Wednesday, 23 December 2015

Corak Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan



Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Nama lengkap Imam al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di kota Thusia, salah satu kota di negeri Khurosan,  Persia, pada tahun 450 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1058 Masehi.
 Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
 Sebagai makluk agung ciptaan Allah swt., manusia telah dikaruniai kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniyah dan jasmaniyah. Agar dengannya, mereka mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya. Kemampuan dasar tersebut dalam sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang.
Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling berpacu, maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikatakan, pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup sepanjang sejarah.
Diantara pakar yang menaruh perhatian yang besar akan penyebarluasan ilmu dan pendidikan adalah Imam al-Ghazali, beliau dikenal sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa pembaharu terhadap tafsiran ajaran-ajaran Islam, dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersandar Islam, kemudian mendapat gelar “Hujjatul Islam” karena banyak melakukan pembelaan terhadap Islam.
pendidikan adalah sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt. Dengan itulah, pendidikan menurut al-Ghazali adalah suatu ibadah dan sarana kemashlahatan untuk membina umat. Disamping meningkatkan karirnya sebagai filosof dan ahli agama, Imam al-Ghazali juga sebagai reformer masyarakat. Demikianlah, al-Ghazali berdiri dalam satu barisan bersama para filosof dan reformer mayarakat (Sosiolog) sejajarnya yang dikenal sejarah, seperti Plato, J.J Rousseau dan Pestalozzi yang juga berkeyakinan bahwa perbaikan masyarakat itu hanya dapat dijangkau melalui pendidikan.
Sisi pendidikan yang menarik perhatian dalam studi al-Ghazali adalah sikapnya yang sangat mengutamakan ilmu dan pengajaran, kekuatan pendiriannya dalam mempertahankan pengajaran yang benar sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ini beliau telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya pada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang baik. Mengenai keutamaan mencari ilmu, beliau berkata dalam kitab “Fatihatul Ulum”, sebagai berikut : “………..Kesempurnaan umat manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dihampiri oleh ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, selama ilmunya banyak lagi sempurna, maka dia dekat dengan Allah swt. dan dia lebih mirip seperti malaikat-malaikatNya”
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatiannya yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Menurut H.M. Arifin (Guru besar dalam dalam bidang pendidikan), mengatakan bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme.
Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Al-Ghazali mengatakan, jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Sisi teoritis dari pemikiran ini terfokus pada konsep pengetahuan, yang mana al-Ghazali menawarkan ide-ide yang cukup mendetail tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, nilai ilmu pengetahuan dan kemudian menawarkan klasifikasi ilmu pengetahuan. Dalam sisi ini, al-Ghazali melihat ilmu pengetahuan dari berbagai sudut; nilai intrinsiknya, nilai etisnya dan nilai sosialnya.
Segi praktis dari pemikiran ini terpusat pada pola hubungan guru dengan murid. Diskusinya tentang guru dan murid mencakup berbagai kewajiban bagi kedua belah pihak, yang menurut al-Ghazali akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan Islam. Bagi al-Ghazali, tujuan akhir pendidikan adalah hari akhirat, sebagaimana halnya hari akhirat juga merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat manusia. Konsekuensinya adalah bahwa keseluruhan proses pendidikan harus menuju tercapainya tujuan akhir.    
Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt., bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Hal ini mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa Qana`ah (merasa cukup dengan yang ada) dan banyak memikirkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia.
Sarana yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dalam hal ini, al-Ghazali memandang bahwa dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Tujuan pendidikan al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia ini hanya sebagai alat .
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).



No comments: