Wednesday 26 September 2012

TEORI TENTANG KEBENARAN (Korespondensi, Koherensi, Pragmatis, Religious, dan Sintaksis)


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan korespondensi, koherensi, pragmatis, religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dianggap dapat dimengerti dan benar hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting sebab salah satu definisi filsafat adalah cinta terhadap kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani sangat kagum terhadap Plato yang memang gurunya namun dia lebih mencintai kebenaran ketimbang mencntai plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari kebenaran hingga dia mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang paling benar dari semua aliran itu.
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan namun guna kepentingan keilmuan religious (dalam hal ini Islam) maka dalam pembahasan ini juga dipadukan dengan teori kebenaran yang berifat illahiyyah.
Untuk mempermudah dalam pembahasan, maka penulis membatasi dalam pembahasan melalu pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apa pengertian teori kebenaran ?
2.      Bagai mana proses menentukan kebenaran ?
3.      Sampai sejauh mana ruang lingkup kebenaran ?
4.      Apakah semua teori kebenaran sebagai teori harga mati ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kebenaran Korespondensi  
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.[1] Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi objek.
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
1.      Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
2.      Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
3.      Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.

B.     Kebenaran Koherensi
Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.[2]
Teori kebenaran koherensi ini digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.[3]
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a.       Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b.      Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.

C.    Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma,  artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

D.    Kebenaran Religious
Berpendirian bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang bersumber dari tuhan, kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[4]
Dalam teori tentang kebenaran religious ini, penulis mempersempit pambahasan hanya pada agama yang penulis anut, yaitu  Islam. Pemahaman tentang kebenaran dalam pandangan Islam adalah percaya dan meyakini terhadap apa yang diNashkan oleh Allah dalam Kitab sucinya dan mempercayai terhadap sada Rosulullah untuk dijadikan sebagai pegangan hidup dengan tujuan selamat dunia dan akhirat.
Kebenaran religious menjadi sebagai sebuah kebenaran yang mutlak untuk tiap penganutnya sekalipun dalam tiap kitab suci dan sabda yang dijadikan pedoman dalam teori kebenaran memiliki perbedaan pemahaman, tafsir, pendapat sebab kebenaran disini tidak hanya diperuntukan untuk kepentingan kelompok (bersifat universal) maka perlu adanya mujtahidin untuk membahasakannya supaya tidak menjadikan kebenaran sebagai sumber konflik.   
Dr. M.J. Langeveld dalam bukunya berjudul” Menuju ke Pemikiran Filsafat” mengemukakan bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan obyek yang dijurusi . Olehnya kemudian diuraikan beberapa teori yag menginterpretasikan “hubungan” itu:
1.      Realisme Naïf (Naïve Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran dan obyek.
2.      Imanen (Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk oleh pemikiran, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya dengan obyek yang sebenarnya.
3.      Transenden (Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran pemikiran dengan “benda yang sebenarnya.”
4.      Transcendental (Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran dengan bentuk-bentuk transendental dan sekunder .

E.     Kebenaran Sintaksis
Teori sintaksis berkembang diantara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Teori ini digunakan untuk melogikakan/menjabarkan muatan-muatan bahasa. Teori ini sebagai upaya terbaik dalam sebuah bahasa pada permasalahan rumit maupun abstrak dalam kajian ilmiah menyangkut kebahasaan.
Bahasa memberikan kemampuan yang sangat teratur dan sistematis dalam berfikir sehingga dalam symbol-simbolnya diperlukan pemikiran.[5]  Dalam pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa dalam teori tentang kebenaran sintaksi dibatasi pada kebenaran kebahasaan atau susunan kalimat/pernyataan/tulisan/penglisanan baik dalam wilayah ilmiah maupun komunikasi antar manusia.
Simbol-simbol kebahasaan merupakan bagian penting dalam sebuah komunikasi maka perlu adanya susunan yang jelas agar tidak mengakibatkan salah paham antara pengucap/penulis dengan pendengar/pembaca. Dalam artian lain untuk menghindari hal tersebut maka kebenaran sintaksis dapat membenarkan tentang pengetahuan kalimat; tata kalimat.[6]

BAB III
KESIMPULAN

Kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi potensi subyek apriori tersedia sesuai dengan materi dan tingkat kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.




DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri [2004] Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer], Jakarta : Yayasan Sinar Harapan
W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka


[2]. ibid
[5] Jujun S. Suriasumantri, 2004, Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer], (Jakarta : Yayasan Sinar Harapan), hal. 173
[6] W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka) hal 951

No comments: