Sunday 20 December 2015

Pendidikan Pesantren Dan Masa Depan Kebudayaan Masyarakat

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[1] Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[2] Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya seiring dengan kebutuhan masyarakat yang dipengaruhi kebudayaan modern.
Usaha da’wah sebagai sebuah setrategi pertama yang jalankan pada masa pewalian (wali songo) pada masyarakat umum adalah dengan asimilasi Pendidikan yaitu dengan pengembangan pendidikan model dukuh, asrama dan padepokan dalam bentuk pesantren sebagai pengambil alih sistem biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu mengajar dan belajar.[3] Dari situ dapat kita ketahui bahwa kebutuhan masyarat yang terpenting adalah transformasi ilmu dan pengetahuan tanpa merobah tatanan kebiasaan sosial masyarakat sekalipun jelas adanya perobahan nilai dalam kajian yang dilakukan wali. Dari muatan nilai pendidikan yang dilakukan pada masa pewalian tersebut, secara sikap / kebiasaan masyarakat secara sosial atau kebudayaan tidaklah berbeda namun secara paradigma atau cara pandang masyarakat mengenai nilai keagamaan sangat dipengarui oleh sistem yang diajarkan pada pondok pesantren.
Seiring dengan pergeseran gaya hidup masyarakat, pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat mewarnai kebudayaan masyarakat sekaligus baik dalam lingkup budaya sosial maupun budaya politik tentu tidak perlu adanya dikotomi / pembatasan kajian sebab hal tersebut hanya akan membuat lemah cara berfikir komponen yang ada didalamnya padahal kebutuhan, kebudayaan dan cara berfikir masyarakat terus berkembang dan tidak bisa dibendung. Mengingat kembali bahwa pendidikan pesantren sebagi penentu masa depan kebudayaan masyarakat, maka pendidikan di pesantren harus jeli dalam mensinergikan nilai kajian Islam dengan perkembangan kebudayaan dimasyarakat supaya melahirkan kebijakan baru yang tidak bersebrangan dengan perkembangan nilai sosial dimasyarakat.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang sejak awal memang tidak dibatasi dalam mengkaji keilmuan sebab menjawab kebutuhan masyarakat, baik dari segi ilmu Agama, ekonomi, maupun perkembangan budaya dan sosial sehingga sangat kental dalam menentukan corak perkembangan gaya hidup masyarakat. Ada tiga pola hubungan pesantren dan masyarakat yang sangat setrategis dalam menentukan gaya hidup masyarakat yaitu : (I) Pesantren sebagai guru bagi masyarakat, (II) Pesantren dan masyarakat sama-sama belajar (III) pesantren diperkaya oleh masyarakat sebagai mitra belajar bersamanya.[4] dari tiga pola hubungan tersebut sangat tercermin kelenturan sikap dan kebijakan pesantren dalam bersinergi dengan arus kebutuhan masyarakat yang mana pesantren sebagai subjek pendidikan tidak selamanya menjadi subjek dan masyarakatpun demikian yang dipengaruhi oleh bahan pembelajaran.
Jalur peradaban selama ini yang berkembang dimasyarakat tidak bisa dipungkiri oleh adanya pendidikan pesantren dan segala perkembangannya. Sedikit potret perpolitikan di Indonesia, baik pada skala lokal maupun nasional, tokoh-tokoh masyarakat yang secara tidak disadari sebagai “kiblat” kebijakan politik lebih berani bersikap untuk menentukan sebuah tindakan alternatif yang tepat sasaran sehingga menjadi bagian yang bersinggungan langsung mengurusi kebutuhan masyarakat. Pada potret tersebut kita dapat belajar, entah bagaimanapun ketika berbicara masalah politik khususnya di Indonesia tidak mungkin jika tidak dibatasi oleh lingkupnya masing-masing sebab hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk bersikap “dzon” pada tokohnya akan tetapi ketika norma pesantren yang dijalankan sudah tidak lagi menjadi buah kebimbangan masyarakat terhadap sebuah tindakan yang sama-sama memiliki tujuan untuk menentukan arah masyarakat kedepan.
Kebudayaan masyarakat yang cenderung berubah adalah masalah teknologi dan keilmuan. Pada dimensi global yang mana sangat dirasa dalam mempengaruhi kebudayaan masyarakat sudah barang tentu pendidikan Pesantren harus mampu berperan mengendalikan tekhnologi dan keilmuan sekaligus mampu melahirkan bentuk baru pada dua hal tersebut sebagai sebuah keterbukaan dan kesiapan dalam persaingan global yang muncul ditengah kebudayaan masyarakat. Dengan melihat kenyataan tersebut, hal yang dapat diterapkan dalam intrakulikuler pesantren salah satunya adalah tekhnologi atau keilmuan yang dibutuhkan masyarakat kususnya pada wilayah yang terkait kesejahteraan masyarakat supaya tatanam kebudayaan masyarakat kedepan tetap mandiri dan tidak terbawa pada arah konsumtif. Pesantren sebenarnya adalah kemandirian masyarakat. Kemandirian itu baru akan meningkat kalau pendapatan masyarakat meningkat.[5] Sebagai tolak ukur kemajuan kebudayaan masyarakat yang terpenting adalah terpenuhinya urusan fundamental masyarakat yaitu urusan perekonomian supaya masyarakat tidak “membabi buta” dalam bersikap dan bersinergi. Dengan sikap tersebut pada sistem pendidikan pesantren maka efek balik yang nantinya muncul adalah terciptanya kebudayaan mandiri ditengah masyarakat, masyarakat secara struktur lebih mengutamakan sistem pendidikan pesantren dan pesantren dapat menentukan beragam corak kebudayaan masyarakat.
  



[1] Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal. 3
[2] Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
[3] Sunyoto Agus, Atlas Wali Songo, (Depok : Pustaka IIMaN, 2012), hal. 128
[4] Dian Nafi’. M, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 113
[5] Jusuf Kalla, Muhammad, Membangun Bangsa Dengan Kultur Pesantren, (Jakarta : FOCUS Gramedia, 2009), hlm. 84

No comments: