيفون الله داتع كاوونتنان كاولا, سامفون يكافى فيون كاوولا = اعكع يكافى كاوولا الله تعالى – الله تعالى فونيكا ساهى٢ نيفون ذات اعكع ديفون فاسراهي). الله تعالى نولى داووه : يَاناَرُكونى برْدًا وّسلامًا على ابرهيم (هى غنى! سيرا انها, دادي اديم لن اورا انبايا ني تمراف ابراهيم)[30]
Nabi Ismail mengimani perintah Allah SWT melalui mimpi sang Ayah. Dengan jawaban yang penuh kepasrahan kepada Allah S.W.T atas jawban dari pertanyaan Ayahnya ketika ditawari untuk diqurbankan atas dasar mimpi dari Allah S.W.T. Pembenaran dan kesanggupan tersebut diucapkan kepada sang Ayah untuk melakukan perintah Allah S.W.T yang menyangkut keadaan dirinya. Dalam tafsir al-Ibris disebutkan bahwa : 
 : بفاء دالم اتورى ننداءكن فرينته ايفون الله,.[31]
Pembenaran yang tinggi terhadap kuasa Allah S.W.T sudah nampak pada jiwa Ismail kecil dan tetap ada hingga beliau bertumbuh dewasa.
 Kehadiran sang Ayah semenjak meninggalkanya di Makkah pada saat masih kecil, sang Ayah menjenguk keadaan keluarga kecil anaknya di Makkah. Ismail dewasa sangat mematuhi nasihat Ayahnya sekalipun tidak diucapkan langsung bahkan dengan bahasa istilah yang selalu ia benarkan. Nasihat pertama yang dititipkan kepada istrinya tentang keadaan keluarganya itu akan tetapi selalu dijawab dengan kekufuran hingga sang Ayah menitipkan pesan “Jika suamimu kembali, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakan kepadanya supaya dia mengganti ambang pintu rumahnya”.[32]  Dengan salam yang dititipkan kepada Isteri pertama Nabi Ismail AS tersebut, beliau menganggap bahwa sang Ayah tidak setuju dengan perangai yang dimiliki isterinya sehingga harus diceraikan. Kemudian dalam kehadiran yang berikutnyapun setelah Nabi Ismail AS sudah menceraikan isteri pertamanya, hadirnaya sang Ayah tidak bertemu langsung namun dengan isteriya. Pesan kepada sang anak kembali disampaikan dan dititipkan kepada menantunya itu. Sang Ayah berpesan bahwa “Jika suamimu kembali, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakan kepadanya supaya dia menjaga ambang pintu rumahnya”.[33]
Kepatuhan kepada Allah S.W.T yang dilakukan Nabi Ismail AS dari masa kecil hingga dewasa senantiasa dijaga. Dari mulai membenarkan mimpi yang dialami sang Ayah hingga nasihat-nasihat baik dalam menjalani kehidupan rumah tangga selalu diindahkannya.
b.      Ikhlas
Nadhar Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya ketika belum memiliki anak pernah diuncapkannya. Kemudian ketika anaknya berusia tujuh tahun beliau mendapatkan wahyu supaya menyembelih (mengkorbankan) anakya. Perintah tersebut yang diterima oleh Nabi Ibrahim AS bersangkutan dengan nyawa anaknya yang kebetulan anak tersebut adalah anak yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya karena sudah lama membangun keluarga tidak kunjung dikaruniai anak.
Proses penyembelihan berjalan setelah ada kesepakatan keduanya. Karena adanya perintah Allah S.W.T hal tersebut dilakukan dan bahkan dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS tersebut dibenarkan oleh Allah S.W.T karena mengindahkan wahyu yang diturunkan kepadanya. Keikhlasan yang dimiliki Nabi Ibrahim AS sangat tinggi terbukti bahwa perintah untuk mengorbankan sang anak yang diharapkan untuk menjadi generasinya pun sanggup untuk dibenarkan.
Tanggung jawab hidup atas dirinya yang dipikul oleh Nabi Ismail AS tidak dibatasi oleh kinerja jasad saja. Semasa kanak-kanak beliau merelakan dirinya untuk dijadikan qurban karena wahyu Allah S.W.T  kepada Ayahnya. Ujian seberat tersebut tidak akan mampu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki i’tiqod jiwa secara ikhlas.
Nabi Ismail AS dewasa juga tidak lepas dari ujian yang berat. Awal membina keluarganya, beliau mengalami perceraian yang disebabkan karena kurang sopannya isteri kepada tamu sehingga Ayahnya menyuruh untuk menceraikan. Perintah dari Ayahya tersebut beliau laksanakan tanpa lupa untuk menyebut nama Tuhannya sekalipun sang Ayah lebih sering jauh dari Nabi Ismail AS.
Setelah Nabi Ismail menikah lagi yang kedua kalinya, sang Ayah kembali menjenguk keluarga kecil anaknya dan kembali menanyakan tentang keadaan keluarga sebagaimana ditanyakan kepada isteri pertamanya. Kali ini sang menantu diterima oleh Ayah Nabi Ismail AS sehingga dengan penuh rasa syukur beliau panjatkan kepada Allah S.W.T tanpa membedakan keadaan yang pernah dialaminya.
Bertemunya Nabi Ismail AS di luar rumahnya ketika berburu disekeliling sumur Zam-zam, rasa kangen keduanya  muncul hingga mereka berdua saling memeluk.[34] Kepatuhan tersebut dapat diartikan bahwa apa yang pernah dialami Nabi Ismail AS khususnya yang berkaitan langsung dengan Ayah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang mengecewakan. Setelah beberapa waktu disitu, terjadi percakapan yang intinya sang Ayah mengajak Nabi Ismail AS untuk ikut membantu menjalankan perintah Allah S.W.T. Dalam perkataan Ayahnya kali ini tidak setegas ketika menceritakan wahyu untuk mengorbankannya.

c.       Ihsan
Disiplin kerja yang tinggi dilakukan Nabi Ibrahim AS ketika turun perintah dari Allah S.W.T beliau kerjakan dengan sepenuh hati sekalipun banyak tanggung jawab individu atas dirinya yang tidak kalah penting. Nyawa yang hampir melayang untuk I’tiqod Risalah Tauhid ketika berhasil menemukan sesembahan yang hakiki pernah dialaminya padahal hal tersebut tidak ada seorangpun yang membelanya.
 Hijrah Nabi Ibrahim AS bersama Nabi Ismail AS dan Siti Hajar ibunya kekota makkah sehingga meninggalkan Siti Sarah. Hijrah Nabi Ibrahim AS pada saat itu menurut Adil Musthafa Abdul Halim dalam buku “Kisah Bapak dan Anak dalam al-Qur’an” disebutkan bahwa :
“. . . akan tetapi, tidak lama kemudian rasa cemburu merasuk ke dalam hatinya (Sarah). Dia meminta suaminya membawa Hajar dan anaknya pergi ketempat yang sangat jauh yang tidak dapat dia dengar suara keduanya.[35]   

Dalam kisah tersebut mengantarkan makna bahwa Hijrahnya Nabi Ibrahim AS adalah atas dasar kecemburuan Sarah. Akan tetapi menurut pemahaman saya (penulis) bahwa hijrahnya tersebut adalah sekenario Allah S.W.T supaya konsep rahmatal lil ‘alamin yang senantiasa ada dalam diri utusan Allah S.W.T dapat dirasakan di tanah makkah yang pada saat itu tandus dan tak berpenghuni kecuali orang tersebut yang pertamakali menempatinya (jawa = babad alas).
Sebagai kepala keluarga, Nabi Ibrahim AS di makkah kembali meninggalkan isteri dan anaknya. Kepergian tersebut bukan sekedar mengantarkan Isteri dan anaknya supaya jauh dari Sarah akan tetapi ini merupakan ujian kepatuhan untuknya. Hal tersebut menurut Aviva Schussman dalam buku "The Legitimacy and Nature of Mawid al-Nabī : (Analysis of a Fatwā)" dalam Wikipedia Ensiklopedi Bebas dijelaskan bahwa :
 “Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk meninggalkan Hajar, untuk mencoba kepatuhan perintah Tuhan.”[36]

Perjalanan Nabi Ibrahim AS pada saat meninggalkan untuk kembali menemui Sarah ditempat asalnya sebagai bukti bahwa kepatuhan beliau ini karena menjalankan perintah Allah S.W.T karena secara logika tidak akan mungkin itu dilakukannya karena ada anak yang sangat ditunggu kehadirannya. Siti Hajar sebagai isteri yang akan ditinggalkan tersebut menyadari bahwa pergi meninggalkan mereka berdua di Makkah ini karena adanya panggilan da’wah dari Allah S.W.T. sebelum Nabi Ibrahim AS meninggalkan mereka, beliau berdo’a sebagaimana dalam Tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
دوه فعيران كاولا ! سا يكتوس كولا سمفون معغناكن سباغيان سكيع تورونان كاولا وونتن اع جورع اعكع بوتن وونتن طكولانيفون,[37]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Tafsir al-Ibris dalam surat Ibrahim : 37, menjelaskan bahwa kerelaan Nabi Ibrahim AS melalui do’anya, beliau lakukan dengan penuh kerendahan dan seakan-akan beliau berhadapan dengan Allah S.W.T untuk melaporkan apa yang diperbuat itu. Dalam do’anya tersebut juga tampak jelas bahwa menempatkan Nabi Ismail AS beserta Ibunya bukan untuk kenyamanan keluarga semata melaikan lebih mengedepankan pada pemerataan karunia atas limpahan Allah S.W.T sehingga wilayah yang ditempati dikaruniai sumber daya alam maupun manusia yang memiliki bobot kwalitas.
Kepasrahan seutuhnya kepada Allah S.W.T senantiasa diciptakan dalam setiap perilaku yang dilakukan oleh Nabi Ismail AS tatkala berposisi menjadi anak maupun setelah menjadi Nabi dan Rosulullah. Kisah pengorbanan Nabi Ismail AS sewaktu kecil ketika diceritakan tentang mimpinya sang Ayah, pertayaan tegas dalam mimpi sang Ayah disampaikannya. Nabi Ismail AS sebagai seorang anak dihadapan Ayahnya sanggup menjawab dengan penuh pembenaran dan keyakinan kepada Allah S.WT, dalam QS ash-Shafaat : 102 sebagaimana ditafsirkan dalam kitab tafsir al-Ibris, Nabi Ismail AS menjawabnya dengan kalimat :
. . . ., دالم ان شاء الله امبتن بادي بعكاع.[38]
Lafadz “InsyaAllah” dalam jawaban yang disampaikannya tersebut mencerminkan atas pembenaran dan kesanggupan tanpa syarat karena pengabdian diri kepada Allah S.W.T yang dimilikinya sudah melekat sehingga yang dilakukannya tidak ada rasa ragu apalagi menghianati i’tiqodnya.
Jawaban untuk kesanggupan Nabi Ismail AS atas pertanyaan untuk diqorbankan pantas kiranya dijawab dengan tegas sekalipun hal tersebut sangat membahayakan keselamatannya sebab ungkapan pertanyaan dari sang Ayah maksudnya jelas. Berbeda lagi pertanyaan ketika harus bercerai dengan Isteri pertamanya, sang Ayah menitipkan pesan kepada Isteri Nabi Ismail AS “Jika suamimu kembali, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakan kepadanya supaya dia mengganti ambang pintu mu.”[39] Dengan kalimat semacam itu yang tidak begitu tegas pokok permasalahannya, Nabi Ismail AS memahaminya kalau perangai sang Isteri kurang begitu disenaggi oleh Ayahnya sehingga harus diganti atau diceraikan. Pesan dari Ayahnya tersebut kemudian dilakukannya tanpa harus menanyakan masalahnya dan sambil menyebut “Ya Tuhanku”.

d.      Takwa
Do’a Nabi Ibrahim AS baik ketika berharap sesuatu hal maupun telah selesai menjalankan perintah Allah S.W.T senantiasa dipanjatkan. Da’wah kepada Ayahnya yang disambut dengan hati yang tertutup karena dipengaruhi oleh perbedaan hati, dengan perkataan lembut kepada Ayahnya dan panjatan do’a kepada Allah S.W.T, beliau menjawab pernyataan Ayahnya “sesungguhnya kamu tidak akan mampu menyakitiku. Dan aku akan memohon kepada Allah, agar Dia mau memberikan hidAyah kepadamu, serta mau mengampuni dosa-dosamu.”[40] Da’wah kepada Ayahnya tersebut yang dilakukan Nabi Ibrahim AS tidak lepas dari do’a yang dipanjatkan kepada Allah S.W.T.
Peristiwa menemi Nabi Ismail AS yang kedua kali setelah anaknya bercerai dengan isteri pertama, Nabi Ibrahim AS bertamu ke keluarga mereka. Pada saat bertamu tersebut, Nabi Ibrahim AS tidak bertemu lagi dengan anaknya. Dalam rumah yang didatang tersebut Nabi Ibrahim AS ditemui oleh isteri Nabi Ismail AS yang kedua setelah bercerai dengan isteri pertamanya. Ketika bertemu dengan menantunya tersebut Nabi Ibrahim AS bertanya kepada menantunya “lalu makanan apa yang kalian santap?”, isteri Nabi Ismail AS menjawab “kami menyantap daging.” Nabi Ibrahim AS bertanya kembali, “lalu jenis minuman apa yang kalian minum?”, isteri Nabi Ismail AS menjawab “kami minum air”. Dengan mendengar jawaban yang sangat berlawanan ketika menayakan kepada menantu yang pertamanya, kemudian Beliau berkata “Ya Allah, berkahi daging mereka dan air mereka”.[41] Begitu besar tanggung jawab Nabi Ibrahim AS atas karunia Allah S.W.T. rasa syukur yang tinggi dan ketulusan do’a beliau panjatkan untuk anaknya atas limpahan karunia yang diberikan Allah S.W.T kepada keluarga kecil anaknya yang sekian lama tidak bertemu dan hendak ditinggal kembali sebelum bertemu anaknya.
Aktifitas untuk melanjutkan pembangunan ka’bah yang memang diperintahkan oleh Allah S.W.T, beliau kerjakan dengan penuh gigih. Semakin lama pembangunan tersebut semakin tinggi pula batu yang ditata sehingga selesailah tugas beliau dalam melanjutkan pembangunannya. Disela-sela pembangunan tersebut beliau berdoa sebagaimana dalam surat al-Baqoroh : 127 dijelaskan dalam tafsir al-Ibris bahwa : 
دوه فعران كولا. نامفى فنجنعان سكيع عمل كولا كبيه. ستهون فنجنعان اكو ذات مرعكن تر كع عرتين.[42]
Kepatuhan Nabi Ibrahim AS dalam melakukan segala hal dilakukannya secara totalitas dalam artian beliau ketika berbuat yang sifatnya bentuk fisik beliau kerjakan hingga selesai sesuai perintah dari Allah S.W.T, sedangkan dalam hal berkomunikasi langsung melalui do’a senantiasa dilakukan seakan-akan meminta terhadap sesuatuhal yang ada dihadapannya sehingga kearifan tutur kata dapat ditampakkanya.
Ketakwaan Nabi Ismail AS tidak bisa diragukan lagi. Seperti apa patuh dan pembenaran akan segala hal dari Allah S.W.T beliau lakukan. Dalam kondisi maupun tempat apapun karakter takwa kepada Allah S.W.T senantiasa diwujudkan baik secara lafdzi maupun ‘amali.
Proses perjalanan hidup yang dialami seorang Nabi tentunya banyak cobaan sebagai bentuk ujian untuk menangani wilAyah da’wahnya. Nabi Ismail AS yang juga anak dari seorang Nabi, beliau menjalani ujian yang khusus pada dirinya sendiri juga mengalami ujian yang harus dijalani orang tuanya. Berserah kepada Allah S.W.T beliau lafadzkan tatkala menjalani ujian yang sedang dialami Ayahnya sehingga dalam kedaan tersebut beliau tetap kembali kepada keputusan Tuhannya.
Berprosesnya untuk membantu Ayahnya ketika diperintahkan untuk membangun ka’bah disanggupi dengan tegas untuk melaksanakan perintah Allah S.W.T tersebut yang diujudkan dengan aktifitas kerja (‘amali) sebagai bentuk membenarkan Allah S.W.T atas segala perintahnya. Ditengah-tengah aktifitasnya, do’a sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan segala hal dari hamba kepada Tuhan dilakukannya. Dalam potongan QS al-Baqoroah : 127 doa Nabi Ismail dan Ayahnya adalah :
$uZ­/u. . .  ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# [43]
Ketakwaan terhadap Tuhannya tampak jelas dalam kesehariannya. Nabi Ismail AS sebagai sosok anak yang sangat patuh terhadap orang tuanya, beliau cerminkan dengan cara menyanggupi apa yang orang tua kataka. Sebagai sosok hamba, beliau cerminkan melalui do’a dan pembenaran terhadap segala sesuatu urusan yang kaitannya langsung dengan Allah S.W.T.
Nabi Ibrahim AS dan anaknya yang juga sebagai Nabi, dalam Kitab Tafsir al-Ibris dapat disimpulkan bahwa karakter yang mereka miliki tersebut bersumber dari potensinya sendiri yang kemudian dikembangkan karena adanya keteguhan hati, kejelian berfikir, keutuhan rasa dan pembenaran melalui raga terhadap keberadaan Yang Maha Esa.

B.     Analisis Nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Jalalain
1.    Karakter Nafsiyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Jalalain
a.       Jujur
Sikap bijak yang ditawarkan Nabi Ibrahim AS ketika menceritakan tentang mimpi kepada anaknya dijalankan dengan kejujuran, dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
.... (قال يا بني إني أرى) أي رأيت (في المنام أني أذبحك) ورؤيا الأنبياء حق وأفعالهم بأمر الله. . . [44]
Tindakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika akan menjalankan perintah Allah S.W.T disampaikan dengan tegas sehingga tidak ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
Perintah yang diterima dalam mimpi Nabi Ibrahim AS tersebut tidak sekedar akan menyakiti korban (sang anak) saja. perintah yang diterimanya tidak ditinggalkan atau dilakukan tanpa memperdulikan orang yang bersangkutan. Mimpi yang menjadi bahan pembahasan bersama anaknya, diceritakan oleh Nabi Ibrahim AS seperti dalam mimpinya untuk menyembelih seseorang yang memang orang tersebut adalah orang yang diajak atau diundang untuk berkomunikasi. Kejujuran berkata terhadap wahyu yang diterima dalam mimpinya disampaikannya dengan tegas sehingga Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS mudah mendapatkan titik temu untuk menjalankan perintah Allah S.W.T.
Karakter jujur yang dilakukan Nabi Ibrahim AS tidak hanya sekedar jujur yang hanya menguntungkan dirinya saja. Keberanian untuk menceritakan apa yang ada dalam mimpinya itu bisa diartikan bentuk perbuatan jujur yang tidak hanya menguntungkan dirinya saja. Dalam artian lain, beliau sanggup mengatakan apa adanya tanpa harus ditutup-tutupi sekalipun apa yang dikatakan tersebut “pahit”.
Nabi Ismail AS dimata Ayahnya adalah sosok yang sangat dinanti-nati kelahirannya untuk meneruskan keluarga. Dalam perjalanan hidup Ayahnya setelah Nabi Ismail AS berusia tujuh tahun sang Ayah mendapati wahyu dalam mimpinya supaya menqorbankan anak tersebut (Nabi Ismail AS). Mengingat bahwa Ayah Nabi Ismail AS merupakan seorang Nabi yang tentunya patuh kepada Allah S.W.T maka apa yang ada dalam mimpinya diceritakan kepada Nabi Ismail AS sehingga tuntutan kesanggupan atas apa yang dialami orang tuanya harus dijawab.
Nabi Ismail AS atas apa yang diceritakan sang Ayah disanggupinya dengan penuh kejujuran padahal hal tersebut disampaikan dalam bentuk tawaran yang harus terlebih dahulu dipikirkan. Mengingat usia Nabi Ismail AS pada saat itu masih kanak-kanak, beliau sudah bisa menjawab dengan tegas dan jujur tanpa adanya paksaan dari Ayahnya. Kisah ini disebutkan dalam QS ash-shafaat : 102 sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :
. . . (قال يا أبت) التاء عوض عن ياء الإضافة (افعل ما تؤمر) به (ستجدني إن شاء الله من الصابرين) على ذلك[45]
Jawaban Nabi Ismail AS atas tawaran yang diajukan ayahnya sangat mencerminkan sifat kejujuran yang dimilikinya. Nabi Ismail AS tidak menjawabnya dengan kalimat, ”Sembelihlah diriku!” namun menjawabnya dengan ”kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu!”. Artinya Nabi Ismail AS ingin menyampaikan hal lain di balik kalimatnya itu bahwa perintah apapun yang diperintahkan Allah S.W.T kepada ayahnya terhadap dirinya hendaknya dilaksanakan sebaik-baiknya, baik berupa penyembelihan terhadap dirinya atau bahkan yang lebih dari itu.

b.      Kerja Keras
Ka’bah sebagai bangunan bersejarah dunia yang dibangun karena adanya perintah dari Allah S.W.T, Nabi Ibrahim AS sangat banyak ikut andil akan keberadaan bangunan tersebut. Sebagai seorang Nabi, beliau menjalankan pekerjaannya tidak hanya dengan satu metode saja. Usaha sebagai bentuk tindakan langsung dalam pembangunan dilakukannya hingga Ka’bah menjadi bangunan yang tertata. Telah kita ketahui bahwa sosok Nabi adalah orang yang memiliki kedekatan khusus dengan sang penciptanya jadi sangat kecil kemungkinannya jika apa yang diperbuat tidak diterima Allah S.W.T.
Nabi Ibrahim AS menunjukan sosok pekerja keras ketika melanjutkan untuk membangun ka’bah. Do’a yang dipanjatkan ketika bekerja merupakan bentuk kerja keras kepada Allah S.W.T   supaya apa yang dikerjakan juga menghasilkan ridlo. Qs al-Baqoroh : 127 dalam Kitab Tafsir tafsir al-Jalalain sebagai berikut :
(و) اذكر (إذ يرفع إبراهيم القواعد) الأسس أو الجدر (من البيت) يبنيه متعلق بيرفع (وإسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل. [46]
Kesanggupan mengucapkan do’a dalam tafsir ayat tersebut dapat secara ma’nawi (Dan) ingatlah (ketika Ibrahim meninggikan sendi-sendi) dasar-dasar atau dinding-dinding (Baitullah) maksudnya membinanya yang dapat dipahami dari kata 'meninggikan' tadi (beserta Ismail) `athaf atau dihubungkan kepada Ibrahim sambil keduanya berdoa, ("Ya Tuhan kami! Terimalah dari kami) amal kami membina ini, (sesungguhnya Engkau Maha Mendengar) akan permohonan kami (lagi Maha Mengetahui) akan perbuatan kami”. Dapat disimpulkan bahwa Nabi Ibrahim AS ketika membangun ka’bah beliau senatiasa berdo’a kepada Allah S.W.T  supaya apa yang dikerjakan tersebut mendapat ridlo-Nya.
Kerja keras yang dilakukannya ketika bekerja sama dengan Ayahnya untuk membangun Ka’bah dijalaninya hingga selesai pembangunan. Kegigihan yang dilakukan terbukti dengan adanya bangunan Ka’bah. Hal tersebut yang dilakukan bukan sekedar kebetulan memiliki sifat pekerja keras. Sebelum Ayahnya mengajajak untuk membangun ka’bah, Nabi Ismail AS ditemui sedang meraut anak panah di bawah lindungan pohon besar sebelah sumur zam-zam.[47] Kerja keras yang saat itu dilakukannya adalah untuk menafkahi keluarganya, hal tersebut berarti Nabi Ismail AS sanggup memikul tanggung jawab dengan cara bekerja sekalipun itu tidak disuruh oleh Ayahnya secara langsung.
Proses pembangunan Ka’bah yang dilakukan Nabi Ismail AS beserta Ayahnya tidak bisa berhasil ketika tidak dibarengi dengan sikap kerja keras yang dimilikinya. Menjalankan wahyu dari Allah S.W.T sebagi prinsip dasar pembangunan Ka’bah tersebut menjadi pendorong untuk tercapainya tujuan kerja yang dilakukannya. Pada saat itulah, keduanya kemudian meninggikan pondasi Baitullah. Nabi Ismail AS mulai mengangkut batu, sementara Ayahnya memasangnya. Setelah bangunan tinggi, Nabi Ismail AS membawakan sebuah batu untuk menjadi pijakan bagi Ayahnya. dalam Kitab Tafsir tafsir al-Jalalain dijelaskan :
  . . . إسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل [48]
  Nabi Ismail AS ditengah-tengah aktifitasnya tidak melupakan untuk berdo’a kepada Allah S.W.T supaya yang dikerjakan diterima olehnya. Dari itulah kita bisa memahami bahwa keperluan / aktifitas duniawi yang dilkakannya sekalipun dengan keringat sendiri akan tetapi perlu adanya hubungan khusus dengan sang Khalik yang nantinya dapat bermanfaat untuk kepentingan orang lain.

c.       Sabar
Proses penyembelihan yang akan dilakukan Nabi Ibrahim AS kepada anaknya penuh dengan sikap sabar atas keduanya. Kesabaran Nabi Ibrahim AS terbukti dengan jelas ketika Allah S.W.T memerintahkan untuk menyembelih anaknya. Perintah dari Allah S.W.T tersebutpun ditindak lanjutinya sebagai mana dalam QS ash-Shafaat : 103 sebagaimana dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(فلما أسلما) خضعا وانقادا لأمر الله تعالى (وتله للجبين) صرعه عليه ولكل إنسان جبينان بينهما الجبهة وكان ذلك بمنى وأمر السكين على حلقه فلم تعمل شيئا بمانع من القدرة الإلهية [49]
Kesanggupan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah S.W.T  yang tidak sekedar menyangkut dirinya sendiri ini dilakukannya melalui proses menanyakan kepada anaknya (objek), hal ini berarti Nabi Ibrahim AS memiliki jiwa kesabaran yang tinggi. Jika beliau tidak memiliki sikap ini maka kemungkinan hal yang akan dilakukan adalah menolak perintah atau melakukannya tanpa harus berunding dengan objek terlebih dahulu.
Berbagai ujian berat yang dialami Nabi Ismail AS tidak ada satupun yang tidak dijalani dengan penuh kesabaran. Kesabaran nabi Ismail AS ini adalah bagian dari karunia Allah S.W.T kepada Ayahnya (Nabi Ibrahim AS) ketika berdo’a kepada Allah S.W.T :
Éb>u ó=yd Í< z`ÏB  [50] tûüÅsÎ=»¢Á9$#
Dari do’a tersebut Allah S.W.T menjawab :
çm»tRö¤±t6sù AO»n=äóÎ/  5OŠÎ=ym
Artinya : Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.[51]

Kesabaran Nabi Ismail AS ini menjadi pengakuan Allah S.W.T. kalimat “OŠÎ=ym” dalam al-Qur’an dan terjemahannya yang ditafsirkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia menunjuk bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ismail AS, sedangkan dalam kitab tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
 . . .فبشرناه بغلام حليم) أي ذي حلم كثير[52]
Perilaku sabar yang sangat ditunjukkan Nabi Ismail AS adalah ketika sang Ayah menawari untuk dikorbankan. Nabi Ismail AS menjawab sebagaimana dalam kitab tafsir al-Jalalain :
. . . (ستجدني إن شاء الله من الصابرين) على ذلك [53]
Tawaran yang tidak bisa diputuskan dengan remeh tersebut, Nabi Ismail AS malahan membuat Ayahnya dengan jawaban yang membuat sang Ayah nyaman karena dalam jawaban tersebut mengandung makna nasihat kepada Ayahnya yang mana nantinya akan menemui Nabi Ibrahim AS sebagai sosok yang sabar.

d.      Tanggung Jawab
Keluarga merupakan dunia pendidikan awal bagi para anak, itu berarti keluarga memiliki peranan penting bagi seorang anak sehingga keluarga memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan anggotanya baik dalam perilaku sosial, Agama maupun pemahaman akan dirinya sendiri. Nabi Ibrahim AS sebagi sosok kepala keluarga juga menjalankan peranan tersebut kepada anaknya. Qs al-Baqoroh : 132 dalam Kitab Tafsir tafsir al-Jalalain menjelaskan peranan tangung jawab Nabi Ibrahim AS dalam hal keagamaannya yaitu :
 . . . ووصى) وفي قراءة أوصى (بها) بالملة (إبراهيم بنيه ويعقوب) بنيه قال : (يا بني إن الله اصطفى لكم الدين) دين الإسلام (فلا تموتن إلا وأنتم مسلمون) نهي عن ترك الإسلام وأمر بالثبات عليه إلى مصادفة الموت[54]

Ayat dalam Tafsir tersebut merupakan sebuah tauladhan Nabi Ibrahim AS ketika berperan untuk menasihati anak-anaknya supaya berpegang teguh terhadap agama. Dalam penjelasan tafsir tersebut diketahui bahwa Nabi Ibrahim AS berpesan Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu) yakni agama Islam, (maka janganlah kamu mati kecuali dalam menganut agama Islam!") Artinya ia melarang mereka meninggalkan agama Islam dan menyuruh mereka agar memegang teguh agama itu sampai nyawa berpisah dari badan.
Memahami pejelasan tersebut secara logika berarti pengetahuan dan perhatian orang tua kepada anak merupakan tanggung jawab pokok yang harus dilakukan oleh siapapun dengan tujuan supaya sang anak selamat dan sanggup memiliki ketehuhan dalam beragama (Islam) yang nantinya diterapkan dalam tindakan lain yang bersifat sosial untuk tujuan pendekatan diri kepada Allah S.W.T. Implementasi dari agama tersebut nantinya terwujud melalui amalan baik yang nyata-nyata tertulis dalam kauliyyah maupun kauniyyah dari fakta-fakta yang dihadapinya.
Tanggung jawab merupakan sebuah kebutuhan tiap-tiap individu terhadap dirinya sendiri. Dari masalah janji, kerja hingga menganjurkan keluarga untuk menjalankan perintah Allah S.W.T. mengenai masalah tanggung jawab, Nabi Ismail AS merupakan sosok yang amat dipandang oleh Allah S.W.T, yang berkenanan dengan urusan orang tua dirinya sendiri dan keluarga beliau jalani hingga tuntas.
Allah S.W.T dalam kitab-Nya menganjurkan Nabi Muhammad S.A.W supaya mengabadikan dalam al-Qur’an karena Nabi Ismail seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi. Selain itu Nabi Ismail AS sanggup menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.
Kinerja Nabi Ismail AS sebagai Nabi dan Rasul, diceritakan dalam al-Qur’an surat Maryam : 55 sebagaimana dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(وكان يأمرأهله) أي قومه (بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة.[55]

Beberapa hal yang dilakukannya ini menyangkut keselamatan umatnya. Anjuran sholat, zakat terlah dianjurkan oleh Nabi Ismail AS kepada umatnya sebagai bentuk pembelajaran terhadap diri sendiri, orang lain dan tanggung jawab kepada Allah S.W.T.

2.    Karakter Insaniyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Jalalain
a.       Tolong Menolong
Nabi Ibrahim AS merupakan sosok yang tidak suka menyerah dan dapat memposisikan diri dalam segala hal. Kesanggupan menolong beliau lakukan, ilmu yang beliau miliki karena cepatnya membenarkan segala hal ghoib yang datang dari Allah S.W.T diterapkannya untuk menolong dalam hal ke-tahuhidan. Kekhawatiran Nabi Ibrahim AS terhadap Ayahnya karena akan ditimpa adzab dari Allah S.W.T karena menyembah sesuatu hal yang durhaka kepada Allah S.W.T.
Nabi Ibrahim AS kepada Ayahnya yang menyembah terhadap hal yang durhaka kepada Allah S.W.T, maka beliau mengajak Ayah untuk mengikutinya. Kekhawatiran tersebut disebutkan dalam QS. Maryam : 45 sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :    
(يا أبت إني أخاف أن يمسك عذاب من الرحمن) إن لم تتب (فتكون للشيطان وليا) ناصرا وقرينا في النار.[56]
Nabi Ibrahim AS melakukan hal tersebut faktor yang paling dasar adalah urusan kepedulian untuk menolong orang lain yang masih dalam kesesatan sehingga karunia ilmu yang dimiliki dipergunakan sebagai bentuk penyelamatan.
Kepatuhan yang dimiliki Nabi Ismail AS terhadap Ayahnya dalam proses “melanjutkan” pembangunan ka’bah merupakan tindakan kerjasama untuk saling tolong menolong atau saling melengkapi dalam urusan kerja. Nabi Ismail AS dengan gigihnya mengerjakan hal yang menjadi bagiannya untuk menolong sang Ayah ketika membangun ka’bah. Dalam kegiatan kerja tersebut, Nabi Ismail AS bertugas mendatangkan batu-batu.[57]
Kerjasama yang dilakukan Nabi Ismail AS ketika pembangunan ka’bah tidak hanya melalui kegiatan fisik saja. Ditengah proses pembangunan ka’bah, selain mendatangkan batu supaya dekat dengah Ayahnya, Nabi Ismail AS senantiasa berdoa bersama Ayahnya supaya apa yang diperbuat dapat diterima oleh Allah S.W.T. QS al-Baqoroh : 127 sebagaimana dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(و) اذكر (إذ يرفع إبراهيم القواعد) الأسس أو الجدر (من البيت) يبنيه متعلق بيرفع (وإسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل[58] .

Tolong menolong yang dapat dilakukan tidak sekedar dalam kegiatan yang secara nyata mewujudkan atsar akan tetapi dalam bentuk kesamaan ide maupun jasa dapat dijalaninya sehingga lengkap dalam menjawab kebutuhan yang dialaminya. Pada saat manusia membutuhkan bukti fisik, Nabi Ismail AS menunjukkan kinerjanya untuk menolong sang Ayah dengan cara memindahkan batu. Sebagai seorang hamba yang perlu adanya komunikasi kepada sang khalik maka do’a lah yang dijalankan untuk menolong sang Ayah supaya Allah S.W.T menerima amalannya.

b.      Toleransi
Perbedaan yang amat “menonjol” dalam kehidupan bermasyarakat pasti selalau ada, begitu pula masalah keyakinan atau pun pemikiran. Nabi Ibrahim AS sebagai orang yang pertama kali dikaruniai ilmu pengetahuan ketauhidan dilingkungan masyarakat penyembah berhala tentu sangat dekat atau terasa perilaku yang berbeda dengan keyakinan atau pemikirannya.
Toleransi akan sebuah perbedaan nilai tauhid sebagai fundamental yang membentuk karakter seseorang terkadang sulit untuk ditolelir bahkan orang akan segera memeranginya karena apa yang orang lain pahami bertentangan dengan pemahaman yang kita miliki.
Kehidupan Nabi Ibrahim AS dilingkunagan yang berbeda nilai tauhidnya, beliau sanggup menjalani dengan penuh toleransi sehingga perbedaan tidak menjadi sebuah ancaman keselamatan. Sikap toleransi yang dilakukan Nabi Ibrahim AS sebagaimana dalam ash-Shafaat : 87 dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(فما ظنكم برب العالمين) إذا عبدتم غيره أنه يترككم بلا عقاب ؟ لا وكانوا نجامين فخرجوا إلى عيد لهم وتركوا طعامهم عند أصنامهم زعموا التبرك عليه فإذا رجعوا أكلوه وقالوا للسيد إبراهيم : اخرج معنا.[59]
Perilaku toleran yang dilakukan Nabi Ibrahim AS tidaklah menciptakan ketersinggungan terhadap orang yang memiliki pemahaman berbeda. Masyarakat yang pada saat itu sebagaian besar menyembah berhala dan suka berpesta tidaklah menciptakan amarah kepada Nabi Ibrahim AS akan tetapi melahirkan sebuah dialektika sehingga Nabi Ibrahim AS dapat menyelami kehidupan orang yang berbeda untuk menemukan cara yang secara logika dapat mengalahkan cara perfikir orang lain.
Ajaran Allah S.W.T yang lebih mengedepankan konsep rohmatal lil ‘alamin hal itu berarti tidak sebatas memberi keamanan kepada satu golongan saja. Sikap toleransi sebagai implementasi untuk memujudkan konsep tersebut dilakukan Nabi Ismail AS kepada Ayahnya. Tidak melakukan pemberontakan atau menantang terhadap sesuatu hal yang dapat menghilangkan nyawanya dari apa yang dilakukan oleh Ayahnya.
Nabi Ismail AS dalam ketoleransian terhadap apa yang Ayahnya katakana beliau menjawab : Ya, bukti kebaikan Ismail ‘alaihissalam  sangat jelas terlihat pada jawabannya, ia mengatakan, “”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Apa yang Nabi Ismail AS lakukan tidak sekedar diucapkannya saja melainkan memperiapkan diri untuk bersukap sebagaimana apa yang dikatakannya.
(فلما أسلما) خضعا وانقادا لأمر الله تعالى.[60]
Kepasrahan Nabi Ismail AS tunjukkan tersebut dapat diartikan wujud toleransi karena lebih menunjukkan tindakan yang dapat menyelamatkan misi ayahnya yang pada saat itu menjadi lawan secara individu karena berkenaan dengan urusan nyawa. Tindakan tersebut yang dilakukan oleh keduanya pada akhirnya mengilhami nilai qurban atau kesanggupan berbuat untuk orang lain supaya dapat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dapat berpengaruh baik untuk lingkungan.

c.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Langkah ini ditempuh ketika pelaku kemungkaran tidak jera dengan metode / langkah sebelumnya. Tindakan keras sebagai setrategi fisik dapat diterapkan dengan memerhatikan etika dan kaidah syar’i, tidak menyampaikan sesuatu melainkan dengan jujur, dan tidak melebar kesana-kemari jika tidak perlu. Nabi Ibrahim AS sebagai bapak para Nabi menempuh langkah ini, QS al-Anbiya : 67  dalam tafsir al-Jalalain di jelaskan bahwa :
(أف) بكسر الفاء وفتحها بمعنى مصدر أي نتنا وقبحا (لكم ولما تعبدون من دون الله) أي غيره (أفلا تعقلون) أن هذه الأصنام لا تستحق العبادة ولا تصلح لها وإنما يستحقها الله تعالى [61].
Mengatakan “أف” sebagai bentuk menentang terhadap keadaan yang ada dilakukannya oleh Nabi Ibrahim AS kepada orang-orang penyembah patung karena tidak bisa menerima alasan-alasan yang logis. Karakter Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan cara yang terakhir ini dilakukan tentunya harus ada kepasrahan seutuhnya kepada Allah S.W.T karena dalam posisi ini hanya kekuatan Allah S.W.T yang dapat menolongnya sehingga pelaku tetap mendapat perlindungan sehingga kesusksesan maupun kegagalannya tetap mendapat keridloan dan pertolongan Allah S.W.T.
Nabi Ismail AS sebagi Nabi yang mengilhami manusia untuk melakukan ibadah Qur’ban dalam bentuk binatang sesembelihan supaya dapat berbagi daging kepada orang lain. Selain itu beliau juga menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan shalat dan zakat.
Anjuran shalat dan zakat yang diperintahkan Nabi Ismail AS kepada umatnya ini sebagaimana perintah Allah S.W.T kepada Nabi Muhammad SAW untuk diceritakan dalam  al-Quran. Sikap Amar Ma’ruf  Nahi Munkar tentang shalat dan zakat  yang dilakukan Nabi Ismail AS  sebagaimana QS. Maryam : 55 dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة.[62]
Perintah untuk menjalankan shalat maupun zakat telah kita ketahui bahwa hal tersebut (shalat) ini sengaja Nabi Ismail AS anjurkan supaya manusia (umatnya) selamat dalam urusan tauhid. Zakat sebagai anjuran berikutnya yang dilakukan Nabi Ismail AS itu berarti perintah untuk bisa saling berbagi terhadap sesama supaya tidak ada kesengangan.

d.      Peduli
Kesanggupan Nabi Ibrahim AS ketika menolong Ayahnya dari kesesatan tidak hanya berhenti pada titik itu saja, keilmuan dan dan kepiawaian dalam menghadapi kehidupan karena sanggup mempelajari ujian dari Allah S.W.T sebagai pendidikan nyata yang mengantarkannya pada karakter peduli. Kepedulian Nabi Ibrahim AS untuk keselamatan seluruh umat manusia dilakukannya sebagaimana dalam QS. Al-Baqoroh : 129 dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :  
(ربنا وابعث فيهم) اي أهل البيت (رسولا منهم) من أنفسهم وقد أجاب الله دعاءه بمحمد صلى الله عليه و سلم (يتلو عليهم آياتك) القرآن (ويعلمهم الكتاب) القرآن (والحكمة) اي ما فيه من الأحكام (ويزكيهم) يطهرهم من الشرك (إنك أنت العزيز) الغالب (الحكيم) في صنعه. [63]
Do’a yang diungkapkan Nabi Ibrahim AS sangat menunjukan kepeduliannya kepada orang lain. Nabi Ibrahim AS berkehendak supaya keperkasaan dan kebijakan Allah S.W.T dapat mengutus seorang Rasul yang dapat mensucikan orang-orang yang masih belum bisa mengakui ketauhidan sehingga perlu adanya sosok yang hadir untuk membacakan ayat Allah S.W.T.
Zakat sebagaimana dalam pembahasan Amar Ma’ruf  Nahi Munkar yang dilakukan Nabi Ismail AS kepada umatnya yang kemudian dianjurkan oleh umat cucunya, sangat erat hubungannya dengan sikap kepedulian terhadap sesama. Zakat sudah barang tentu sebagai wujud penghambaan diri kepada Allah S.W.T dengan cara berbagi makanan pokok supaya orang-orang yang sangat membutuhkan bisa mendapatkannya.
Kepedulian lain Nabi Ismail AS adalah dengan cara belajar bahasa Arab yang dilakukannya bersama Kabilah Jurhum.
“Nabi Ismail AS tumbuh menjadi pemuda dan belajar bahasa Arab kepada mereka”.[64]

Dari belajar yang dilakukan Nabi Ismail AS kepada Kabilah Jurhum yang dilakukannya secara materi tidak tampak, akan tetapi perilaku tersebut dapat menyebabkan Kabilah Jurhum dapat merasakan adanya perlakuan khusus sehingga kegiatan yang dilakukannya dapat mewujudkan perlakuan yang manusiawi terhadap kelompok orang yang menjadi pendatang.

3.    Karakter Ilahiyyah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada Kitab Tafsir al-Jalalain
a.       Iman
Pengakuan terhadap ketauhidan Allah S.W.T yang dilakukan Nabi Ibrahim AS merupakan sebuah bukti yang jelas bahwa beliau memiliki keimanan. Selain itu Allah S.W.T mempercayainya bahwa Nabi Ibrahim AS adalah orang yang sangat cepat untuk membenarkan sesuatu hal ghoib yang datang dari Allah S.W.T.
Keseimbangan bathin atas keberadaan Allah S.W.T yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim AS tidak tersepas dari proses sekalipun beliau adalah seorang Nabi. Keyakinan terhadap ketauhidan Kepada Allah S.W.T yang beliau pahami tidak sekedar untuk kepentinag sendiri saja. Merubah cara berfikir dan beribadah Ayahnya dilakukan beliau sebagai bentuk keimanan kepada dzat yang Tauhid.
Do’a kepada Allah S.W.T yang tidak lupa untuk diucapkan ketika pembangunan ka’bah maupun berharap supaya ada Nabi yang dapat membacakan ayat-ayat Allah S.W.T kepada manusia dengan harapan supaya selamat, hal tersebut dapat menjadi bukti keimanan beliau. Perjalanan untuk mendapatkan keimanan terbukti ketika Allah S.W.T berfirman kepada Nabi Ibrahim AS sebagaimana QS al-Baqoroh : 131 dijelaskan dalam Tafsir al-Jalalain bahwa :
(إذ قال له ربه أسلم) إنقد لله وأخلص له دينك.[65]
Kemudian Nabi Ibrahim AS mengatakan :
(قال أسلمت لرب العالمين) .[66]
Pengakuan Nabi Ibrahim AS bahwa beliau tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam sebagaiman dalam ayat tersebut itu hanya untuk dirinya saja akan tetapi disisilain beliaupun menganjurkan kepada anak-anaknya.
Mimpi Nabi Ibrahim AS yang berkenaan dengan anaknya (Nabi Ismail AS) untuk dijadikan korban tidak bisa dipisahkan dengan keimannannya Nabi Ismail AS karena sebagai objek dalam mimpi yang diterima Sang Ayah. Pertanyaan untuk dijadikan sesembelihan yang disampaikan oleh sang Ayah sebagaimana dalam QS ash-Shafaat : 102 :
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB ts?22.2 . . . . [67]
Apa yang disampaikan sang Ayah sebagaimana dalam ayat tersebut disanggupi oleh Nabi Ismail AS bahkan beliau fokus untuk membuat sang Ayah merasa nyaman dengan jawabannya. Jawaban Nabi Ismail AS kepada Ayahnya tersebut sebagaimana dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(قال يا أبت) التاء عوض عن ياء الإضافة (افعل ما تؤمر) به (ستجدني إن شاء الله من الصابرين) على ذلك [68].
Menuruti apa yang menjadi beban sang Ayah dilakukan Nabi Ismail AS karena sebagai bentuk memuliakan perintah Allah S.W.T sehingga dengan keimanan yang ada dalam diri Nabi Ismail AS segala tindakannya itu senantiasa mendapat perlindungan. Penyelamatan Allah S.W.T kepada Nabi Ismail AS sangat dirasakannya. Pada saat penyembelihan yang mewarnai perjalanan hidupnya, beliau mintadiikat kedua tangan dan kaki kemudian dibaringkan di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang ditangan sang Ayah, Akan tetapi parang yang sudah ditajamkan itu ternyata menjadi tumpul di leher Nabi Ismail AS dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.[69] Dari ketidak sanggupannya pisau terhadap Nabi Ismail AS tersebut merupakan sebuah pertolongan Allah S.W.T karena keimanan yang dimiliki seorang hamba.

b.      Ikhlas
Keikhlasan dalam beribadah yang dilakukan Nabi Ibrahim AS syarat dengan nilai-nilai keikhlasan. Kebersihan hati dalam berbuat yang dilakukan Nabi Ibrahim AS diakui oleh Allah S.W.T sebagai hanif. Kehanifan atau keikhlasan Nabi Ibrahim AS dalam amalannya sehingga tidak ada campur ingatan lain yang mendatangkan sekutu kepada Allah S.W.T.
Pengakuan kehanifan terhadap Nabi Ibrahim AS yang dinyatakan oleh Allah S.W.T merupakan bagian keteladanan yang dimiliki. Keteladanan Nabi Ibrahim AS akan kehanifannya itu dalam QS an-Nahl : 120 sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :
(إن إبراهيم كان أمة) إماما قدوة جامعا لخصال الخير (قانتا) مطيعا (لله حنيفا) مائلا إلى الدين القيم (ولم يك من المشركين) [70].
Pemahaman-pemahaman yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dalam keikhlasan terhadap Allah S.W.T kemudiaan dianjurkan kepada Nabi Muhammad S.A.W supaya dapat berlaku seperti kakeknya tersebut.
Kegagalan dalam membina rumah tangga yang pernah dialami Nabi Ismail AS menjadi salah satu ujian yang pernah dijalaninya. Peristiwa itu terjadi karena sang Ayah tidak begitu cocok dengan si menantu tersebut. Dalam beberapa waktu setelah Nabi Ismail AS kembali menikah kemudian beliau ditemui sang Ayah disekitar sumur Zam-zam. Dalam pertemuan tersebut sang Ayah menceritakan tentang perintah Allah S.W.T untuk melakukan suatu pekerjaan. Dari cerita samar yang sang Ayah sampaikan kepada Nabi Ismail AS masih disanggupinya.
Kerelaan dan kesanggupan dalam bekerja membantu sang Ayah yang dilakukan Nabi Ismail AS merupakan sebuah wujud dari sifat ikhlas yang dimilikinya. Produktifitas kerja yang dijalani ketika melakukan pembangunan ka’bah sehingga printah Allah S.W.T terselesaikan merupakan hasil kerjasama dua belah pihak yang tulus sehingga tidak terjadi persaingan yang “sehit”. Do’a kepada Allah S.W.T sebagai cermin orang yang ikhlas dalam bekerja disampaikannya
. . . وإسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا ) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل     [71].

Kesanggupan kerja dan do’a yang disampaikannya merupakan perwujudan ikhlas Nabi Ismail AS sebab ketika beliau sanggup untuk membantu sang Ayah itu berarti tidak ada sara kecewa melihat kejadian sebelumnya yang pernah dialami dan tentunya Allah S.W.T sebagai harapan yang sebenarnya untuk segala urusan sehingga menciptakan kebersihan hati. Jika apa yang dilakukan Nabi Ismail AS tidak diliputi kebersihan hati hal akan tercipta adalah kegagalan dalam pembangunan Ka’bah.

c.       Ihsan
Keseriusan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah S.W.T sehingga menjadi teladan tidak sekedar mendapatkan predeikat untuk dirinya sendiri. Melalui do’a dan amalan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan nilai kepatuhan yang seakan akan meliat atau merasa diawasi oleh yang memerintahkannya. Allah S.W.T ketika memerintahkan untuk menyembelih anaknya melalui mimpi tidak untuk dibantah sekalipun Allah S.W.T tidak memerintahkan langsung dihadapannya.
Nabi Ibrahim AS dalam segala hal tidak pernah berada dalam keadaan lupa terhadap kebesaran Tuhannya sehingga sikap suka kembali kepada Allah S.W.T senantiasa dilakukannya.
(إن إبراهيم لحليم) كثير الأناة (أواه منيب) رجاع فقال لهم أتهلكون قرية فيها فيها ثلاثمائة مؤمن ؟ قالوا لا قال أفتهلكون قرية فيها أربعون مؤمنا قالوا : لا قال أفتهلكون قرية فيها أربعة عشر مؤمنا قالوا لا قال أفرأيتم إن كان فيها مؤمن واحد قالوا لا قال إن فيها لوطا قالوا نحن أعلم بمن فيها الخ [72].
Sebagaimana Qs Huud : 75 dalam tafsir  al-Jalalain bahwa Nabi Ibrahim AS adalah sosok yang suka kembali kepada Allah S.W.T, hal itu berarti bahwa Nabi Ibrahim AS menerapkan keIhsanannya melalui cara bertaubat kepada Allah S.W.T yang tidak lain karena merasa tahu ataupun diawasi oleh Tuhannya.
Perilaku Nabi Ismail AS tidak sebatas untuk mematuhi satu perintah saja. Pada saat Nabi Ismail AS berposisi sebagai anak dari Nabi Ibrahim AS, beliau patuh dan baik terhadap segala harapan yang menyangkut dirinya. Dalam kisah penyembelihan ataupun perceraian yang pernah dialaminya, itu merupakan sebuah ke ihsanan yang dimiliki Nabi Ismail AS selaku anak dihadapan Ayahnya sehingga tidak pernah ada ucapan “ah” pada jawban yang disampaikannya.
Keyakinan terhadap segala urusan yang kaitannya dengan Allah S.W.T dari kehidupan sang Ayah senantiasa Nabi Ismail AS lakukan bahkan dari peristiwa mimpi sang Ayah supaya menyembelih beliau dan ajakannya untuk melakukan pekerjaan supaya membangun ka’bah. Spirit yang tinggi untuk ayahnya selalu diungkapkannya untuk menjalankan perintah Allah S.W.T. begitu juga do’a atau penghambaan diri kepada Tuhannya senantiasa dijalaninya.
Kebaikan-kebaikan Nabi Ismail AS dalam kehidupannya sangat berpengaruh besar terhadap tatakrama kehidupan manusia di masa berikutnya. Sholat dan zakat sebagaimana dalam al-Qur’an surat Maryam : 55 dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(وكان يأمر أهله) أي قومه (بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة [73].

Anjuran untuk shalat dan zakat kepada umatnya dari tafsir tersebut adalah kisah teladan Nabi Ismail AS yang Allah S.W.T contohkan kepada Nabi Muhammad S.A.W supaya diceritakan dalam al-Qur’an yang menjadi wahyunya sehingga pengikut Nabi Muhammad S.A.W  turut melaksanakan.

d.      Takwa
Pembenaran-pembenaran akan hal yang datang dari Allah S.W.T secara cepat dilakukannya oleh Nabi Ibrahim AS.  Keyakinan yang kuat terhadap pembenaran ketauhidan mengantarkannya kepada ketakwaan. Dari berbagai kisah untuk menentukan ketauhidan yang dijalaninya banyak pertentangan yang mengancam nyawanya, akan tetapi karena keimanan dan ketakwaanlah yang dapat menyelamatkannya.
Kejelian yang dimiliki Nabi Ibrahim AS supaya tetap dalam keadaan takwa dilakukannya kepada kaum penyembah patung di zaman Raja Namrud. Karena ketakwaan yang beliau miliki sehingga Nabi Ibrahim AS menolak untuk menghadiri pesta karena bertentangan dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga beliau lebih memilih untuk mengatakan sakit. Sakit yang diakui oleh Nabi Ibrahim AS pada saat itu dalam QS ash-Shafaat : 89  sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :
(فقال إني سقيم) عليل أي سأسقم [74].
Pengakuan sakit yang dilakukannya tersebut tiada lain adalah karena memiliki ketakwaan yang tinggi kepada Allah S.W.T,sekalipun sakit yang diakuinya itu hanya untuk mengelabuhi orang akan tetapi disisi lain pernyataan tersebut untuk menghindari dari hal-hal yang dibenci oleh Allah S.W.T.
Perwujudan-perwujudan Nabi Ismail AS dalam ketakwaanya kepada Allah S.W.T berlaku dalam segala urusan. Keimanan, Kesabaran, menganjurkan untuk mendirikan salat, menunaikan zakat beliau lakukannya, bahkan pemenuhan janji dalam menyelesaikan masalah dengan Allah S.W.T yang dialami sang Ayah. Kesalehan yang menjadi bagian dari karunia Ayahnya dari Allah S.W.T terpancar jelas dalam segala perilakunya.
Nabi Ismail AS sebagai sosok yang taat dan mau untuk mengajarkan ketaatan kepada umatnya. Ketaatan kepada sang Ayah sudah jelas dilakukannya dan yang tidak kalah penting adalah perintah sholat dan zakat kepada umatnya dalam al-Qur’an surat Maryam : 55 sebagaiman keIhsanan yang dimilikinya. Dalam tafsir  al-Jalalain dijelaskan bahwa :  
. . .  بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة [75].
sholat dan zakat yang menjadi bagian dalam ketakwaan  dianjurkan kepada umatnya hal itu menujukkan bahwa ketakwaan yang dimilikinya juga perlu dianjurkan kepada umat supaya sama-sama dapat menerima imbalan dari sifat takwa.


C.    Analisis Persamaan dan Perbedaan Antara Nilai – nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS Pada Kitab Tafsir Al-Ibris dan Kitab Tafsir Al-Jalalain
Nilai – nilai pendidikan karakter dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada kitab Tafsir Al-Ibris dan Kitab Tafsir Al-Jalalain dapat ditemui persamaan dan perbedaannya. Adapun persamaan dan perbedaanya adalah :
1.      Persamaan
Persamaan yang ada pada kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS terletak pada saling dapat memposisikan dirinya dalam menjalani peranannya. Dari segi Nafsiyyah, Insaniyyah dan Ilahiyyah selalu bisa memposisikan dirinya dengan cara yang lebih memberi kemaslahatan orang banyak, hanya saja Nabi Ibrahim AS dalam urusan tauhid beliau dihadapkan masalah yang harus menguji dirinya sedangkan Nabi Ismail AS lebih karena beliau sebagi anugrah dari kesabaran yang dimiliki oleh sang Ayah.
2.      Perbedaan
Tafsir al-Ibris menjelaskan kehudupan dan karakter seorang Ayah dan anak melalui alih bahasa al-Qur’an ke bahasa jawa dan ditambah dengan kisah-kisah yang menjadi pendukung dalam menafsiri sebuah ayat.  Sama halnya dengan tafsir al-Jalalain. Dalam tafsir tersebut menggunakan alih bahasa akan tetapi untuk masalah pengkisahan hanya bersifat global atau tidak begitu banyak kisah yang menjadi dasar penafsiran.
Mempermudah terhadap persamaan dan perbedaan analisis nilai-nilai pendidikan karakter dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pada kitab tafsir al-Ibris dan Kitab Tafsir al-Jalalain dapat diketahui dengan table bahwa :



Tabel
Analisis Nilai Pendidikan Karakter
dalam KisahnNabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS

Nilai Pendidikan Karakter

Nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah
Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS


Tafsir al-Ibris

Tafsir al-Jalalain
Karakter Nafsiyyah
Jujur
-   wahyu dalam mimpinya Nabi Ibrahim AS berkaitan dengan anaknya yang disampaikan beliau tanpa ada yang ditutup-tutupi.
)هَى اناء اݞسنْ: اݞݤيْر !!! اݞسُنْ سوفنا ساجرنى سارى, مناوا اݞسُونْ ݒمبليه مراݞ سليرامو,(







-   melakukan segala sesuatu dilandasi motivasi dalam kerangka hanya mengharap ridhlo Allah S.W.T melalui shidqu an-niyyah wa al-'azm
)بفاء دالم اتورى ننداءكن فرينته ايفون الله, دالم ان شاء الله امبتن بادي بعكاع (,
-   sebagaimana dalam tafsir al-Ibris, tafsir al-Jalalain menjelaskan kejujuran yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. Dalam tafsir al-Ibris dijelaskan bahwa :
.... (قال يا بني إني أرى) أي رأيت (في المنام أني أذبحك) ورؤيا الأنبياء حق وأفعالهم بأمر الله.

-   Sebagaimana kejujuran yang dilakukan Nabi Ismail AS dalam tafsir al-Ibris, dalam Tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(قال يا أبت) التاء عوض عن ياء الإضافة (افعل ما تؤمر) به (ستجدني إن شاء الله من الصابرين) على ذلك
Kerja Keras
Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS menlafadzkan selalu do’a ketika menlanjutkan pembangunan ka’bah. 
 )سأ جرون فدا يامبوت كاوي, ككارونى نبي ابرهيم لن نبي اسماعيل تانساه ييوون مراع وعيران(
Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS menlafadzkan selalu do’a ketika menlanjutkan pembangunan ka’bah. 
(و) اذكر (إذ يرفع إبراهيم القواعد) الأسس أو الجدر (من البيت) يبنيه متعلق بيرفع (وإسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل
Sabar
-   Kesabaran yang amat jelas dilakukan Nabi Ibrahim AS, salah satunya ketika akan dibakar. Kemenangan dialektika yang tidak dianggap akan tetatpi beliau tetap menjalani hukuman yang ditimpakannya.







-   Nabi Ismail AS dari segala perilakunya sangat menunjukan sifat sabar. Hal tersebut diakui ALLah dalam kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W
-   Proses penyembelihan yang akan dilakukan Nabi Ibrahim AS kepada anaknya penuh dengan sikap sabar atas keduanya. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(فلما أسلما) خضعا وانقادا لأمر الله تعالى (وتله للجبين) صرعه عليه ولكل إنسان جبينان بينهما الجبهة وكان ذلك بمنى وأمر السكين على حلقه فلم تعمل شيئا بمانع من القدرة الإلهية

­
-   Nabi Ismail AS atas penyembelihan yang disampaikan ayahnya, beliau menjawab sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(ستجدني إن شاء الله من الصابرين) على ذلك
Tanggung Jawab
-   Rasa simpati dan tanggung jawab terhadap keluarga telah mendorong Nabi Ibraham AS untuk menasihati dan mewasiatkan kepada anak-anak beliau agar berpegang teguh kepada agama Allah S.W.T.





-   Menjalani untuk dikorbankan seperti apa jawaban yang pernah diucakkan untuk memenuhi pertanyaan Ayahnya
-   Tanggung jawab terhadap keluarga sebagaimana dalam tafsir al-Ibris, Nabi Ibramim AS dijelaskan pula dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
ووصى) وفي قراءة أوصى (بها) بالملة (إبراهيم بنيه ويعقوب) بنيه قال : (يا بني إن الله اصطفى لكم الدين) دين الإسلام (فلا تموتن إلا وأنتم مسلمون) نهي عن ترك الإسلام وأمر بالثبات عليه إلى مصادفة الموت


-   Kinerja Nabi Ismail AS sebagai Nabi dan Rasul, sebagaimana dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(وكان يأمرأهله) أي قومه (بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة.
Karakter Insaniyyah
Tolong Menolong 
-   Ilmu tauhid yang mengilhami beliau kemudian dijadikan sarana untuk menolong sang Ayah yang masih menyembah patung









-   Setelah Nabi Ismail AS dewasa, beliau membantu Ayahnya, Nabi Ibrahim AS untuk “melanjutkan” membangun ka’bah sebagai pusat penyembahan kepada Allah S.W.T
-   Nabi Ibrahim AS kepada Ayahnya yang menyembah terhadap hal yang durhaka kepada Allah S.W.T, maka beliau mengajak Ayah untuk mengikutinya. sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain :    
(يا أبت إني أخاف أن يمسك عذاب من الرحمن) إن لم تتب (فتكون للشيطان وليا) ناصرا وقرينا في النار

-   Tolong menolong yang dapat dilakukan tidak sekedar dalam kegiatan yang secara nyata mewujudkan atsar akan tetapi dalam bentuk kesamaan ide maupun jasa dapat dijalaninya sehingga lengkap dalam menjawab kebutuhan yang dialaminya. Sebagaimana kerja keras yang pernah dilakukannya, disitu dapat ditemui nilai karakter tolong meolong yang sedang dijalaninya.
Toleransi
-   Nabi Ibrahim AS menawarkan terlebih dahulu kepada anaknya berkenaan dengan mimpi yang beliau alami.















-   Nabi Ismail AS tidak melawan terhadap mimpi yang dialami sang ayah.
-   Kehidupan Nabi Ibrahim AS di lingkunagan yang berbeda nilai tauhidnya, beliau sanggup menjalani dengan penuh toleransi sehingga perbedaan tidak menjadi sebuah ancaman keselamatan. dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(فما ظنكم برب العالمين) إذا عبدتم غيره أنه يترككم بلا عقاب ؟ لا وكانوا نجامين فخرجوا إلى عيد لهم وتركوا طعامهم عند أصنامهم زعموا التبرك عليه فإذا رجعوا أكلوه وقالوا للسيد إبراهيم : اخرج معنا


-   Kepasrahan yang penuh, dilakukan Nabi Ismail AS. Hal tersebut terjadi pada saat proses penyembelihan sehinnga sikap toleransi benar-benar terjadi.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
-   Atas dasar akal sebagai karunia-Nya beliau pergunakan, lemah lembut karena apa yang harus dilakukannya supaya tidak bertentangan atau bersingungan dengan orang lain dan sabar dilakukannya supaya tujuan tercapai.






-   Nabi Ismail AS memerintahkan shalat dan zakat kepada umatnya supaya mereka selamat.
-   Bertindak keras ketika lemah lembut sudah tidak bisa membuahkan hasil dilakukan Nabi Ibrahim AS, kalimat “uff” keluar dari ucapannya ketika berhadapan dengan penyembah berhala. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(أف) بكسر الفاء وفتحها بمعنى مصدر أي نتنا وقبحا (لكم ولما تعبدون من دون الله) أي غيره (أفلا تعقلون) أن هذه الأصنام لا تستحق العبادة ولا تصلح لها وإنما يستحقها الله تعالى

-   Amar Ma’ruf Nahi Munkar  yang dijalani Nabi Ismail AS diantaranya adalah masalah anjuran shalat dan zakat. Hal tersebut dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
(بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا) أصله مرضوو قلبت الواوان يائين والضمة كسرة

Peduli
-   Kepedulian terhadap sang Ayah supaya tidak terjerumus kepada kesesatan dilakukannya.



















-   Amar maruf  Nahi munkar yang selalu dijalani Nabi Ismail AS tidak sebatas untuk kepentingan dirinya saja. Dalam sholat yang dianjukan kepada umatnya dilihat dari sisi sosial maka akan terjadi hubungan saling mengingatkan antara satu sama lain sehingga tercipta keagraban dalam lingkungan.
-   Kepedulian dalam hal tauhid dilakukan Nabi Ibrahim AS tidak terhadap Ayahnya saja, kepada keturunan  dan  umat diluar masanya juga masih peduli. Hal tersebut dapat ditemui dalam surat al-baqoroh : 129 . Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(ربنا وابعث فيهم) اي أهل البيت (رسولا منهم) من أنفسهم وقد أجاب الله دعاءه بمحمد صلى الله عليه و سلم (يتلو عليهم آياتك) القرآن (ويعلمهم الكتاب) القرآن (والحكمة) اي ما فيه من الأحكام (ويزكيهم) يطهرهم من الشرك (إنك أنت العزيز) الغالب (الحكيم) في صنعه

-   Shalat dan zakat sebagai wujud kepedulian dianjurkan oleh Nabi Ismail AS kepada umatnya. Hal lain juga dilakukannya terhadap lingkungan semasa mudanya, beliau melakukannya kepada suku jurhum dengan cara belajar bersama mereka.

Karakter Ilahiyyah
Iman
-   Keimanan Nabi Ibrahim AS yang teguh, dapat di lihat bagaimana ketika beliau dengan tegas untuk tidak ikut serta menyembah patung berhala yang di sanjung-sanjung masyarakat pada kala itu. Beliau berani untuk menjadi dirinya yang berbeda, untuk mempertahankan kebenaran

-   Sanggup untuk diqorbankan oleh ayahnya, Nabi Ismail AS jalani karena dan sangat percaya semua itu adalah perintah dari Allah S.W.T
-   Nabi Ibrahiim AS adalah sosok yang beriman, keimanan beliau dijelaskan dalam tafsir al-jalalain bahwa :
(إذ قال له ربه أسلم) إنقد لله وأخلص له دينك (قال أسلمت لرب العالمين)














-   Menuruti apa yang menjadi beban sang Ayah dilakukan Nabi Ismail AS karena sebagai bentuk memuliakan perintah Allah S.W.T sehingga dengan keimanan yang ada dalam diri Nabi Ismail AS segala tindakannya itu senantiasa mendapat perlindungan.

Ikhlas
-   Nadhar Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya ketika belum memiliki anak pernah diuncapkannya. Kemudian ketika anaknya berusia tujuh tahun beliau mendapatkan wahyu supaya menyembelih (mengkorbankan) anakya.


-   Nabi Ismail AS menyanggupi ayahnya untuk turut serta membangun ka’bah yang diperintahkan Allah S.W.T
-   Keikhlasan dalam beribadah yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dianjurkan untuk diteladani. Predikat alhanif diberikan oleh Allah S.W.T. dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(إن إبراهيم كان أمة) إماما قدوة جامعا لخصال الخير (قانتا) مطيعا (لله حنيفا) مائلا إلى الدين القيم (ولم يك من المشركين)



-   Do’a kepada Allah S.W.T sebagai cermin orang yang ikhlas dalam bekerja disampaikan nabi Ismail AS sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Jalalain bahwa :
. . . وإسماعيل) عطف على إبراهيم يقولان (ربنا تقبل منا ) بناءنا (إنك أنت السميع) للقول (العليم) بالفعل
Ihsan
Nabi Ibrahim AS bersama Nabi Ismail AS menjalankan pembangunan ka’bah hingga menjadi bangunan yang tinggi dan beliau selalu memanjatkan doa seaakan-akan beliau berdua bekerja diawasi oleh yang memerintahkan.
-   Keikhlasan Nabi Ibrahim AS sebagai pondasi utama dalam keihsanannya.
(إن إبراهيم لحليم) كثير الأناة (أواه منيب) رجاع فقال لهم أتهلكون قرية فيها فيها ثلاثمائة مؤمن ؟ قالوا لا قال أفتهلكون قرية فيها أربعون مؤمنا قالوا : لا قال أفتهلكون قرية فيها أربعة عشر مؤمنا قالوا لا قال أفرأيتم إن كان فيها مؤمن واحد قالوا لا قال إن فيها لوطا قالوا نحن أعلم بمن فيها الخ

-   Anjuran shalat dan zakat yang dilakukan Nabi Ismail AS merupakan media supaya seseorang dapat mencapai keihsanan dalam dirinya.
Takwa
-   Do’a dan berbuat dalam segala hal yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS sebagai cermin ketaqwaan bahkan ketika berda’wah kepada orang tuanya harapan utama adalah keselamatan untuk tidak mendapatkan murka Allah.







-   Ketakwaan terhadap Tuhannya tampak jelas dalam kesehariannya. Nabi Ismail AS sebagai sosok anak yang sangat patuh terhadap orang tuanya, beliau cerminkan dengan cara menyanggupi apa yang orang tua katakan.
-   Pembenaran-pembenaran akan hal yang datang dari Allah S.W.T secara cepat dilakukannya oleh Nabi Ibrahim AS. Ketakwaan beliau lakukan dengan bermacamhal hingga beliau bersikap bohong ketika diajak untuk merayakan pesta. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa :
(فقال إني سقيم) عليل أي سأسقم

-   Nabi Ismail AS sebagai sosok yang taat dan mau untuk mengajarkan ketaatan kepada umatnya. Ketaatan kepada sang Ayah sudah jelas dilakukannya dan yang tidak kalah penting adalah perintah sholat dan zakat kepada umatnya






[1] Soenarjo, Op. Cit, hal. 725
[2] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3, hal. 1587
[3] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof  an Nawawi, 0p.Cit, Jilid 8, hal. 104-106
[4] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3 hal. 1589
[5] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 2 hal. 1032 - 1033
[6] Thaha Mahsun, Qishosul Anbiya, (Surabaya : Maktab Ahmad Nabhan, TT), hlm. 140
[8] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3, hal. 1587
[9] Dedi Sugiyono, Op. Cit., hal. 330
[10] Soenarjo, Op. Cit., hal.  33
[11] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 1,   hal. 42
[12] Ibid,  jilid 2, hal. 1034-1035
[13] Sumanto, “Kisah Kesabaran Nabi Ismail (Sejarah Hari Idul Adha)”, http ://mantoakg.alazka.org/?p=616, hal. 1
[14] Soenarjo, Op. Cit., hal. 725
[15] Ibid. hal. 724
[16] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3, hal. 1586-1587
[17] Ibid,  jilid 1, hal. 44
[18] Ibid,  jilid 1, hal. 42
[19] Ibid. jilid 2, hal. 954
[20] Soenarjo, Op. Cit., hal. 142
[21] Bisyri Musthofa, Op. Cit., jilid 2, hal. 950
[22] Ndak, - Kisah Nabi-nabi Allah > Kisah Nabi Ismail >, http ://harmoni-my.org/arkib/kisahnabi/index.htm#page=kisahnabiismailas.htm, hal. 1
[23] Ibid,  jilid 3, hal. 1587
[24] Lok. Cit
[25] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3 hal. 1032 - 1033
[26] Adil Musthafa Abdul Halim, Kisah Bapak dan Anak dalam Al-Qur'an, (Jakarta : Gema Insani, 2007), hal. 35
[27] Soenarjo, Op. Cit., hal. 467
[28] Ibid., jilid 2, hal.  955
[29] Bisyri Musthofa, Op. Cit,  jilid 3, hal. 951
[30] Ibid,  jilid 2, hal. 1035
[31] Ibid. jilid 3, hal. 1587
[32] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit, hal. 45
[33] Loc. Cit
[34] ibid, hal. 46
[35] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit, hal. 43
[36] Wikipedia Ensiklopedi Bebas, http ://id.wikipedia.org/wiki/Hajar, hal. 1
[37] Bisyri Musthofa, Op. Cit,  jilid 2, hal. 755
[38] Bisyri Musthofa, Op. Cit. jilid 3, hal. 1587
[39] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit, hal. 45
[40] Ibid. hal. 35
[41] Ibid, hal. 45
[42] Bisyri Musthofa, Op. Cit, jilid 1, hal. 42
[43] Soenarjo, Op. Cit., hal. 33
[44] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-Karim  al-Jalilain al- Imamain, (Semarang : al-‘alawiyah, TT). hal. 370
[45] Ibid,  hal. 370
[46] Ibid, hal. 18
[47] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit,  hal. 46
[48] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit, hal. 18
[49] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit.  hal. 370
[50] Soenarjo, Op. Cit., hal. 724
[51] Loc. Cit
[52] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit, hal. 370
[53] loc. Cit
[54] Ibid,  hal. 19
[55] Ibid, hal. 254
[56] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, lok.cit.
[57] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit, hal. 46
[58] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit.  hal. 18
[59] Ibid, hal. 369
[60] Ibid, hal. 370
[61] Ibid, hal. 270
[62] Ibid, hal. 254
[63] Ibid, hal. 19
[64] Adil Musthafa Abdul Halim, Op. Cit, hal. 45
[65] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit.  hal. 19
[66] Loc. Cit.
[67] Soenarjo, Op. Cit., hal. 725
[68] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit.  370
[70] Ibid, hal, 225
[71] Jalaludin Muhammad  Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Op. Cit,  hal. 18
[72] Ibid, hal, 186
[73] Ibid, hal. 254
[74] Ibid, hal. 369
[75] Ibid, hal. 254