Suluk-suluk Sunan Bonang 1
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk- suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk- suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan
tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk
puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti
sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi
yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan
baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf,
ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki
apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang
faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia
bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi
tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta
(mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang
Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai
kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat
didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan
gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana
pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan
metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di
jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias
atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut
tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal.
Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab,
Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip
penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: )
Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik
(penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan
antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang
memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau
Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas
Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan
tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang
ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang
pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam
kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula
berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa
segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu
sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah
kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin
memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan
pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk
Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan
cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di
dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai
kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan
dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian
terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim.
Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang
lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat
kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi
tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan
(suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas
tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau
kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa
pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat
melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di
dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’.
Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya
menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali
Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang
mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak
lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada
seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak
Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia
dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana
dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat
ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan- Nya”. Yang ketiga adalah
syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga
syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan
transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung
tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya
penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak
kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman
Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan
jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan
ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa
saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang
menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat
dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi
dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian
puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh
rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar
sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi
“Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk-suluk Sunan Bonang 2
suluk wujil
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan
perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan
bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu).
Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
seseorang di dunia mencerminkan kebenaran.
Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema
dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam
tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak
hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud
tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar
Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat
diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang
memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928.
Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya
Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan
mengulasnya dalam tulisannya “Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten”
(1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes,
dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan
terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab
antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama
Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan
kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al- Attas 1972). Mungkin
ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut
ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal
dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan
ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan
Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang
disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan
al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut
merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah
yang digunakan dalam kitab ini, yaitu “wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti
ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf
merupakan jiwa ilmu- ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan
relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika
yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra
Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15
dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara
lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum
Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam
huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van
Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938).
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo
(1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan
sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya
karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW
tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada
akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama
Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit,
kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan
Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu
Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina
yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan
kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan
Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan
berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu
Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa
penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di
daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan
bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada
zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin
zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang
agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa
Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang
tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam
sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim
awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan
huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim
Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah
tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa.
Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil
yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang
dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa.
Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno,
yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian,
kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca
sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya
tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama,
memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme
atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan
pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur
maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan
pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling
inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu- ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan
bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan
yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis
seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.
Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita.
Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan
psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang
diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana
pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya
manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa
kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada
persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak
tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang,
sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu
tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa
pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu
berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ‘pengetahuan diri’
dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ‘Pengetahuan diri’ di sini terangkum
dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya
di atas bumi?
Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati?
Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan
‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan
jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat
al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan
sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi.
Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan
“Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
Suluk-suluk Sunan Bonang 3
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode
untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang
disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para
sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan
tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin
(kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan
tasawuf dimulai dengan’penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3)
dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua,
pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari
selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah,
yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari
jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah
ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati
manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga
pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah
ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya
penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal
saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir,
mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu
dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh
Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan
pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan
hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan- keinginan yang suci.
Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi,
pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama
ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M.
Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari
kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith
1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya
menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep
sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau
pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy)
secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan
yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu
ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak
dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu
(a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala
sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau
hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut
gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi
yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu)
untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M.
2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai
orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat
dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian
jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang
disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf
dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan
dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan
hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin
digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3)
Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran
dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta
kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang
besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang
Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir
(macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri
manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama
Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan
pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha
mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal
Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang
menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung,
melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan
lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin
memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika
seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah
tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan
hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika
seseorang memuja tidak mengetahui benar- benar siapa yang dipuja, maka yang
dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan
makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan
kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus
dibayangkan sebagai ‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan,
Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan
adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya
Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang
hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang
dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni.
Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau
kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum
seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang
dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan
yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada
pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil
ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam
cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn
`Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan
falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat
melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau
perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan- Nya yang banyak dan aneka
ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau
bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu
al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh
muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian
dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan
dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh
dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang
bertanya: “Bagaimana bayang- bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait
81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu
bahwa “Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru
membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi
(penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa
Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang
diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang
ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat
rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di
bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di
dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah
Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah,
Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan
dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud- Nya (Rizvi
1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam
kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang
telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan
manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa
kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi.
Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini
akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan.
Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan
menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi
perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan
kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa
akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam
Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu
berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta.
Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan
menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar
diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan
untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan
menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan,
yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali.
Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang
melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan
menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan
yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke
utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu
orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada
dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga
orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat
menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya,
seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya.
Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang
dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia
Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan,
menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan
sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan
tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan
keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan
sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang
Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan
secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam.
Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas
di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya
dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam.
Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang
mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan
dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat
atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud,
taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di
antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah.
Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian
manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam
disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab
perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat
kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara
dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri
daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing,
rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di
dunia.
Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah
wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan
dalam pagelaran wayang.. Penyair- penyair sufi Arab dan Persia seperti
Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan
persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad
ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul
Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan,
berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil
wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada
pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari
tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang
dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang
Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara
Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di
sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar
mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat.
Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar.
Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan
dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa
pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang.
Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan
wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang
Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam
inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang
pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong
atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan
bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak
mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang
menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya
kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di
sebalik ciptaan itu.”
dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan
kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat,
Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan
kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini.
Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam
digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam
dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan
tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno
abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan
bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca,
dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan
pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang
pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di
Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna:
“Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti
permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan,
namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima
indra kita.
Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan
akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh
kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat
pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah
sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya
merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan
dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan
indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna!
Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang,
dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang
dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan
Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan
cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata
Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang
berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam
bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya
secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi
kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan
besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat
sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari
kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam
Suluk Wujil.
No comments:
Post a Comment