Tujuan Pendidikan
Nasional berdasarkan Undang-Undang
RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan
pada pendidikan dasar dan menengah, yang secara
keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini dimaksudkan
agar dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian
utuh dan terintegrasi, serta jangan sampai menjadi pribadi yang terpecah-pecah.
Mata pelajaran ini meliputi Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh dan Tarikh.
Pendidikan Agama Islam di sekolah,
jika dilihat dari tujuannya tidak saja menekankan pentingnya hasil atau produk,
tetapi sekaligus prosesnya. Ketika proses pembelajaran ini dipandang sebagai proses perubahan tingkah
laku siswa, peran penilaian dalam proses pembelajaran menjadi sangat penting.
Dengan melakukan penilaian ketika melaksanakan proses pembelajaran, guru akan
dapat mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran dan akan memperoleh
bahan masukan untuk menentukan langkah selanjutnya. Dengan demikian,
keefektifan suatu proses pembelajaran banyak ditentukan oleh peran penilaian
dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Penilaian
sebagai salah satu komponen utama proses pembelajaran harus dipahami,
direncanakan dan dilaksanakan dalam upaya mendukung keberhasilan peningkatan
mutu proses pembelajaran. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan penilaian
dalam proses pembelajaran secara terus menerus dan berkesinambungan sebagai
alat pemantau tentang keefektifan proses belajar serta kemampuan siswa belajar.
Hal yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan penilaian hasil belajar adalah proses tersebut
harus dilakukan secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi
pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek
kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya
(aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan
itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau
proses evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu
berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu
kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada
diri peserta didik, yaitu: 1. Ranah proses
berfikir (cognitive domain), 2. Ranah nilai
atau sikap (affective domain), 3. Ranah
keterampilan (psychomotor domain).
Dalam konteks evaluasi hasil
belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran
dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Namun diantara
ketiga ranah tersebut, yang paling mudah dilakukan oleh seorang guru adalah
pendekatan kognitif, sehingga seringkali aspek afektif dan psikomotorik
terabaikan. Karena pada faktanya pendekatan kognitif itu tidak serumit
pendekatan afektif dan psikomotorik, maka harus jelas adanya Evaluasi, Ruang
Lingkup Evaluasi dan urgensi pengukuran afektif dalam Pendidikan Agama Islam.
Pengertian
Evaluasi Menurut bahasa
kata “evaluasi” berasal dari bahasa Inggris yaitu “to evaluate” atau
“evaluation” yang berarti mengukur, menilai. Sedangkan menurut istilah evaluasi
merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan.[2]
Mehren dan Lehmann
mendefenisikan evaluasi adalah “Suatu proses
merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk
membuat alternatif-alternatif keputusan”.[3]
Sedangkan Suharsimi Arikunto, kegiatan evaluasi adalah “Mengukur dan menilai dan tidak dapat mengadakan penilaian sebelum mengadakan
pengukuran”.[4]
Sementara Zuhairini, dkk.
Mengemukakan defenisi evaluasi adalah “sesuatu kegiatan untuk menentukan taraf
kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama Islam dan merupakan alat
untuk mengukur sampai dimana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan yang
telah diberikan”.[5]
Ruang Lingkup
Evaluasi Pembelajaran PAI sebagai pengukuran dalam sekolah berkaitan hanya
dengan pecandraan (deskripsi) kuantitatif mengenai tingkah laku siswa. Pengukuran
tidak melibatkan pertimbangan mengenai baiknya atau nilai tingkah laku yang
diukur itu. Seperti halnya tes, pengukuran pun tidak menentukan siapa yang
lulus dan siapa yang tidak lulus. Pengukuran hanya membuahkan data kuantitatif
mengenai hal yang diukur. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan
klasifikasi hasil belajar dari benyamin bloom yang membaginya menjadi 3 ranah
pengukuran yakni (I) Ranah
pengukuran Kognitif adalah ranah yang
mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut
aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif
berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal,
memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek
atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang
yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), Pemahaman (comprehension), Penerapan (application), Analisis (analysis), Sintesis (syntesis), Penilaian/penghargaan/evaluasi
(evaluation). (II). Pengukuran
Ranah Afektif, Hingga dewasa ini, ranah afektif
merupakan kawasan pendidikan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. Afek merupakan karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa
minat, sikap, motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya
dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan.
Kemunculan perilaku ini bisa menunjukkan 3 kecenderungan atau “arah” (Anderson,
1981): positif, netral, atau negatif. Selain memiliki arah, afek juga memiliki
“intensitas”, artinya perilaku yang dinyatakan dalam tujuan atau kompetensi
afektif haruslah yang mempunyai kemungkinan tinggi (high probability behavior).
Pengukuran afek harus pula menyediakan pernyataan “kondisi” dalam kompetensi
atau tujuannya, yang menunjukkan terjadinya perilaku yaitu berupa sejumlah
preferensi atau pilihan yang disediakan bagi siswa. Siswa bebas memilih. Juga
mengandung pernyataan “kriteria”, apakah kriteria yang terkait dengan jumlah
subjek atau jumlah kegiatan/perilaku.
Struktur ranah afektif sebagaimana
dikembangkan Krathwohl et al (1964) cukup rumit. Artinya struktur afektif ini
unsur-unsurnya cukup kompleks. Tidak semua
karakteristik afektif harus dievaluasi di sekolah. Beberapa karakteristik
afektif yang perlu diperhatikan (diukur dan dinilai) terkait dengan mata
pelajaran PAI di sekolah adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai
(Dikdasmen, 2003). Sikap berhubungan dengan intensitas perasaan positif atau
negatif terhadap suatu objek psikologik (misal kegiatan pembelajaran, atau mata
pelajaran). Minat berhubungan dengan keingintahuan seseorang tentang keadaan
suatu objek psikologik, atau pilihan terhadap suatu kegiatan. Konsep diri
berhubungan dengan pernyataan sendiri tentang keadaan diri sendiri, tentang
kemampuan diri terkait objek psikologiknya. Nilai berhubungan dengan keyakinan
seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Teknik pengukuran afektif
dapat dilakukan dengan berbagai ragam misal: Skala bertingkat (rating scale;
suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan), Angket (questionaire; sebuah daftar pertanyaan
yang harus diisi oleh siswa), Swalapor
(berupa sejumlah pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu), Wawancara (interview; tanya jawab atau dialog
untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu), Inventori bisa disebut juga sebagai interviu
tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya hanya perlu di
dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist (menandai),
daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik nontes. (III). Pengukuran Ranah Psikomotorik, Istilah psychomotor, psikomotor terkait
dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat
kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya,
mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat
sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam
praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan
abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan
kemampuan terkait dengan kognitif. Pengukuran
karakteristik (gerak) dalam ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun
hasil belajar yang berupa tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita
bisa menggunakan kriteria atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif,
efektif. Menurut Antony J. Nitko (1994) untuk mengukur gerak motorik ada dua
pendekatan: Pengamatan dan pengukuran pada saat proses berlangsung; Pengamatan
dan pengukuran pada hasil dari gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses
memerlukan kecermatan dan konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara
pengukuran dengan pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran
karakteristik psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut. Pengukuran karakteristik psikomotor dapat
menggunakan beraneka model instrumen, misal: Checklist (menandai), Identification Test (tes identifikasi), Ranking (urutan), Numerical
Scales (skala angka), Graphic Rating
Scales (skala rating grafik), Kesemua model
ini menggunakan pendekatan observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap
karakteristik psikomotor dilakukan dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori
(materi belajar yang pernah dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat
ditunjukkan oleh siswa.
Urgensi
Pengukuran Ranah Afektif dalam Pendidikan Agama Islam sebagaimana Kamus Umum
Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan afektif adalah: 1)
berkenaan dengan perasaan, 2) keadaan perasan yang mempengaruhi keadaan
penyakit (jiwa), 3) gaya atau makna yang menunjukkan perasaan.[6]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa afektif adalah masalah
yang berkenaan dengan emosi (kejiwaan), berkenaan dengan ini terkait dengan
rasa suka, benci, simpati, antipati dan sebagainya. Dengan kata lain afektif
adalah sikap batin seseorang. Ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti
perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap
seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan
kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada
peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata
pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran
agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai
pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya
terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Ranah afektif
menjadi lebih rinci lagi di bagi ke dalam lima jenjang, yaitu: Receiving atau attending (menerima atua
memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan
(stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi,
gejala dan lain-lain. Receiving atau attending juga sering
di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau
suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia
menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau
menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan
nilai itu. Contoh hasil
belajar afektif jenjang receiving , misalnya: Peserta didik bahwa disiplin
wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-jauh, Responding (menanggapi)
mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara
aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara.
Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah
afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya
lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang
kedisiplinan. Valuing (menilai, menghargai).
Menilai atau menghargai artinya mem-berikan nilai atau memberikan penghargaan
terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak
dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing
merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan
responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini
tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan
untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu
ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah
baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian.
Nilai itu mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian
nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif
jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik
untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, Organization (mengatur atau
mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk
nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau
mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem
organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai lain.,
pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh nilai efektif
jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin. Characterization by evalue
or calue complex (karakterisasi dengan suatu
nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah
dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi
dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu
telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya.
Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta
didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang
mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang
telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu
karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat
diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah
memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT
yang tertera di Al-Quran menyangkut disiplinan, baik kedisiplinan sekolah,
dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
Oleh karena
itu, pendidikan agama yang berorientasi kepada pembentukan afektif ini adalah
pembentukan sikap mental peserta didik kearah menumbuhkan kesadaran beragama.
Beragama tidak hanya pada kawasan pemikiran, pengetahuan (afektif) saja,
akan tetapi masuk merasuk ke dalam kawasan rasa. Karena itu sentuhan-sentuhan
emosi beragama perlu dikembangkan, misalnya melalui kegiatan-kegiatan yang
menyentuh asfek ini, diantaranya:
1.
Bimbingan
kehidupan beragama
Bimbingan kehidupan beragama ini dapat
diupayakan dengan membentuk lembaga bimbingan keagamaan. Bisa melalui
ekstrakurikuler keagamaan. Penekanannya bagi setiap siswa yang bermasalah dan
tidak pun harus melewati bimbingan keagamaan ini.
2.
Uswatun
Hasanah
Seluruh tenaga kependidikan adalah menjadi
guru yang baik dalam bentuk pasif maupun aktif yang menjadi uswatun hasanah
bagi peserta didik.Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab XI pasal 39
disebutkan: pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melalukukan penelitin dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.
3.
Malam Ibadah
Diisi dengan berbagai aktifitas religius
dengan menampilkan acara-acara yang merangsang semakin tebalnya emosi beragama,
seperti: doa, taushiyah, dzikir, pembacaan Al-Quran bersama-sama, pertaubatan,
dan pemutaran film-film religi dan sebagainya.
4. Pesantren Kilat
Pesantren kilat adalah kegiatan pesantren yang
dilaksanakan pada saat liburan sekolah, dalam waktu yang relatif singkat di
bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Pesantren kilat disebut juga pesantren
ramadhan bila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, durasi waktunya bisa
dilaksanakan selama 3, 5, 7 hari atau lebih disesuaikan dengan kebutuhan.
5. Wajib Belajar Membaca Menulis Al-Quran
Hal ini bisa merupakan salah satu kegiatan
ekstrakurikuler yang wajib diselenggarakan dalam rangka memberikan kemampuan
membaca dan menulis Al-Quran dengan baik dan benar.
Adapun dalam
pelaksanaannya bisa ditempuh melalui cara:
1.
Orangtua
peserta didik mewajibkan anaknya mengaji di rumah, privat Al-Quran atau mengaji
di madrasah atau mushalla-mushalla yang ada di kampung halamanya.
2.
Guru PAI
mengadakan program khusus belajar membaca dan menulis Al-Quran di luar jam
pelajaran dengan metode yang tepat.
3.
Sekolah
mengadakan program khataman sekaligus pemberin sertifikat bagi siswa yang lulus
mengikuti program ini.
Jadi dalam
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : (I) Ranah kognitif
adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya
yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.
Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya
kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan
kemampuan mengevaluasi. (II). Afek merupakan
karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap,
motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya
dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. (III). Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi
penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana
seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang
kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna
antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih
terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif. (IV). Penilain terhadap ketiga ranah tersebut adalah sebuah keniscayaan
dalam rangka untuk memperbaiki mutu pengukuran serta informasi yang ingin
diperoleh oleh seorang guru PAI. Sehingga hasilnya dapat mencerminkan kemampuan
siswa yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kunandar, Guru Profesional,
Jakarta, Rajawali Press, 2007
M. Ngalim, P. Prinsip-Prinsip danTteknik
Evaluasi Pengajaran, Bandung, Remaja Rosdakarya
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan, Jakarta, PT.
Bumi Aksara, 2001
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan
Agama, Surabaya, Usaha Nasional, 1983
No comments:
Post a Comment