BAB I
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran.
Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan
menggunakan korespondensi,
koherensi, pragmatis, religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman
yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran
rasional, sehingga kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dianggap dapat
dimengerti dan benar hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur
terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah
pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Dalam filsafat pengkajian tentang standar
kebenaran amat penting sebab salah satu definisi filsafat adalah cinta terhadap
kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani sangat kagum terhadap Plato yang memang
gurunya namun dia lebih mencintai kebenaran ketimbang mencntai plato. Begitu
juga Al-Ghozali yang serius mencari kebenaran hingga dia mengeluarkan
pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang paling benar dari semua aliran itu.
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi
pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan
tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan namun guna kepentingan
keilmuan religious (dalam hal ini Islam) maka
dalam pembahasan ini juga dipadukan dengan teori kebenaran yang berifat illahiyyah.
Untuk
mempermudah dalam pembahasan, maka penulis membatasi dalam pembahasan melalu
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa pengertian teori
kebenaran ?
2.
Bagai mana proses menentukan
kebenaran ?
3.
Sampai sejauh mana ruang
lingkup kebenaran ?
4.
Apakah semua teori kebenaran
sebagai teori harga mati ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebenaran Korespondensi
Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau
pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau
suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta.[1] Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada
yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden.
Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum
abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan
yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau
dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi
objek.
Dalam teori
kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau
objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang
sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
Dalam teori ini terdapat
tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
1. Teori korespondensi
memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana
kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan
seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari
suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
2. Teori korespondensi
bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat
setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan
realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya?
Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
3. Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan,
atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah
kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan
kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran
koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi
atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap
kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai
realitas yang ada dan cermat.
B.
Kebenaran Koherensi
Koherensi merupakan
pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu
untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.[2]
Teori kebenaran koherensi
ini digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya
tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan
teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu
pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.[3]
Seorang sarjana
Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan
tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal
tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan
terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari
pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat
ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa
saja.
Teori ini punya
banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem
yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran
tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi
juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu
pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang
terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah
yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a. Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara
otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren
juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara
pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak
pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran,
jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang
yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan
dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b. Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan
realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara
semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun
ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan
dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya
rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.
C.
Kebenaran Pragmatis
Teori
pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of
truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat
dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh
seorang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut
filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori
semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia.
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis.
Teori ini pada
dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi
proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan.
Satu-satunya
yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan
dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau
“fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya
kebenaran yang tetap atau mutlak.
D.
Kebenaran Religious
Berpendirian
bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang
bersumber dari tuhan, kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan
semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia
juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur
dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa
menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu
kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[4]
Dalam teori tentang kebenaran religious ini, penulis mempersempit
pambahasan hanya pada agama yang penulis anut, yaitu Islam. Pemahaman tentang kebenaran dalam
pandangan Islam adalah percaya dan meyakini terhadap apa yang diNashkan oleh
Allah dalam Kitab sucinya dan mempercayai terhadap sada Rosulullah untuk
dijadikan sebagai pegangan hidup dengan tujuan selamat dunia dan akhirat.
Kebenaran religious menjadi sebagai sebuah kebenaran yang mutlak untuk tiap
penganutnya sekalipun dalam tiap kitab suci dan sabda yang dijadikan pedoman
dalam teori kebenaran memiliki perbedaan pemahaman, tafsir, pendapat sebab
kebenaran disini tidak hanya diperuntukan untuk kepentingan kelompok (bersifat universal)
maka perlu adanya mujtahidin untuk membahasakannya supaya tidak menjadikan
kebenaran sebagai sumber konflik.
Dr. M.J. Langeveld dalam bukunya berjudul” Menuju ke Pemikiran Filsafat”
mengemukakan bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan
obyek yang dijurusi . Olehnya
kemudian diuraikan beberapa teori yag menginterpretasikan “hubungan” itu:
1.
Realisme
Naïf (Naïve Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran dan
obyek.
2.
Imanen
(Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk oleh
pemikiran, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya dengan
obyek yang sebenarnya.
3.
Transenden
(Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran pemikiran
dengan “benda yang sebenarnya.”
4.
Transcendental
(Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran dengan
bentuk-bentuk transendental dan sekunder .
E.
Kebenaran Sintaksis
Teori
sintaksis berkembang diantara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu
ketat terhadap pemakaian gramatika. Teori ini digunakan untuk
melogikakan/menjabarkan muatan-muatan bahasa. Teori ini sebagai upaya terbaik
dalam sebuah bahasa pada permasalahan rumit maupun abstrak dalam kajian ilmiah
menyangkut kebahasaan.
Bahasa
memberikan kemampuan yang sangat teratur dan sistematis dalam berfikir sehingga
dalam symbol-simbolnya diperlukan pemikiran.[5] Dalam pernyataan tersebut dapat diartikan
bahwa dalam teori tentang kebenaran sintaksi dibatasi pada kebenaran kebahasaan
atau susunan kalimat/pernyataan/tulisan/penglisanan baik dalam wilayah ilmiah
maupun komunikasi antar manusia.
Simbol-simbol
kebahasaan merupakan bagian penting dalam sebuah komunikasi maka perlu adanya
susunan yang jelas agar tidak mengakibatkan salah paham antara pengucap/penulis
dengan pendengar/pembaca. Dalam artian lain untuk menghindari hal tersebut maka
kebenaran sintaksis dapat membenarkan tentang pengetahuan kalimat; tata
kalimat.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal.
Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang
terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan
sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris
memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu
itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak
langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan
ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu
makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian
manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek
yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi potensi subyek apriori
tersedia sesuai dengan materi dan tingkat kebenaran yang ada di dalam alam
semesta dan metafisis.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri [2004] Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer],
Jakarta : Yayasan Sinar Harapan
W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka
No comments:
Post a Comment