Sunday, 3 January 2016

URGENSI PENGUKURAN RANAH AFEKTIF DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Tujuan Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang RI  No. 20  tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian utuh dan terintegrasi, serta jangan sampai menjadi pribadi yang terpecah-pecah. Mata pelajaran ini meliputi Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh dan Tarikh.
Pendidikan Agama Islam di sekolah, jika dilihat dari tujuannya tidak saja menekankan pentingnya hasil atau produk, tetapi sekaligus prosesnya. Ketika proses pembelajaran ini dipandang sebagai proses perubahan tingkah laku siswa, peran penilaian dalam proses pembelajaran menjadi sangat penting. Dengan melakukan penilaian ketika melaksanakan proses pembelajaran, guru akan dapat mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran dan akan memperoleh bahan masukan untuk menentukan langkah selanjutnya. Dengan demikian, keefektifan suatu proses pembelajaran banyak ditentukan oleh peran penilaian dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Penilaian sebagai salah satu komponen utama proses pembelajaran harus dipahami, direncanakan dan dilaksanakan dalam upaya mendukung keberhasilan peningkatan mutu proses pembelajaran. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan penilaian dalam proses pembelajaran secara terus menerus dan berkesinambungan sebagai alat pemantau tentang keefektifan proses belajar serta kemampuan siswa belajar.
Hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penilaian hasil belajar adalah proses tersebut harus dilakukan secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: 1. Ranah proses berfikir (cognitive domain), 2. Ranah nilai atau sikap (affective domain), 3. Ranah keterampilan (psychomotor domain).
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Namun diantara ketiga ranah tersebut, yang paling mudah dilakukan oleh seorang guru adalah pendekatan kognitif, sehingga seringkali aspek afektif dan psikomotorik terabaikan. Karena pada faktanya pendekatan kognitif itu tidak serumit pendekatan afektif dan psikomotorik, maka harus jelas adanya Evaluasi, Ruang Lingkup Evaluasi dan urgensi pengukuran afektif dalam Pendidikan Agama Islam.
Pengertian Evaluasi Menurut bahasa kata “evaluasi” berasal dari bahasa Inggris yaitu “to evaluate” atau “evaluation” yang berarti mengukur, menilai. Sedangkan menurut istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[2]
Mehren dan Lehmann mendefenisikan evaluasi adalah “Suatu proses merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan”.[3]
Sedangkan Suharsimi Arikunto, kegiatan evaluasi adalah “Mengukur dan menilai dan tidak dapat mengadakan penilaian sebelum mengadakan pengukuran”.[4] Sementara Zuhairini, dkk. Mengemukakan defenisi evaluasi adalah “sesuatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama Islam dan merupakan alat untuk mengukur sampai dimana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan”.[5]
Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran PAI sebagai pengukuran dalam sekolah berkaitan hanya dengan pecandraan (deskripsi) kuantitatif mengenai tingkah laku siswa. Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai baiknya atau nilai tingkah laku yang diukur itu. Seperti halnya tes, pengukuran pun tidak menentukan siapa yang lulus dan siapa yang tidak lulus. Pengukuran hanya membuahkan data kuantitatif mengenai hal yang diukur. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari benyamin bloom yang membaginya menjadi 3 ranah pengukuran yakni (I) Ranah pengukuran Kognitif  adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.  Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), Pemahaman (comprehension), Penerapan (application), Analisis (analysis), Sintesis (syntesis),   Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation). (II). Pengukuran Ranah Afektif, Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan pendidikan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. Afek merupakan karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap, motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. Kemunculan perilaku ini bisa menunjukkan 3 kecenderungan atau “arah” (Anderson, 1981): positif, netral, atau negatif. Selain memiliki arah, afek juga memiliki “intensitas”, artinya perilaku yang dinyatakan dalam tujuan atau kompetensi afektif haruslah yang mempunyai kemungkinan tinggi (high probability behavior). Pengukuran afek harus pula menyediakan pernyataan “kondisi” dalam kompetensi atau tujuannya, yang menunjukkan terjadinya perilaku yaitu berupa sejumlah preferensi atau pilihan yang disediakan bagi siswa. Siswa bebas memilih. Juga mengandung pernyataan “kriteria”, apakah kriteria yang terkait dengan jumlah subjek atau jumlah kegiatan/perilaku.
Struktur ranah afektif sebagaimana dikembangkan Krathwohl et al (1964) cukup rumit. Artinya struktur afektif ini unsur-unsurnya cukup kompleks. Tidak semua karakteristik afektif harus dievaluasi di sekolah. Beberapa karakteristik afektif yang perlu diperhatikan (diukur dan dinilai) terkait dengan mata pelajaran PAI di sekolah adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai (Dikdasmen, 2003). Sikap berhubungan dengan intensitas perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek psikologik (misal kegiatan pembelajaran, atau mata pelajaran). Minat berhubungan dengan keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek psikologik, atau pilihan terhadap suatu kegiatan. Konsep diri berhubungan dengan pernyataan sendiri tentang keadaan diri sendiri, tentang kemampuan diri terkait objek psikologiknya. Nilai berhubungan dengan keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Teknik pengukuran afektif dapat dilakukan dengan berbagai ragam misal: Skala bertingkat (rating scale; suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan), Angket (questionaire; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh siswa), Swalapor (berupa sejumlah pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu), Wawancara (interview; tanya jawab atau dialog untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu), Inventori bisa disebut juga sebagai interviu tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya hanya perlu di dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist (menandai), daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik nontes. (III). Pengukuran Ranah Psikomotorik, Istilah psychomotor, psikomotor terkait dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif. Pengukuran karakteristik (gerak) dalam ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun hasil belajar yang berupa tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita bisa menggunakan kriteria atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif, efektif. Menurut Antony J. Nitko (1994) untuk mengukur gerak motorik ada dua pendekatan: Pengamatan dan pengukuran pada saat proses berlangsung; Pengamatan dan pengukuran pada hasil dari gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses memerlukan kecermatan dan konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara pengukuran dengan pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran karakteristik psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut. Pengukuran karakteristik psikomotor dapat menggunakan beraneka model instrumen, misal: Checklist (menandai), Identification Test (tes identifikasi), Ranking (urutan), Numerical Scales (skala angka), Graphic Rating Scales (skala rating grafik), Kesemua model ini menggunakan pendekatan observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap karakteristik psikomotor dilakukan dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori (materi belajar yang pernah dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat ditunjukkan oleh siswa.
Urgensi Pengukuran Ranah Afektif dalam Pendidikan Agama Islam sebagaimana Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan afektif adalah: 1) berkenaan dengan perasaan, 2) keadaan perasan yang mempengaruhi keadaan penyakit (jiwa), 3) gaya atau makna yang menunjukkan perasaan.[6] Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa afektif adalah masalah yang berkenaan dengan emosi (kejiwaan), berkenaan dengan ini terkait dengan rasa suka, benci, simpati, antipati dan sebagainya. Dengan kata lain afektif adalah sikap batin seseorang. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi di bagi  ke dalam lima jenjang, yaitu: Receiving atau attending (menerima atua memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving atau attending juga sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving , misalnya: Peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-jauh, Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan. Valuing (menilai,  menghargai). Menilai atau menghargai artinya mem-berikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena,  yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai  lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin.  Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan  suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera di Al-Quran menyangkut disiplinan, baik kedisiplinan sekolah, dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan agama yang berorientasi kepada pembentukan afektif ini adalah pembentukan sikap mental peserta didik kearah menumbuhkan kesadaran beragama. Beragama tidak hanya pada kawasan  pemikiran, pengetahuan (afektif) saja, akan tetapi masuk merasuk ke dalam kawasan rasa. Karena itu sentuhan-sentuhan emosi beragama perlu dikembangkan, misalnya melalui kegiatan-kegiatan yang menyentuh asfek ini, diantaranya:
1.    Bimbingan kehidupan beragama
Bimbingan kehidupan beragama ini dapat diupayakan dengan membentuk lembaga bimbingan keagamaan. Bisa melalui ekstrakurikuler keagamaan. Penekanannya bagi setiap siswa yang bermasalah dan tidak pun harus melewati bimbingan keagamaan ini.
2.    Uswatun Hasanah
Seluruh tenaga kependidikan adalah menjadi guru yang baik dalam bentuk pasif maupun aktif yang menjadi uswatun hasanah bagi peserta didik.Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab XI pasal 39 disebutkan:  pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melalukukan penelitin dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.

3.    Malam Ibadah
Diisi dengan berbagai aktifitas religius dengan menampilkan acara-acara yang merangsang semakin tebalnya emosi beragama, seperti: doa, taushiyah, dzikir, pembacaan Al-Quran bersama-sama, pertaubatan, dan pemutaran film-film religi dan sebagainya.
4.    Pesantren Kilat
Pesantren kilat adalah kegiatan pesantren yang dilaksanakan pada saat liburan sekolah, dalam waktu yang relatif singkat di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Pesantren kilat disebut juga pesantren ramadhan bila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, durasi waktunya bisa dilaksanakan selama 3, 5, 7 hari atau lebih disesuaikan dengan kebutuhan.
5.    Wajib Belajar Membaca Menulis Al-Quran
Hal ini bisa merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diselenggarakan dalam rangka memberikan kemampuan membaca dan menulis Al-Quran dengan baik dan benar.
Adapun dalam pelaksanaannya bisa ditempuh melalui cara:
1.      Orangtua peserta didik mewajibkan anaknya mengaji di rumah, privat Al-Quran atau mengaji di madrasah atau mushalla-mushalla yang ada di kampung halamanya.
2.      Guru PAI mengadakan program khusus belajar membaca dan menulis Al-Quran di luar jam pelajaran dengan metode yang tepat.
3.      Sekolah mengadakan program khataman sekaligus pemberin sertifikat bagi siswa yang lulus mengikuti program ini.

Jadi dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : (I) Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.  Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. (II). Afek merupakan karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap, motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. (III). Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif. (IV). Penilain terhadap ketiga ranah tersebut adalah sebuah keniscayaan dalam rangka untuk memperbaiki mutu pengukuran serta informasi yang ingin diperoleh oleh seorang guru PAI. Sehingga hasilnya dapat mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA


Kunandar, Guru Profesional, Jakarta,  Rajawali Press, 2007

M. Ngalim, P. Prinsip-Prinsip danTteknik Evaluasi Pengajaran, Bandung, Remaja Rosdakarya

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,  Balai Pustaka, 1990

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta,  PT. Bumi Aksara, 2001
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya, Usaha Nasional, 1983







[1] Undang-undang RI Nomor 20 Tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[2] Kunandar, Guru Profesional. (Jakarta : Rajawali Press, 2007), hlm. 377.
[3] M. Ngalim, P. Prinsip-Prinsip danTteknik Evaluasi Pengajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya), hlm. 3.
[4] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2001),  hlm. 2-3.
[5] Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama. (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hlm. 154.
[6] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 8.

No comments: