BAB II
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DAN KARAKTER
A. Karakter Nafsiyyah
Karakter Nafsiyyah merupakan karakter atau
perilaku seseorang yang kaitannya dengan diri sendiri. Karakter ini
dimaksudkan untuk menjaga, melindungi maupun menghormati diri supaya
berkepribadian mulia. Nilai-nilai yang tergolong pada karakter nafsiyyah ini
terdiri dari :
1. Jujur
Jujur sangat dibutuhkan untuk diterapkan pada perilaku
kehidupan tiap manusia. Jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan
seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau
perbuatan). Maka dari itu hal ini merupakan salah satu sifat manusia yang
mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya mudah mendapat kepercayaan dari
orang lain sedangkan lawan dari sifat jujur adalah khianat.
Sifat jujur merupakan salah satu rahasia diri seseorang
untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha
untuk menjaga amanah. Amanah adalah ibarat barang titipan yang
harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab,
berhasil atau tidaknya suatu amanah sangat tergantung pada kejujuran
orang yang memegang amanah tersebut. Jika orang yang memegang amanah
adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat
terjaga atau terlaksana dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika amanah
tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur (khianat) maka
“keselamatan” amanah tersebut pasti “tidak akan tertolong” dengan arti lain
tidak akan terwujud amanah yang diberikan.
Allah S.W.T, berfirman mengenai sifat jujur seperti
halnya pada Qs. Annisa : 58 berbunyi :
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/
Artinya : Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. [1]
Ayat tersebut menjelaskan tentang proses berjalannya
kejujuran yang dilakukan karena adanaya perintah/titipan untuk diberikan atau
disampaikan kepada perorangan atau kelompok. Dalam kitab tafsir al-Ibris,
kalimat amanat (M»uZ»tBF{$# ) diartikan “ing piro-piro
amanah”[2]
(Ind = terhadap beberapa amanah), jadi yang harus dilakukan bukan hanya jujur
dalam satu hal saja melainkan bermacam tingkah harus dibarengi dengan sifat
jujur. Kemudian setelah kalimat tersebut disambung dengan kalimat “ $ygÎ=÷dr&n<Î) ”, hal itu berarti bahwa
kejujuran itu bukan sekedar untuk diri sendiri melainkan berdampak kepada yang
disamapikan amanah dengan tujuan apa yang dititipakan sampai kepada penerima
secara utuh karena adanya perilaku jujur terhadap amanah tersebut sekalipun nilai
jujur itu hanya diperoleh oleh pembawa amanat.
Hianat sebagai lawan dari jujur ini diserukan kepada
orang beriiman supaya dihindari / tidak dilakukannya sebagaimana firman Allah
S.W.T dalam Q.S. al-Anfal : 27 yang berbunyi :
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä w (#qçRqèrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? .
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.[3]
Ayat tersebut diatas terdapat huruf ahtaf “ w ” yang bermakna larangan atau (Ind =
jangan).[4]
Hal itu berarti Allah S.W.T melarang sifat khianat lawan dari sifat jujur untuk
dilakukan oleh orang yang diseru dalam hal ini adalah khusus orang beriman.
Jujur sebagai sebuah sifat atau karakter sangat
diperhatikan oleh Allah S.W.T sebagi sebuah tindakan atau ekspresi umatnya agar tercipta sebuah peralihan pesan
secara fisik maupun non-fisik tanpa adanya pengurangan (khianat) oleh pelakunya
dengan tujuan tercipta keadilan sekalipun Allah S.W.T dalam Q.S. al-Anfal : 27
disebut dengan dzat yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.
2. Kerja Keras
Kerja keras adalah usaha maksimal untuk memenuhi
keperluan hidup di dunia dan di akhirat disertai sikap optimis. Setiap orang
wajib berikhtiar maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia dan akhirat.
Kebutuhan hidup manusia baik jasmani maupun rohani harus terpenuhi.[5]
Kebutuhan itu akan diperoleh dengan syarat apabila manusia mau bekerja keras
dan berdo’a maka Allah S.W.T pasti akan memberikan nikmat dan rizki-Nya.
Proses seseorang supaya tercapai apa keinginannya
hanayalah dengan kerja keras, sebuah keinginan tanpa adanya kerja keras maka
tidak akan tercapai dengan maksimal. Kerja keras ini merupakan proses fisik
manusia suapaya keadaan dapat berubah menjadi lebih baik. Sebagaimana firman
Allah dalam Qs. ar-Ra’du : 11 yang berbunyi :
cÎ). . . . ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur.
Artinya
: . . . . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[6]
Merujuk pada potongan ayat di atas, maka setiap manusia
haruslah mengusahakan untuk kehidupannya, tidak sekedar menunggu rizki dari
Allah S.W.T dengan berpangku tangan saja sekalipun pada ketentuan takdir hanya
Allah S.W.T yang menentukannya. Dalam kitab al-Jalalain
surat tersebut dijelaskan bahwa :
(cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/)
لَايَسْلُبُهُمْ نِعْمَتَهُ (4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/) مِنَ
اْلحَـالَـةَ اْلجَمِيلَةِ بِالمعصيَةِ (!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß)
عَذَابًا (xsù ¨ttB ¼çms9 ) من
المُعَقِباَ تِ وَلَا غَيْرِهاَ ( $tBur Oßgs9) لمن ارا د الله بهم سُوَءًا (`ÏiB ¾ÏmÏRrß) اى غيرِ
اللهِ (`ÏB) زَائدةٌ (A#ur) يَمْنَعُهُ عَنهمْ.[7]
Tafsir pada ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah
S.W.T tidak merubah kenikmatan suatu kaum dari hal yang baik ataupun buruk
kecuali ia sendiri yang berusaha akan tetapi Allah memiliki hak untuk memberi adzab
dan tidak ada pula dzat lain yang sanggup dimintai pertolongan. Posisi
manusia sebagai sosok makhluk diberi kewenangan untuk mengatur kehidupannya
melalui proses kerja keras hal ini berarti manusia dalam kehidupannya memiliki
kewajiban untuk membela diri supaya kehidupannya tidak sekedar terbawa arus
untuk mengikuti takdir yang diterimanya sekalipun segala sesuatunya berpangkal
pada kebijakan Allah S.W.T.
3. Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab,
dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah Shobaro
صَبَرَ) [8]( yang membentuk infinitif (masdar) menjadi. Dari segi
bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah
firman Allah S.W.T dalam Qs. al-Kahfi : 28 berbunyi :
÷É9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# cqããôt Næh/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbrßÌã ¼çmygô_ur ( wur ß÷ès? x8$uZøtã öNåk÷]tã ßÌè? spoYÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( wur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tRÌø.Ï yìt7¨?$#ur çm1uqyd c%x.ur ¼çnãøBr& [9].$WÛãèù
Artinya : Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Ayat tersebut mejelaskan bahwa kesabaran atau perilaku
sabar merupakan kepasrahan seutuhnya terhadap kehendak Allah S.W.T sebagai
wujud keimaanan yang tidak hanya menuruti hawa nafsunya sehingga berpaling
untuk tidak berseru kepada Tuhan karena tergiur oleh gemerlapnya keindahan
duniawi sehingga terperangkap dalam keadaan yang dianggap melampaui batas oleh
Tuhannya. Menurut Saleem Hardja Sumarna bahwa :
Sabar sebagai salah satu sifat
istimewa dalam penentu kesuksesan. Menjadi sabar membuat anda bisa menjaga
perspektif. Anda bisa mengingat. Bahkan dalam situasi yang sulit.[10]
Hal itu berarti sikap sabar pada
diri seseorang dapat meningkatkan daya
ingat terhadap sesuatu hal yang dibutuhkan sekalipun pada saat itu situasi
tidak memungkinkan.
Kalimat awal (y7|¡øÿtR÷É9ô¹$#ur) pada ayat diatas, dalam Tafsir al-Ibris dijelaskan
bahwa “Sira kudu nyabar-nyabar ake awak iro”[11]
(Ind = Kamu harus mengekang perilaku sabar kepada diri sendiri), hal itu
berarti mengandung makna bahwa sabar sebagai suatu kewajiban yang harus
diterapkan untuk diri sendiri (asalkan tidak melanggar dari kodrat sebagai
manusia) sekalipun perilaku tersebut berat untuk dilakukan karena adanya
keindahan dunia yang pada saat itu juga dapat dirasakan secara nyata.
Ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad
SAW. Supaya memelihara Fuqoro Il Muslimin dan duduk bersama mereka. Ayat
ini lebih kuat dari pada surat al-An’am karena disana hanya
mencegah untuk tidak mengusir saja tanpa harus duduk bersama mereka,
seolah-olah Allah S.W.T dalam ayat tersebut berkata kepada Nabi : “kekanglah
hawa nafsumu dari sesuatu yang dibenci oleh selain mu, seerti : usangnya pakaian
fuqoro’ dan bau badan mereka, dan janganlah kamu berpaling dari mereka karena
menaruh perhatian atas kebaikan
orang-orang kaya dan keindahan pakaian mereka, karena keindahan lahiriyyah saja
tanpa keindahan batiniyyah tidak ada manfaatnya”. Dalam
kitab Khasiyatus ash-Showiy ‘ala Tafsir al-Jalalain, dijelaskan bahwa :
(واصبر نفسك)
فى هـذه الا ية أمر لنبي ص.م بمراعـاة فقراه المسلمين والجلوس معهم. وهي من اية
الأنعام, لأن تلك انما نهي فيها عن طردهم : وهذه امر بحبس نفسه علي الجلوس معهم,
وكأن الله يقول : نفسك على ما يكرهه غيرك من رثاثه ثياب الفقراء ورائحتهم الكريهة,
ولا تلتفت لجمال الأغنياء وحسن ثيابهم, فاءن حسن الظاهر مع فساد الباطن غير نافع.[12]
Nabi Muhammad dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Malik al-Harits bin Ashim al-Asy'ari r.a. berkata bahwa : Rasulullah S.A.W
bersabda :
وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال : قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : "الطهور شطر الإيمان، والحمد لله تملأ
الميزان، وسبحان الله والحمد لله تملآن -أو تملأ- ما بين السماوات والأرض، والصلاة نور،
والصدقة برهان، والصبر ضياء، والقرآن حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو، فبائع نفسه
فمعتقها، أو موبقها" (رواه
مسلم).[13]
Artinya : Dari Malik al-Harits bin Ashim
al-Asy'ari r.a. berkata : Rosulullah S.A.W bersabda : "Bersuci adalah separuh
keimanan dan Alhamdulillah itu memenuhi imbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah
itu dapat memenuhi atau mengisi penuh apa-apa yang ada di antara langit-langit
dan bumi. Shalat adalah pahala, sedekah adalah sebagai tanda - keimanan bagi
yang memberikannya - sabar adalah merupakan cahaya pula, al-Quran adalah
merupakan hujjah untuk kebahagiaanmu - jikalau mengikuti perintah-perintahnya
dan menjauhi larangan-larangannya - dan dapat pula sebagai hujjah atas
kemalanganmu - jikalau tidak mengikuti perintah-perintahnya dan suka melanggar
larangan-larangannya. Setiap orang itu berpagi-pagi, maka ada yang menjual
dirinya - kepada Allah - bererti ia memerdekakan dirinya sendiri - dari siksa
Allah Ta'ala itu - dan ada yang merosakkan dirinya sendiri pula - kerana tidak
menginginkan keredhaan Allah Ta'ala." (HR Muslim).
Hadits tersebut di atas
menyinggung masalah sabar, yang mana disitu dijelaskan bahwa sabar adalah
sebuah penerang / cahaya (والصبرضياء), penerang yang dimaksud adalah
sebagaimana yang dijelaskan dalam Qs. al-Kahfi : 28 yaitu penerang dalam
segi penentu kesuksesan, menjaga perspektif dan ingatan.
4. Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab, jadi
tanggung jawab adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai wujud kesadaran akan kewajibannya.[14]
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab. Disebut demikian karena manusia,
selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk
Tuhan. Manusia memiliki tuntutan
yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan
dalam konteks sosial, individual ataupun teologis.
Dilihat dari sisi makhluk individu, manusi memiliki
kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala urusan yang kaitannya dengan diri
sendiri. Maka dari itu manusia memposisikan diri untuk menjawab segala
kebutuhannya supaya dapat selalu menjalankan kelansungan hidupnya tanpa harus
berharap banyak kepada orang lain, oleh sebab itu tanggung jawab bagian
pokok dari kehidupan manusia. Selaras dengan fitrah, tapi bisa juga tergeser oleh
faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini, Ia akan semakin membaik bila
kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri
manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari
kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang
menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.
Manusia sebagai makhluk Individu dalam bertanggung
jawab atas kehidupannya wajib memenuhi kebutuhan pangan dari tenaganya sendiri
sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W :
عَنِ
اْلمَقْدَادِ بْنِ سَعْدِ يَكْرِبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ مَا
أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلَ يَدَيْهِ
وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى(
Artinya : Dari Makdad bin Sa’di Yakrib r.a, Rosulullah
S.A.W bersabda : Tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang melebihi
makanan yang berasal dari buah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud AS
makan dari hasil tangannya sendir. (H.R Bukhori).
Hal
tersebut berarti bahwa manusia akan terhormat ketika memenuhi kebutuhan
pangannya berasal dari cirih pAyah atau usahanya sendiri tanpa berharap secara
lebih terhadap orang lain sekalipun manusia tidak mungkin jika tidak
membutuhkan orang lain. Manusiapun dibebani dengan tangung jawab sosial karena
manusia juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan terhadap sesama
ataupun makhluk lain tanpa me-nafi-kan manusia sebagai sosok hamba
dihadapan Tuhannya.
Karakter Nafsiyyah
inilah yang akan individu rasakan atau menanggungnya secara nyata bukan
orang lain yang berada di lingkungan kita untuk berperan penuh terhadap segala
kebutuhan yang diperlukan. Sebagai sosok individu, manusia memiliki kewajiban
dan tanggung jawab mutlak akan tingkah lakunya sebagaimana firman Allah S.W.T.
dalam Qs. Saba : 25.
@è% w cqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& wur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? .
B. Karakter Insaniyyah
Al-Insan terbentuk dari kata (نسي –
نسيًا و نسيانًا) yang berarti lupa.[15]
Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan pada keistimewaan
manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan
dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan
makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar,
yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk
Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-Insan yang
dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya
sesuai dengan nilai-nilai Insaniyyah yang terwujud dalam perpaduan iman
dan amalnya. Sebagaimana firman Allah S.W.T dalam surat at-Tiin : 6.
Artinya
: “kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Karakter Insaniyyah umumnya ditafsirkan sebagai karakter seseorang dalam
membina perhubungan baik dengan diri sendiri dan orang lain, yaitu apa yang
dikatakan sebagai kemahiran intrapersonal dan kemahiran Interpersonal.
Kaitannya manusia memiliki karater Insaniyyah karena manusia sebagai
sosok yang bermasyarakat maka harus mempertimbangkan bahwa disekelilingnya
terdapat kelompok lain yang dapat dibutuhkan dan membutuhkan sehingga saling
membutuhkan antar satu sisi sekalipun tidak terikat perjanjian. Dalam segi
Insaniyyah ini nilai-nilai yang perlu diterapkan sebagi penopang karakter
adalah :
1. Tolong
Menolong
Manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dalam
pembahasan sebelumya, membutuhkan uluran orang lain sekalipun tidak
diperkenankanya hanya sekedar berpangku tagan kepada orang lain maka dari itu
perlu dibangun jiwa tolong menolong sebagai pemenuh kebutuhan dalam membentuk
karakter Ilaahiyyah. Tolong menoloh disini adalah
tolong menolong yang kaitannya dengan kebaikan bukan dalam hal buruk atau
melanggar aturan Islam. Allah
S.W.T menganjurkan hal ini sebagai mana dalam Qs. al-Maidah : 2 :
. . . . (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 . .
. .[17]
Artinya
: . . . . dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran . . . .
Dari ayat
tersebut diatas, jelas bahwasannya tolong menolong yang dianjurkan adalah yang
kaitannya dengan hal kebaikan. Dalam Tafsir al-Jalalain potongan
ayat tersebut ditafsirkan :
(وتعاونوا على البر) فعل ما أمرتم به (والتقوى) بترك ما نهيتم عنه
(ولا تعاونوا) فيه حذف إحدى التاءين في الأصل (على الإثم) المعاصي (والعدوان)
التعدي في حدود الله [18].
Tafsir
tersebut menjelaskan bahwa anjuran tolong menolong atas kita semua dalam hal
kebaikan terhadap semua hal dengan dasar (fondasi) ketaqwaan, dan
janganlah kalian dalam hal ini orang yang beriman atau kalian pelaku tolong
menolong untuk dosa (maksiat) dan jangan berseteru terhadap ketetapan Allah
S.W.T.
Tolong menolong yang diperioritaskan disini adalah
terhadap segala unsur kebaikan bukan terhadap pelanggaran kepada norma atau
aturan yang berlaku. Tradisi tolong
menolong sudah ada dan dilakukan oleh masyarakat sejak zaman Rosululllah S.A.W,
sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid
al-Juhani r.a.,
وعن أبى عبد الرّحمن زيدبن خالد
الجهنيِ رضي الله عنه قال : قال نبيُّ الله ص.م : من جهز غازِياً في سبيل الله فقد
غزا, وعن خلف غازيا في أهله بخيرٍ فقدغزا. (متفق عليه)[19]
Artinya : Dari
Abdur Rahman bin Zaid bin Khalid al-Juhani r.a., katanya : "Nabiyullah
S.A.W. bersabda : "Barangsiapa yang memberikan persiapan bekal untuk
seseorang yang berperang fi sabilillah, maka dianggaplah ia sebagai orang yang
benar-benar ikut berperang yakni sama pahalanya dengan orang yang ikut berperang
itu. Dan barangsiapa yang meninggalkan kepada keluarga orang yang
berperang fi sabilillah berupa suatu
kebaikan apa-apa yang dibutuhkan untuk kehidupan keluarganya itu, maka dianggap
pulalah ia sebagai orang yang benar-benar ikut berperang." (Muttafaq
'alaih)
Hadits tersebut diatas menjelaskan yang intinya bahwa
tolong menolong dalam bentuk memberikan persiapan atau bekal untuk seseorang
disamakan dengan pelaku yang ditolong (dalam teks hadits adalah Fi
Sabilillah) maka penolong tersebut sama halnya dengan melakukan tindaka
serupa, sedangkan jika memenuhi kebutuhan berupa kebaikan terhadap keluarga
yang ditinggalkan berperang dianggap sebagai orang yang turut serta berperang.
Keistimewaan tolong menolong ini sangatlah mulia sekalipun apa yang dilakukan
berbeda tetapi memiliki nilai kesamaan dengan pelaku yang ditolong.
2. Toleransi
Toleransi dalam kajian fiqih Islam masuk kategori al-mu’amalat (interaksi
sosial) hal ini menjadi kebutuhan penting manusia sehingga manusia akan
terpuruk dalam kesesatan jika dia tidak menemukan singkronisasi
kebajikan, baik yang ada hubungannya secara vertikal maupun horizontal.
Toleransi merupakan istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat.
Istilah toleransi dalam bahasa Arab dapatt disamakan
dengan istilah "سَمُحَ
– سمْحاً وسِمَاحًا وسمَاحَةً" . Kata ini pada dasarnya berarti murah hati
atau suka berderma.[20]
Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada / terbuka dalam menghadapi
perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan untuk umat
Islam. Islam secara definisi adalah “damai”,
“selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering
dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’alamin” (agama yang
mengayomi seluruh alam), Ini berarti
bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada melainkan harus
dapat memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat. Islam menawarkan dialog
dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman
umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tidak mungkin disamakan.
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ .cqè=yJ÷ès?
Ayat
diatas sebagai seruan untuk orang beriman, dapat disimpulkan bahwa anjuran
untuk menegakkan kebenaran didasarkan atas Allah, memiliki sikap adil dan
dilarang untuk membenci suatu kaum
hingga berlaku tidak adil. Maka dari itu, toleransi sebagai sebuah media
karakter dalam masyarakat perlu diterapkan tanpa adanya sikap pandang bulu
kepada suatu kelompok untuk terbentuknya nilai keadailan.
Nabi Muhammad S.W.T, dalam sebuah
hadits bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ أَبُو
يَعْلَى)[21]
Artinya
: dari Anas bin Malik RA,
sesungguhnya Rasulullah S.A.W bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di
tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim dan Abu Ya’la).
Dari hadits tersebut terdapat
kalimah “li-jaarihi” (لِجَارِهِ) yang bermakna tetangga,
sebagaimana dalam pembahasan diatas bahwa sanya ketika hidup dalam
bermasyarakat tidak hanya dihuni oleh satu kelompok yang sama melainkan
berbeda, maka dari itu kalimat “li-jaarihi” dalam hadits tersebut tidak
bisa bermakana tetangga muslim saja melainkan non-muslim yang ada
disekitarnyapun perlu dan membutuhkan sikap toleransi. Dapat kita ketahui bahwa Rasulullah S.A.W tidak hanya bertetangga dengan Muslim namun beliau juga
bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar Madinah kala itu ada
orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka sama-sama mempunyai
hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga punya hak untuk mendapatkan
kedamaian.
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin
fii al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang
meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap
non-muslim, yaitu :[22]
-
Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun
agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
-
Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan
keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi
mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
-
Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili
kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang
akan menghakiminya nanti.
-
Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk
berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang
musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir.
3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berupaya
meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari. Upaya peningkatan
kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif, dengan kompetisi
ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan aturan yang
ada atau yang telah disepakati untuk diterima sebagai proses kebaikan. Tidak
sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu dan merugikan
orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan
terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai
bencana kehidupan, maka diperlukan ada
orang atau sekelompok orang yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan mencegah
dari perbuatan yang tidak baik. Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an
sebagai “amar makruf nahi munkar”.
Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini
sebagai sebuah keberuntungan sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam Qs. Ali
Imran : 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$#
Artinya :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.[23]
Dari ayat
tersebut jelas bahwasanya Amar Ma’ruf Nahi Munkar setidaknya
ada yang melakukannya pada kelompok masyarakat, dengan tujuan supaya dapat
tergolong pada kelompok orang yang beruntung. Disisi lain dari ayat tersebut
juga terdapat devinisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, pada kalimah ma’ruf (معرف) bermakna segala perbuatan yang
mendekatkan kita kepada Allah; dan dalam kalimah Munkar (منكر) ialah segala
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.[24]
Secara utuh, Amar Ma’ruf Nahi Munkar diartikan
dengan “menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, disamping
kewajiban-kewajiban lain”.[25]
Sebelum seseorang melakukan aktivits Amar Ma’ruf Nahi Munkar perlu
adanya bebarapa hal sebagai bekal untuk dimiliki, diantaranya adalah :
a.
Berilmu
Menyadari bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki
akal pikiran, maka perlu dipergunakannya untuk melakukan sebuah tindakan. Ilmu
sebagai buah dari akal pikiran nantinya menjadi kendanli atau mengkonsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar supaya
tidak terbalik. Perilaku manusia dalam aktivitas atau kebiasaan hidupnya sangat
ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya. Maka dari itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang
dilakukannya harus dibekali dengan ilmu sehingga tindakkan tersebut dapat
diterima oleh objek bahkan tidak salah dalam memahaminya.
Kaitannya dengan ilmu, manusia yang memiliki akal
inilah nantinya dapat dengan mudah menerima pelajaran. Allah S.W.T berfirman
dalam Q.s az-Zummar : 9
…. 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Artinya : . . . . Katakanlah : "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Ayat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa
antara berilmu dengan tidak berilmu ini menjadi beda sedangkan orang yang
berakallah sesungguhnya orang yang sanggup menerima pelajaran. Dari itu
semualah kiranya ilmu harus dijadikan bekal dalam melangkah atau melakukan
aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
b.
Lemah Lembut
Lemah lembut atau baik hati (tidak pemarah); peramah[26]
merupakan perilaku yang perlu dibangun untuk berkomunikasi sosial dalam
lingkungan. Sikap ini perlu dibangun karena dapat menciptakan masyarakat yang
nyaman adanya kebijakan yang humanis. Lemah lembut merupakan sikap yang baik,
sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ أَبِي إِسْمَعِيلَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ قَالَ سَمِعْتُ
جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حُرِمَ الرِّفْقَ حُرِمَ الْخَيْرَ أَوْ مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ
يُحْرَمْ الْخَيْرَ. (رواه مسلم)[27]
Artinya : Yahya bin Yahya mengatakan Abdul Wahid bin Ziyad dari Muhamad bin Abi Ismail Abdul
Rahman bin Hilal mengatakan Jalil bin ‘abdillah mengatakan Bahwa Rosulullah
S.A.W bersabda “Barang siapa dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang),
berarti ia dijauhkan dari kebaikan”.(HR. Muslim).
Hadits tersebut pada intinya bahwa ketika
sifat lemah lembut (kasih sayang) pada seseorang telah hilang berarti kebaikan
yang dimiliki oleh orang tersebut telah jauh, jadi ketika seseorang masih
memiliki ke-lemah lembut-an itu berarti orang tersebut tergolong oranng baik
karena masih dekat dengan kebaikan sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad
S.A.W.
c.
Bersabar
Sabar atau bersabar sebagaimana dijelaskan dalam
karakter Insaniyyah, penerapan dalam melakukan aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak
kalah penting sebab selain sabar sebagai penerang dalam melakukan aktivitas
yang terkait dengan diri sendiri ini juga sebagai memiliki dampak besar ketika
harus berhadapan dengan orang banyak untuk meneraapkan segala aktivitasnya
dalam berbuat Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Pekerjaan sabar ini harus dilakukan dengan keteguhan
hati sekalipun secara materi sangat dirugikan. Kesabaran yang pernah dialami
oleh Nabi Muhammad S.A.W kaitannya dengan materi sebagaimana dalam sebuah
hadits :
وعن أبي
سعيد سعد بن مالك بن
سنان الخدري رضي الله عنهما : "أن ناساً من الأنصار سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاهم، ثم سألوه فأعطاهم ، حتى نفد ما
عنده، فقال لهم حين أنفق كل شيء بيده
: "ما يكن عندي من خير فلن أدخره عنكم ، ومن يستعفف يعفه الله، ومن يستغن يغنه الله، ومن يتصبر يصبره الله. وما أعطي أحد
عطاءً خيراً وأوسع من الصبر" (متفق
عليه)[28]
Artinya : Dari Abu Said iaitu Sa'ad bin Malik bin Sinan
al-Khudri radhiallahu 'anhuma bahawasanya ada beberapa orang dari kaum Anshar
meminta sedekah kepada Rasulullah
s.a.w., lalu beliau memberikan sesuatu pada mereka itu, kemudian mereka meminta
lagi dan beliau pun memberinya pula sehingga habislah harta yang ada di
sisinya, kemudian setelah habis membelanjakan segala sesuatu dengan tangannya
itu beliau bersabda : "Apa saja kebaikan yakni harta yang ada
di sisiku, maka tidak sekali-kali akan ku simpan sehingga tidak ku berikan
padamu semua, tetapi oleh sebab sudah habis, maka tidak ada yang dapat
diberikan. Barangsiapa yang menjaga diri dari meminta-minta pada orang lain,
maka akan diberi rezeki kepuasan oleh Allah dan barangsiapa yang merasa dirinya
cukup maka akan diberi kekayaan oleh Allah - kaya hati dan jiwa - dan
barangsiapa yang berlaku sabar maka akan dikurnia kesabaran oleh Allah. Tiada
seorangpun yang dikurniai suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas
kegunaannya daripada kurnia kesabaran itu." (Muttafaq 'alaih)
Kisah dalam sebuah hadits tersebut adalah cermin
kesabaran yang dapat dinilai rugi secara materi akan tetapi pelu disadari bahwa
penerapan sabar yang dilakukan bukanlah untuk mendapatkan keuntungan secara
materi akan tetapi kepastian karunia yang dijanjikan oleh Allah S.W.T.
4. Peduli
Peduli dalam kamus besar Bahasa
Indonesia diartikan mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan.[29] jadi
maksud peduli yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah i’tikad dalam melakukan
tindakan sosial dengan memperhatikan kondisi lingkungan kemudian memberi solusi
sebagai sebuah jawaban nyata terhadap kebutuhan atau masalah yang sedang
dialami oleh kelompok masyarakat tersebut sehingga orang lain dapat terhindar
dari kesulitan yang sedang dialaminya.
Manusia yang hidup dalam lingkungan
sosial tidak bisa terlepas dari berbagai macam permasalahan duniawinya. Maka
untuk itu kepedulian sebagai ruh untuk bermasyarakat perlu ditanamkan sebagai
media untuk saling merasakan ataupun pemecah masalah. Dalam sebuah hadits, Nabi
Muhammad S.A.W bersabda :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً
يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ
وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ
فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ) رواه مسلم[30] (
Artinya : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah S.A.W. bersabda : Siapa yang
menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia,
niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa
yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya
di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan
tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama
hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu,
akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di
salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara
mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada
mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka
kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak
akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR.
Muslim).
Permasalahan-permasalahan sosial
dalam hadits tersebut tidak berdampak pada urusan duniawi saja bahkan
kepedulian yang harus ditangani juga bukan hanya hal-hal yang kasap mata
ataupun dapat dilakukan secara materi. Maka kepedulian ini cakupannya luas
sehingga kepedulian yang bentuknya psikologis (non materi) seperti menutupi aib perlu
dilakukan supaya orang tersebut memiliki rasa nyaman karena dapat diterima oleh
masyarakat dan permasalahan tersebut lambat laun akan hilang.
C. Karakter Ilaahiyyah
Ilaahiyyah sebagai bagian karakter dalam perilaku
manusia ini tiada lain adalah sebagai media vertical (ibadah) terhadap
sang pencipta supaya tata caranya sesuai dengan kehendak Allah. Secara
fisik manusia dilihat dari tingkah “basyariyyah” dengan binatang
tidaklah berbeda. Namun perlu disadari bahwa manusia diciptakan tidak sekedar
untuk hidup saja melainkan sebagi sosok sental yang berperan ganda dalam
kehidupan dunia. Sebagai ‘abd dalam pencitraannya manusia harus memahami
tata caranya supaya apa yang diajukan
kepada sang khalik dapat samapai dan terjawab.
Dari uraian tersebut kita fahami bahwa pada dasarnya manusia
terdiri atas dua substansi, yaitu jasad / materi dan roh/immateri. Jasad
manusia berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga
eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau hukum Allah S.W.T. yang berlaku di alam materi (Sunnatullah).
Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada di alam arwah, sudah mengambil
kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah S.W.T. sebagai
Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya sebagaimana dalam Q.S.
al-A’raf : 172 :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî
Artinya
: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab :
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : "Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan
Tuhan)",[31]
Konsisten terhadap eksistensi diri atau
naturnya, maka salah satu tugas hidup yang harus dilaksanakannya adalah
menghambakan dirinya melalui perjanjian (agama) yang dipastikan Allah S.W.T.,
posisi manusia sebagai ‘abd ini awal penciptaannya memang sebagai
pengabdi. Dalam karakternya, manusia selain harus
memiliki kepiyawaian untuk melakukan urusan duniawi maka perlu pula penyeimbang
supaya dapaat tergolong dalam ranah insanul kamil. Untuk masuk dalam
tatanan tersebut maka ibadah kepada Allah khususnya ibadah Mahdhah perlu
dibangun kearifan supaya bentuk ataupun tidakan manusia tidak
bertentangan. Dalam ibadah, ada beberapa
hal yang harus dipenuhi oleh manusia supaya tidak
sia-sia dalam penilaian Allah. Adapun cara tersebut adalah :
1. Iman
Iman yang dimaksud disini adalah ketetapan hati;
keteguhan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin atas keberadaan Allah.[32]
Bagi manusia, iman ini berarti cara atau jalan untuk menganggap terhadap adanya
Allah S.W.T. Kaitannya dengan religiousitas manusia,agama (Islam)
sebagai jalan maka kunci pokok untuk menanamkan sikap keteguhan hati karena
yakin adanya Allah S.W.T. Letak iman pada diri seseorang harus berdiri di atas
keyakinan yang kuat,[33]
sehingga ketika seseorang memiliki keimanan yang kuat akan merasa diawasi oleh
Allah S.W.T dalam segala tingkahnya karena Allah S.W.T sebagai dzat
jelas tanpa adanya keraguan terhadapnya. Maka dari itu, Iman laksana benteng
yang akan menjaga setiap muslim dari godaan, gangguan dan tantangan, terutama yang
datang dari luar dirinya. Iman akan menjadikan seorang muslim mempunyai
pegangan yang kuat dalam kehidupan.
Al-qur’an menjelaskan tentang keimanan sebagaimana
dalam Q.s al-Mu’minun : 1-5 :
ôs%
yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# cqàÊÌ÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya.[34]
sejumlah indikator keimanan seorang
muslim dalam
ayat tersebut adalah :
1) Seorang muslim yang melaksanakan sholat dengan khusyu’
2) Seorang muslim yang menghindari
ungkapan yang tidak bermanfaat.
3) Seorang muslim yang menunaikan zakat.
4) Seorang muslim yang menjaga
kemaluannya.
Indikator tersebut yang bersumber dari surat diatas
sangat terlihat jelas bahwasanya iman seseorang tidak sekedar untuk
mementingkan dirinya sendiri namun perlu melihat keadaan sekitar (menghargai
kearifan lokal) seperti menjaga lisan, zakat sebagai kepedulian sosial dan
menjaga kemaluan; itu berarti Islam dalam teori Iman mengarahkan umatnya untuk
melakukan tindakan yang bermanfaat untuk lingkungan sebagai pondasi dalam
tatanan rakhmatal lil ‘alamin.
2. Ikhlas
Ikhlas sebenarnya mempunyai arti dan makna yang luas,
salah satunya yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain baik berupa benda
ataupun jasa dan lain sebagainya tanpa mengharapkan imbalan apapun, yang memang
niat didalam hati adalah murni hanya memberi dan tidak mengharap sedikitpun
dibalas pemberiannya (dalam artian positif).
Dilihat dari segi bahasa, ikhlas berasal dari kata akhlasha yang
merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja
intransitif khalasha (خَلصَ)[35] dengan menambahkan satu huruf ‘alif
(أ); Bentuk
mudhari’ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu
(يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya
yaitu ikhlash (إِخْلاص), sedangkan dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan “bersih hati; tulus hati”,[36]
maksudnya adalah dalam melakukan segala bentuk tindakan positif harus
bersih hati atau tulus hati tanpa meminta balas budi atau penilaian kecuali
dari Allah. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
ikhlas itu bukanlah pekerjaan fisik yang atsarnya terlihat oleh mata
manusia.
Kaitannya dengan amal ibadah, Ikhlas ini seakan-akan
menjadi kekuatan untuk sampainya pesan kita kepada Allah S.W.T karena tidak ada
sekutu atau harapan kepada dzat yang lain. Manusia dalam penciptaannya
tiada lain untuk menyembah kepada Allah maka dari itu segala aktivitas manusia
harus secara tekad diperuntukkan untuk pengabdian diri kepada sang pencipta
tanpa dinodai oleh kebutuhan lain. Allah S.W.T berfirman dalam Qs.
Al-Bayyinah : 5.
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$#
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.[37]
Ayat tersebut diatas merupakan sebuah bukti bahwasanya
kemurnian dalam ibadah tidak bisa ditawar atau ada kebutuhan lain selain untuk
berharap kepada Allah S.W.T. Dalam sebuah hadits, Rasulullah S.A.W bersabda :
وعن أبي
هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي
الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر
إلى قلوبكم
وأعمالكم" (رواه مسلم).
Artinya : Dari Abu Hurairah, iaitu Abdur Rahman bin
Shakhr r.a., katanya : Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya Allah Ta'ala
itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi
Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian."(HR. Muslim).[38]
Kepastian-kepastian ternilainya ibadah sebagaimana
dalam hadits tersebut adalah pekerjaan hati (isi hati) dari pelaku ibadah
tersebut. Mengingat kembali bahwasanya ikhlas sebagai karakter Ilaahiyyah yang
letaknya di hati maka kaitannya dengan ibadah / menindakkan kegiatan yang
diperuntukkan kepada Allah S.W.T harus bersih hatinya supaya tidak mengotori
jalan atau tempat yang diridloinya.
3. Ihsan
Ihsan ((احسن adalah kata dalam
bahasa Arab yang berarti “menjadikan baik” atau “memperbaiki”.[39] Ihsan dalam hubungan kepada Allah
adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya (dengan mata
hati), jika ia tidak mampu melihat-Nya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah
melihat perbuatannya.[40]
Beribadah secara ihsan merupakan perilaku atau karakter seseorang dalam
menghadap kepada tuhannya sehingga konsentrasi terhadap apa yang sedang
dilakukannya akan terbangun.
Allah mewajibkan perbuatan Ihsan pada setiap
keadaan. Sampai-sampai dalam hal harus membunuh orang (pada jihad fii
sabilillah, qishash, atau hukuman syar’i yang lain), sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits dari Abi Ya’la bahwa Rosulullah S.A.W bersabda
:
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّاد ابْنِ
أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. (رواه مسلم )[41]
Artinya : Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Sesungguhnya
Allah mewajibkan ihsan (berlaku baik) pada segala hal, maka jika kamu membunuh
hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka
sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau
dan memberi kelapangan bagi hewan yang disembelihnya”. (HR. Muslim)
Allah S.W.T suka kepada manusia yang bisa bersikap ihsan
kepada sesama manusia, lebih-lebih jika sikap ihsan itu dilakukan terhadap
kedua orang tuanya. Secara khusus Allah S.W.T memerintahkan
dengan firmanNya dalam QS. Al-Isra : 23 :
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2
Artinya : dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.[42]
Hal itu
berarti Islam sangat menghendaki karakter atau kebiasaan yang baik dalam
berbagai situasi atau apa yang dihadapinya. Cakupan ihsan kaitannya beribadah kepada Allah S.W.T.
itu berarti dengan cara Maqoomul Musyaahadah dan Maqoomul murooqobah, sedangkan
lingkup makhluk sosial diterapkan dalam kegiatan yang tidak memuat unsur dzalim.
4. Takwa
Perintah untuk bertakwa kepada Allah S.W.T. disetiap waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun.
Takwa merupakan cara supaya terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan
perintah Allah S.W.T. dan menjauhi segala larangan-Nya.[43] Perilaku takwa yang diterapkan
oleh manusia dalam kehidupannya itu berarti tidak hanya dibatasi oleh dimensi
apapun. Ketakwaan
ini merupakan sebuah wasiat Allah S.W.T untuk setiap manusia sebagaimana dalam Qs.
an-Nisa : 131 :
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZø¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$Î)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YÏHxq
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang
di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi
Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi
jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang
di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.[44]
Takwa ini oleh Allah S.W.T. diperintahkan kepada umat
manusia sejak zaman sebelum Nabi Muhammad S.W.T.dalam ayat lain yang berkenaan
dengan karakter takwa, Allah S.W.T berfirman sebagaimana QS al-Baqoroh : 177 :
}§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$#
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.[45]
Bebrapa hal tergolong dalam ayat tersebut diatas,
diantaranya adalah : masalah keimanan, kepedulian sosial dan perlindungan diri.
Seseorang sanggup menjalankan shalat sebagai simbol keimanan, peduli terhadap
unsur kemanusiaan dan memiliki etika untuk menghargai dirinya itu berarti orang
tersebut secara langsung menerapkan ketakwaan yang dianjurkan oleh Allah S.W.T.
Manusia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap
kehidupannya maka faktor moral dari ke tiga karakter secara global tersebut
diatas menjadi tolak ukur simbol kesempurnaan yang harus diterapkannya.
Perlindungan untuk dirinya harus dijalani agar segala sesuatu yang menempel
pada dirinya bisa selamat, sebagai makhluk sosial maka etika bermasyarakat
senantiasa digunakan dengan tujuan supaya segala sesuatu yang ada dalam
lingkungan kita tidak menjadi ancaman atau terancam. Mengenai masalah
penghambaan diri kepada Tuhan, manusia membutuhkan etika yang harus selalu
diterapkan yang tiada lain untuk mendapat keridloan.
[2] Bisyri Musthofa, al-Ibris lima’rifati Tafsiri
al-Qurani al-Azizi Bil Lughoti al-Jaawiyati, Jilid I, (Kudus : Menara
Kudus, TT), hal. 219
[3] Soenarjo, Op. Cit., hal. 370
[4] A.W Munawir, Kamus Al Munawir (Arab – Indonesia),
(Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), Cet 14, hal. 1245
[5] Dangstars Tea, “Kerja Keras” http
://dangstars.blogspot.com/2013/03/pengertian-kerja-keras-tekun-ulet-dan-teliti.html,
hal. 1
[6] Soenarjo, Op. Cit.,Hal. 370
[7] Jalaludin Muhammad
Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir
al-Qur’an al-Karim al-Jalilain al-
Imamain, (Semarang : al-‘alawiyah, TT), hal. 202
[8] A.W Munawir, Op. Cit., hal. 760
[9] Soenarjo, Op.
Cit., hal. 448
[10] Saleem Hardja Sumarna, Menjadi Pribadi Pemenang,
(Klaten : Galmas Publising, 2013), Cet 1, hal. 77
[11] Bisyri Musthofa, Op. Cit, hal. 894
[12] Muhammad Jamil, Khasiyatus ash-Showiy ‘ala Tafsir
al-Jalalain, (Surabaya : Alhidayah, TT), Jilid III, Hal. 14
[13] Imam al-Hafidz
al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Riyadus Sholihin Min Kalam
Syayidi al-Mursalin, (Sampang : Al Haromain, TT), hal. 28
[14] Yogie Arif Fadillah, Tanggung Jawab, http
://yogiearieffadillah.wordpress.com/2013/06/04/makalah-manusia-dan-tanggung-jawab/,
hal. 1
[15] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 1416
[17] Ibid, hal. 156
[18] Jalaludin Muhammad
Bin Ahmad Mahali dan Jalaludin ‘abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti,
Op. Cit, hal. 95
[19] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya
an-Nawawi, Op. Cit, hal. 106
[20] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 657
[21] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, Syarah Shohih
Muslim, Jilid 1, (Beirut Libanon, Darul Fikr, 2004), hal. 15
[22] Yusuf al-Qardhawi, Ghair
al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami, (Qahirah : Maktabah
Al-Wahbah, 1992), hal. 53-55
[23] Soenarjo, Op. Cit., hal. 93
[24] Loc. Cit
[26] Dedy Sugiyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi keempat, hal. 807
[27] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, 0p.Cit,
Jilid 9, hal. 124
[28] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya
an-Nawawi, Op. Cit, hal. 28
[29] Dedy Sugiyono, Op. Cit, hal. 1036
[30] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, 0p.Cit,
Jilid 9, hal. 19
[31] Soenarjo, Op. Cit., hal. 250
[32] Dedy Sugiyono, Op. Cit, hal. 526
[33] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 2,
(Jakarta : PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2003), hal. 209
[34] Soenarjo, Op. Cit., hal. 526
[35] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 359
[36] Dedy Sugiyono, Op. Cit, hal. 521
[37] Soenarjo, Op. Cit, hal. 1084
[38] Imam al-Hafidz al-Fiqh Abi Zakariya Muhyiddin Yahya
an-Nawawi, Op. Cit, hal. 9
[39] A.W Munawir, Op. Cit, hal. 264
[40] Depatemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi … , Jilid
2, Op. Cit., hal. 176
[41] Abi Zakaria Yahya Bin Syarof an Nawawi, 0p.Cit, Jilid 7, hal. 9
[42] Soenarjo, Op. Cit, hal. 427
[43] Dedy Sugiyono, Op. Cit., hal. 1382
[44] Soenarjo, Op. Cit., hal. 144
[45] Ibid, Hal 43
No comments:
Post a Comment