Imam
Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Nama lengkap Imam al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di kota Thusia, salah satu kota di
negeri Khurosan, Persia, pada tahun 450 Hijriyah, bertepatan dengan tahun
1058 Masehi.
Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan
tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia
Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan
kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya.
Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah
dari sejarah hidup beliau.
Sebagai makluk agung ciptaan Allah swt.,
manusia telah dikaruniai kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniyah dan
jasmaniyah. Agar dengannya, mereka mampu mempertahankan hidup serta memajukan
kesejahteraannya. Kemampuan dasar tersebut dalam sejarah pertumbuhannya
merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.
Sarana
utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah
pendidikan, Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling
berpacu, maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikatakan,
pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah.
Diantara
pakar yang menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan
adalah Imam al-Ghazali,
beliau dikenal sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang
membawa pembaharu terhadap tafsiran ajaran-ajaran Islam, dan yang berkenaan
dengan kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersandar
Islam, kemudian mendapat gelar “Hujjatul Islam” karena banyak melakukan
pembelaan terhadap Islam.
pendidikan
adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan
sebagai media untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt. Dengan itulah,
pendidikan menurut al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana kemashlahatan
untuk membina umat. Disamping meningkatkan karirnya sebagai filosof dan ahli
agama, Imam al-Ghazali juga sebagai reformer masyarakat. Demikianlah,
al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan reformer
mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J
Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat itu
hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.
Sisi
pendidikan yang menarik perhatian dalam studi al-Ghazali adalah sikapnya yang
sangat mengutamakan ilmu dan pengajaran, kekuatan pendiriannya dalam
mempertahankan pengajaran yang benar sebagai jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ini beliau
telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya pada guru yang
dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik.
Mengenai keutamaan mencari ilmu, beliau berkata dalam kitab “Fatihatul Ulum”,
sebagai berikut : “………..Kesempurnaan umat manusia dalam mendekatkan diri kepada
Allah swt. hanya dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu,
selama ilmunya banyak lagi sempurna, maka dia dekat dengan Allah swt. dan dia
lebih mirip seperti malaikat-malaikatNya”
Al-Ghazali
termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatiannya yang besar
terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak
kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Menurut H.M. Arifin (Guru besar dalam
dalam bidang pendidikan), mengatakan bila dipandang dari segi filosofis,
al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama
sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al-Ghazali lebih
cenderung berpaham empirisme.
Hal
ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua
dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata
yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Al-Ghazali
mengatakan, jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak
itu menjadi baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang
jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Sisi
teoritis dari pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang mana
al-Ghazali menawarkan ide-ide yang cukup mendetail tentang bagaimana manusia
memperoleh pengetahuan, nilai ilmu pengetahuan dan kemudian menawarkan
klasifikasi ilmu pengetahuan. Dalam sisi ini, al-Ghazali melihat ilmu
pengetahuan dari berbagai sudut; nilai intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai
sosialnya.
Segi
praktis dari pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan murid.
Diskusinya tentang guru dan murid mencakup berbagai kewajiban bagi kedua belah
pihak, yang menurut al-Ghazali akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan
Islam. Bagi al-Ghazali, tujuan akhir pendidikan adalah hari akhirat,
sebagaimana halnya hari akhirat juga merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat
manusia. Konsekuensinya adalah bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju
tercapainya tujuan akhir.
Insan
purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt., bukan untuk mencari
kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan
uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri
kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Hal
ini mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa Qana`ah (merasa
cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada
kehidupan dunia.
Sarana yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam hal ini, al-Ghazali memandang bahwa
dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut
dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Tujuan pendidikan al-Ghazali tidak
sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia ini hanya sebagai alat .
Akhir kehidupan beliau dihabiskan
dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam
Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu
singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan
kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan
kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita
Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan
shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan
menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan
taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan
menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi
hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat
di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan
dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
No comments:
Post a Comment