Thursday 27 September 2012

RIYA DALAM PANDANGAN TASAWWUF


ÉOó¡Î0   «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#

BAB I
PENDAHULUAN

Riya’ merupakan sebuah virus dan bibit penyakit sebagai tesa dari sebuah ibadah. Keberadaan Riya’ ini tidak begitu tampak seperti penyakit lain yang menempel / melekat pada jazad. Riya’  juga dapat diartikan sebagai benalu yang mana akan memakan sel-sel ibadah pada tubuh manusia sehingga ketika sel-sel ibadah pada manusia sudah terkikis-habis oleh benalu Riya’ maka orang tersebut akan mengalami kerapuhan dalam menghambakan diri kepada Allah S.W.T.
Seseorang ketika amal ibadahnya sudah tidak lagi terfokus kepada Allah S.W.T maka amalan tersebut tidak akan membuahkan pahala. Hal ini berarti amalan ibadah seseorang akan sia-sia sebah yang seharusnya tertuju malahan tidak menilai atau menghargai sebagai sebuah amalan ibadah.
Dalam pembahasan makalah ini akan disinggung tentang Riya’, Akan tetapi penulis membatasinya dengan beberapa pembahasan sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a.       Apa Pengertian Riya’ ?
b.      Apa saja sebab dan Ciri-ciri Riya’ ?
c.       Bagaimana Islam dalam memandang Riya’  ?
d.      Bagaimana Mengobati Penyakit Riya’ ?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Riya’
Kata Riya  berasal dari kata ru’yah yang artinya melihat.[1] Berlaku atau berbuat Riya’  artinya menampakkan amal saleh supaya dilihat manusia. Arti ini antara lain,terdapat dalam firman Allah SWT :

tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ
“Orang-orang yang berbuat Riya’’,[2]

Perilaku Riya’ dalam surat tersebut, diterangkan bahwa melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.[3] Amalan-amalan yang dilakukan tidaklah ditujukan kepada Allah S.W.T. yang pada intinya perilaku Riya’sangat bertentangan dengan konsep ash-Shomad / shomadiyyah  sebagaimana dalam surat al-Ikhlas.
Sebagaimana dalam pendahuluan diatas, disebutkan bahwa Riya’merupakan virus, bibit penyakit, tesa Ibadah maupun benalu, maka pengertian  secara sederhana Riya’ dapat diartikan dengan penghalang amal ibadah kepada Allah. Hal ini berarti ketika sesuatu amal ibadah seseorang dikemas dan termotivasi karena Riya’ maka amalan tersebut akan tidak sampai kepada Allah.
Perlu kita ketahui bahwa letak penyakit ini secara humanistic sangatlah halus / tidak terlihat secara kasap mata dan tidak pula ada peraturan hukum buatan manusia yang dapat mengadilinya. akan tetapi Hukum Allah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqoroh : 284 berbunyi :

°! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 bÎ)ur (#rßö7è? $tB þÎû öNà6Å¡àÿRr& ÷rr& çnqàÿ÷è? Nä3ö7Å$yÛムÏmÎ/ ª!$# ( ãÏÿøóusù `yJÏ9 âä!$t±o Ü>Éjyèãƒur `tB âä!$t±o 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs%

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari ayat tersebut diatas, kita dapat simpulkan bahwa Riya’itu letaknya ada dalam hati sekalipun juga dapat tunjukkan secara langsung oleh seseorang dengan simbol lisan maupun amalan yang dapat didengar maupun dilihat. Wilayah ini bagi Allah tidaklah menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihukumi atau diperhitungkan dan Allah sangat berkehendak atas perhitungannya.

B.     Sebab dan Ciri-ciri Riya’
Sebelum terujud adanya sifat Riya’ tentunya ada sesuatu hal yang menjadi penyebab dan dari penyebab tersebut akan terlihat ciri-ciri yang nantinya akan bisa mengidentifikasi perangai tersebut. Adapun sebab dan ciri-cirinya adalah sebagai berikut :


1.      Sebab-sebab Riya’
Hal penting yang perlu kita ketahui dalam masalah Riya’’ adalah sebab-sebab yang bisa menjatuhkan diri kita dalam penyakit ini. Di antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut.
a.       Lingkungan Keluarga.[4]
Keluarga merupakan tempat di mana anggota-anggotanya berinteraksi secara intens sehingga yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Apabila seseorang hidup dalam sebuah keluarga yang kental dengan tampilan-tampilan Riya’’, maka sulit untuk tidak jatuh pada penyakit ini, terlebih anak-anak yang punya kecenderungan untuk mengikuti orang tua. Maka, langkah strategis yang harus dilakukan orang tua adalah memperdalam ajaran Islam sehingga sang anak akan mampu membentengi dan memproteksi dirinya dari Riya’.
b.      Pengaruh Teman.[5]
Sebagaimana keluarga mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi putih hitamnya perilaku kita, teman pun demikian, sehingga Allah SWT senantiasa menganjurkan kepada kita agar kita mencari dan menjadikan orang-orang yang saleh sebagai mitra kita atau teman dalam bergaul kita. Allah telah menggambarkan sebuah penyesalan hambanya yang salah dalam berinteraksi. Allah SWT berfirman dalam surat al-Furqon : 28 yaitu :
4ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ÓÍ_tFøs9 óOs9 õσªBr& $ºRŸxèù WxŠÎ=yz         
Kecelakaan besarlah bagiKu; kiranya Aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku).
Yang dimaksud dengan si Fulan, ialah syaitan atau orang yang Telah menyesatkannya di dunia.
c.       Tidak mengenal Allah SWT dengan baik.
Ketidaktahuan seseorang akan kedudukan keagungan Allah SWT dan kebesaran-Nya akan menghantarkan pada tampilan sikap dalam beribadah kepada Allah SWT. Maka, mengenal Allah merupakan hal yang urgen sekali oleh karena dengan cara itulah kita akan terjaga dari kesalahan-kesalahan dalam beribadah kepada Allah, termasuk munculnya penyakit Riya’.
d.      Keinginan yang berlebihan untuk menjadi pemimpin atau meraih jabatan dan kedudukan.
Tidak hanya masalah agama saja yang bisa terjangkit penyakit Riya’. Urusan duniawi yang sangat memerlukan pencitraan terhadap seseorang seringkali memerlukan sifat Riya’’ sebagai pemanis rasa supaya adanya perhatian baik yang diperoleh melalui media narsis maupun ekspresi sensasi.
e.       Ketamakan kepada harta.
Harta bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang memiliki multi sifat. Selain dapat bersifat penting, harta juga dapat bermakna pokok dan juga makna maupun sifat yang lain. Memunculkan / memperlihatkan harta sering kali sebagai tolak ukur kaya atau miskin.
Semisal ketika seseorang bersikukuh membawa sajadah yang bagus dan mahal pasti orang lain akan menilai bahwa  orang tersebut adalah kaya sedangkan masalah ibadah orang yang membawa sajadah tersebut tidak disinggung sedikitpun dan orang yang membawa sajadah tersebutpun kurang mengedepankan fungsi utama dari benda yang dibawanya.
f.       Kekaguman yang berlebihan dari orang lain.
Kekaguman yang berlebihan dari orang lain manakala tidak dikelola dengan baik bisa menjadikan orang yang dikagumi membusungkan dadanya dan lupa kepada Allah SWT sehingga timbullah sikap Riya’. Penyebabnya, ia akan senantiasa mencari celah agar sikap, perilaku, dan ibadahnya senantiasa mendapat  sanjungan orang lain.
g.      Kekhawatiran penilaian yang kurang menyenangkan dari orang lain.
Dalam hal ini sebab yang muncul karena adanya kebutuhan terhadap penilaian dari orang. Seseorang melakukan aktifitas secara maksimal karena takut adanya penilaian negatif dari orang lain karena untuk mengejar nilai imej.
Dari ketujuh hal tersebut,  merupakan benih-benih munculnya ciri-ciri Riya’  baik karena pengaruh yang berhubungan dengan lingkungan, karena kurang memahami Nilai-nilai agama maupun tumbuh karena unsur perasan.
2.      Ciri-ciri Riya’
Pengetahuan kita tentang ciri-ciri orang yang mempunyai sifat Riya’ merupakan hal penting oleh karena kita akan melakukan penyikapan-penyikapan yang jelas terhadap mereka yang terkena penyakit ini. Minimal ada tiga ciri dasar dari orang yang mempunyai sifat Riya’:
a.    Munculnya keseriusan dan giat dalam bekerja manakala mendapat pujian dan sanjungan, dan akan malas manakala tidak ada pujian, bahkan meninggalkan pekerjaannya manakala dicela oleh orang lain;
b.    Tampilnya profesionalisme kerja manakala dia bekerja secara kolektif, dan apabila bekerja secara individu yang muncul adalah kemalasan yang sangat;
c.    Konsisten di dalam menjaga batasan-batasan Allah SWT apabila bersama orang lain, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran manakala dia sendirian.

C.    Islam memandang bahaya Riya’ .
Didalam Al Qur’an dan As Sunnah banyak sekali ancaman tentang bahaya Riya’. Riya’ termasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap diri, amal, masyarakat dan umat dan juga termasuk dosa besar yang merusak. diantara bahaya Riya’ adalah :
1.    Riya’ lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada fitnah Masih Al Dajjal, Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang tersembunyi disisiku atas kalian daripada Masih Ad Dajjal yaitu syirkul khafi, yaitu seseorang sholat, lalu ia menghiasi (memperindah) sholatnya, karena ada orang-orang memperhatikan sholatnya.” [6]
2.    Riya’ lebih sangat merusak daripada srigala menyergap domba,
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda” Tidaklah dua ekor srigala yang lapar dan dilepaskan di tengah sekumpulan domba lebih merusak daripada ketamakan seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.”[7]
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam memberikan permisalan rusaknya agama seorang muslim karena tamaknya kepada harta, kemuliaan, pangkat dan kedudukan. Semua ini menggerakkan riya’ didalam diri seseorang.
3.    Riya’ adalah syirik khafi (tersembunyi), Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” maukan aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih tersembunyi disisiku terhadap kalian daripada masih Ad Dajjal? yaitu syirik khafi, seseorang sholat, lalu ia memperindah sholatnya karena ada orang yang memperhatikannya.”[8]
4.    Riya’ mewariskan kehinaan dan kerendahan, Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” Barangsiapa beramal dan memperdengarkannya kepada orng lain (agar orang tahu amalnya),maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hambaNya, Allah rendahkan dia dan menginakannya.”
5.    Riya’ akan menambah kesesatan seseorang pelakunya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sadar. dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” [QS Al Baqoroh 9-10].

D.    Mengobati Penyakit Riya’
Islam adalah agama yang solutif sehingga tatkala Riya’ yang merupakan rival keikhlasan, yang dapat membatalkan nilai ibadah dan amal-amal kita, Islam tidak membiarkan begitu saja tanpa adanya solusi atau terapi untuk memproteksi diri kita dari sifat yang berbahaya ini. Berikut ini adalah terapi sifat Riya’ diantaranya adalah :[9]
1.      Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata'ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata'ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata'ala?. Bukankah Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam surat ali Imran : 29 bahwa :"Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya", …" (Ali Imran: 29)
2.      Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat Riya’' sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su'ul khatimah (jelek akhirnya).
3.      Banyak berdo'a dan merasa takut dari perbuatan Riya’'.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do'a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy'ari bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: "Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam :" Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه

"Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya."
4.      Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut Riya’'. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila Riya’' itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa.[10] untuk menghormati jamuan tuan rumah.


BAB III
KESIMPULAN
Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama'. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka namun kita masih bisa masih ada kesempatan untuk lari dari takdir yang mempengaruhi kita untuk menuju takdir lain supaya kita bisa sedikit menepis Riya’ dari berbagai pengaruh yang ada karena kita terlahir tentunya tidak mungkin terlepas dari adanya unsur keluarga, kemudian berproses bersama teman yang didalamnya ada benih terbentuknya mental Riya’.
Sebab dan ciri-ciri Riya’ seagai mana tertulis diatas dapat kita ketahui bahwa munculnya hal tersebut selain dapat muncul karena pengaruh internal  (karena adanya perasaan yang tumbuh dari diri sendiri) dengan artian tidak adanya pengaruh dari orang lain melainkan karena kebutuhan juga adanya faktor eksternal yang mempengaruhi tingkatan perasaan setiap individu.
Kedudukan Riya’ dalam Islam sangat dipandang bahaya bagi kaum muslimin bahkan Masih Al Dajjal dijadikan perbandingan terhadap Riya’. Sekalipun ini merapakan penyakit yang dapat merusak amal ibadah akan tetapi ini masih bisa diobati yang tentunya sesuai dengan resep dalam al-Quran maupun al-Hadits.
Sekian makalah ini kami tulis, semoga berbagai aktifitas yang kita lakukan tidak ada sedikitpun unsur Riya’.



DAFTAR PUSTAKA


Alex Sobur, Psikologi Umum,  (Bandung : Pustaka Setia: 2003),

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. ALWAAH),

HR Ibnu Majah 4204, dari hadits Abu Sa’id Al Khudri, hadits ini  hasan -Shahih At Targhib wat Tarhib no 27

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo),
.
Maftuh Ahnan,  Menghindari Bahaya Riya’’’, (Surabaya : Delta Press, 2011)

HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)

http://al-aisar.com/content/view/123/414/



[1].  http://www.scribd.com/doc/38546616/Pengertian-Riya’’
[2]. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. ALWAAH), hal. 348.
[3] . ibid
[4]. Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo), hal. 5.
[5].  Alex Sobur, Psikologi Umum,  (Bandung : Pustaka Setia: 2003), hal. 181.
[6] [HR Ibnu Majah 4204, dari hadits Abu Sa’id Al Khudri, hadits ini  hasan -Shahih At Targhib wat Tarhib no 27].
[7] [HSR Ahmad 3/456, Tirmidzi, darimi 2/304 dari Ka’ab bin Malik].
[8] http://al-aisar.com/content/view/123/414/
[9] Maftuh Ahnan,  Menghindari Bahaya Riya’’’, (Surabaya : Delta Press, 2011) hlm. 85
[10] (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib)

No comments: