BAB I
PENDAHULUAN
INTELLECTUAL DEMOCRACY PARADIGMA PENDIDIKAN
ISLAM di ERA POSMODERN membawakan sebuah pemikiran pendidikan Islam yang mampu
bersikap humanis / Insaniyah sebagai bentuk pembebasan terhadap
perangkat-perangkat peradaban dalam kehidupan. Islam sebagai agama penyelamat
manusia dari kejahiliyahan ortodok maupun moderen harus bisa berperan cinta
kasih, rendah hati, penuh harapan, keyakinan yang tinggi akan tercapainya
derajat manusia yang luhur dan kritis terhadap sajian-sajian pendidikan.
Gerakan konstruktivistik terhadap permasalahan pembelajaran tidak
dapat dipisahkan dari pemikiran posmodern dalam memandang kehidupan di dunia.
Pemikiran posmodern ini termasuk dalam rumpun filsafat. Setidak-tidaknya Wilson
berupaya mengkalisifikasikan pandangan-pandangan filsafat tersebut menjadi tiga
yakni: pandangan kuno, pandangan modern dan pandangan posmodern
Pendidikan sebagai Ikhtiar menuju pendewasaan
peserta didik atau masyarakat yang lebih luas cangkupannya sehingga dapat
berproses secara maksimal dan mencapai titik temu cita-cita pendidikan yang
utuh, ringan dan ada dorongan untuk mengembangkan
sebagai bekal dalam kehidupan fana’ maupun kekal ini perlu adanya konsep untuk
dijadikan sebagai pondasi. Islam sebagi agama yang penganutnya tidak dibatasi
oleh wilayah, warna kulit, keturunan bahkan ajarannya pun tidak hanya untuk dan
dipelajari oleh pemeluknya saja ini berarti ruang lingkup Islam lebih luas
dalam wilayah pencerdasan manusia.
Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan
membahas tentang berbagai macam kinerja pendidikan Islam dalam menghadapi
wilayah sosial untuk memunculkan wajah humanis-nya. Untuk mempermudah
pembahasan maka penulis gunakan pertanyaan sebagai pembatasan bahasan. Adapun
pertanyaan sebagai batasan pemahasannya adalah :
1. Bagaimana humanisasi Islam dalam dunia pendidikan ?
2. Bagaimana peranan pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal ?
3. Seberapa besar pengaruh pendidikan Islam terhadap perubahan pendidikan ?
4. Apakah pendidikan Islam memproses Intellectual Democracy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Humanisme Pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dirancang untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai tujuan
kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan sumber daya
manusia dengan melalui proses pembelajaran baik di lembaga formal maupun non
formal.
Pendidikan secara utuh ditujukan kepada manusia dengan tujuan peningkatan
drajat baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad
S.A.W yang artinya :
“barang siapa
menghendaki dunuia maka dengan ilmu, barang siapa mengendaki akhirat maka
dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu.
Dari hadits tersebut dapat tercermin bahwa ilmu yang dihasilkan dari proses
pendidikan bukan hanya sekedar rutinitas untuk mengisi ruang lingkup kehidupan
saja atau hanya sekedar pemuas urusan duniawi agar manusia dapat mencapai
tingkatan yang diharapkan dalam satu urusan tersebut melaikan juga melebihi
batasan itu yang kemudian sampai pada drajat tinggi setelah selesai urusan
kehidupannya.
Kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan dalam pandangan Islam ini
merupakan bentuk Humanisme Islam untuk menyelamatkan kwalitas manusia
melalui wilayah pendidikan dalam wilayah kehidupan. Sedangkan nilai lain yang
tak kalah penting adalah sebagai media petunjuk dalam ibadah yang pada titik
finalnya untuk mendapatkan drajat mulia dihadapan Allah.
Bila kita amati bahwa manusia memiliki dua kecenderungan arah yang saling
berlawanan, maka disini peran Pendidikan Islam sangatlah penting sebagai
pembimbing supaya dua arah tersebut sejajar dan saling memanfaatkan sebagaimana
dalam surat al-Qoshas : 77 :
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù
9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# (
wur [Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB $u÷R9$# (
`Å¡ômr&ur
!$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) (
wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$#
Îû
ÇÚöF{$# (
¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”.[1]
Disinilah letak keseimbangan pendidikan Islam baik dalam lingkup akhirat
maupun sosial, Islam dalam pendidikannya lebih mengedepankan / menomor satukan
kebahagiaan lingkup negeri akhirat sebagaimana disebut dalam ayat tersebut dan
tidaklah menyukai kerusakan.
B. Pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal.
Dengan bersendikan pandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah
pengalihan budaya (cultural transmission) dari satu angkatan ke angkatan
yang lain dan pengembangan manusia (human development) maka selain
memperhatikan manusia sebagai objek dan subjek, pendidikan juga perlu
memperhatikan masukan-masukan eksternal (eksternal input) yang sangat
luas cakupannya, antara lain yang selama ini disebut kebudayaan.[2]
Islam sebagai agama samawi yang di-transfer ke wilayah yang bernama
dunia tentunya peradaban-peradaban tempat asal dengan tempat yang dituju
tidaklah sama persis apalagi wilayah duniapun antara satu sisi dengan sisi-sisi
yang lain tidaklah sama maka dari itu konsep / ajaran pendidikan Islam tidak
bisa disama ratakan akan tetapi toleransi yang tinggi baik dalam segi wacana /
pemikiran maupun ibadah / amaliyah harus dapat bijak kepada suhu budaya yang
ada dalam lingkungan yang tentunya tidak bersebragan dengan tujuan utama adanya
Islam.
Dalam dimensi kearifan lokal ini, pendidikan Islam dapat memanfaatkan media
yang terlahir dari wujud budaya, wujud budaya ini antara lain adalah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai,
norma-norma dan peraturan.
2. Wujud kebudayaan sebagi suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
Tiga wujud ini sebagai dasar adanya budaya maka pendidikan Islam mampu
masuk sebagai pemegang peran penting didalammnya supaya perilaku manusia dapat
terkendali oleh pendidikan Islam.
Adapun maksud dari tiga wujud tersebut yang harus dikendalikan adalah Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai, norma-norma
dan peraturan ini yang bersifat abstrak yang tak dapat diraba atau difotho ini
dapat dipengaruhi secara total oleh pendidikan Islam semisal penghormatan
terhadap arwah leluhur, ritual mengirim do’a kepada jenazah, do’a terhadap bayi
dalam kandungan dan bentuk abstrak lain yang pada awalnya bagian dari
kebudayaan warga bumi. Wujud ini
kemudian diarahkan dengan tujuan kelompok penganut kebudayaan dapat tertata
ide, gagasan, nilai, dan normanya sehingga sopan santun sesuai dengan
kepentingan yang tertata dalam pendidikan Islam.
Wujud kedua adalah Wujud kebudayaan sebagi suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat wujud yang kedua ini sering
disebut dengan tatanan sosial. Islam sebagai Rokhmatal lil ‘alamin harus
dapat mengarahkan manusia kepada tatanan sosial yang memiliki peradaban luhur
dalam budayanya dan dapat beradaptasi dengan perubahan zaman. Contoh dari wujud
kebudayaan ini salah satunya adalah penegakan nilai hukum. Penegakan nilai
hukum / keadilan di tengah masyarakat adalah dengan cara manusiawi.[4] Dalam sisi wujud ini Islam mampu menyajikan
pendidikan sebagai pengaruh budaya hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat
sehingga penerapan hukum dapat menerapkan konsep amar ma’ruf nahi munkar
sebagaimana dalam surat ali Imran : 110.
öNçGZä.
uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/ 3
öqs9ur ÆtB#uä
ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4
ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# .[5]
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Wujud yang ketiga adalah Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia atau kebudayaan fisik yang secara konkrit dapat dilihat, diraba dan di
photo. Kebudayaan fisik disini bukanlah nilai sesembahan tapi nilai artistik
atau simbol dari bentuk aktivitas manusia.
Benda-benda yang menjadi wujud ketiga ini kita sering jumpai pada sebuah
patung yang dijadikan hasan maupun maskot, logo, benda perabotan hasil produk
budaya. Pendidikan Islam disini harus mampu mewarnai produk tersebut sehingga
corak, penggunaan dan bahan bakunya bukan dari hal-hal yang dilarang oleh
Islam.
Dari ketiga dasar budaya inilah pendidikan Islam harus bisa menyusup
sehingga kebudayaan yang ada dalam masyarakat secara mutlak terpengaruh oleh
pendidikan Islam atau pendidikan Islam membentuk budaya baru yang dapat
diterima masyarakat tanpa adanya rasa keberatan.
C. Pendidikan Islam Sebagai Tulang Punggung Perubahan Pendidikan.
Dengan bergantinya zaman berganti pula peradaban, kebutuhan dan tingkah
laku manusia baik karena faktor alamiah maupun tuntutan. Pendidikan yang bagi
manusia merupakan sebuah kendali dalam bertingkah tidak bisa terpaku atau
monoton tanpa melihat kebutuhan manusia pada tatanan zaman yang sedang maupun
akan dialaminya oleh manusia.
Filosofi posmodern menekankan secara kontekstual konstruksi pemahaman
(meanings) dan mensahihkan berbagai perspektif
Landasannya adalah:
Landasannya adalah:
1. Pengetahuan dikonstruksi oleh manusia dan sekelompok/sejumlah manusia
2. Realitas adalah multi perspektif
3. Kebenaran diletakkan dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan
kemasyarakatan
4. Kehidupan adalah teks; pemikiran adalah interpretasi tindakan
5. Fakta dan nilai tidak dapat dipisahkan
6. Ilmu pengetahuan dan semua kegiatan kemanusiaan sangat mempunyai nilai dan berkaitan
Sajian Pendidikan dalam Islam sebagai pemeran utama dalam perubahan
pendidikan secara umum perlu dijalankan bukan hanya sekedar wacana belaka.
Konsep yang penting dan perlu diterapkan adalah pemahaman akan diri manusia itu
sendiri baik dalam nilai sosial maupun sebagai sosok hamba yang memiliki tujuan
jelas dan terencana.[6] Pendewasaan sebagai anggota masyarakat
peserta didik, masyarakat dalam artian negara maupun umat dalam artian agama harus betul betul
tercermin amalannya sesuai dengan zaman yang sedang dilewati dan wacananya
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rencana pembentukan peradaban yang akan
dilewati.
Pendidikan Islam sebagai Agen of change dalam pendidikan tentu
nilai-nilai demokrasi harus bisa dikembangkan namun dengan kadar positif dengan
menggunakan rambu-rambu demokrasi secara baku bukan demokrasi untuk kepentingan
sendiri. Kurikulum yang dijadikan sebagai peta-nya pendidikan juga harus
tertata rapi, terfokus dan tertuju pada satu titik tujuan yang jelas sesuai
kebutuhan yang ingin dicapai.
Jika kurikulum pendidikan Islam yang dijadikan peta tidak bisa tertata
rapi, terfokus dan tertuju maka hasil dari pendidikan Islam akan berakibat
acak-acakan, tidak sesuai harapan dan tidak pula tepat sasaran seperti dalam
wacana yang diidam-idamkan.
D. Pendidikan Islam dan Intellectual
Democracy Posmodern.
Demokrasi dalam dunia pendidikan Islam harus diajarkan namun muatan-muatan
yang disampaikan juga harus tidak bersebrangan apalagi keblabasan sehingga
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Setiap
individu dalam Islam melalui peranan pendidikannya haruslah dihormati baik itu
warga belajar maupun masyarakat. Adanya kritik seharusnya dapat dijaikan
koreksi dan pembangkit cara berfikir sedangkan problem-problem yang muncul
sendiri maupun dibuat-buat dapat diselesaikan / ada solusi yang humanis
sehingga pelaku yang ada didalamnya
tidak serta merta saling mencari sisi kesalahan.
Secara umum, bentuk pandangan Intellctual Democrasi Posmodern
merupakan sebuah analisis mendalam terhadap fenomena modernitas dengan segala
realitas yang melingkupinya sehingga kebebasan disini akan banyak lahir norma
kebenaran yang tidak hanya terlahir dari dunia pendidikan saja melainkan
berbagai unsur yang ada dalam ruang lingkup akal maupun masyarakat yang
mempengaruhinya.
Pada hakikatnya, pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan
jiwa. Maka dari itu pendidikan Islam dapat dijadikan filter
sehingga akal dan jiwa manusia tidak mudah rusak terkontaminasi oleh
keberadaan zaman yang diarunginya. Pasokan materi guna memenuhi kebutuhan Intellctual Democrasi Posmodern jangan sampai lepas dari al-Qur’an, al-Hadits
berikut ijma dan qiys supaya tidak salah pemaknaan.
Pendidikan Islam yang cenderung saat ini dipakai harus dapat memposisikan
diri untuk dijadikan kendali ketika demokrasi yang terlahir terlalu
berlebih-lebihan maka metode yang dijadikan alat Pendidikan Islam harus bisa
menggiring peserta didik pada wilayah yang teratur. Adapun metode yang perlu dalam Intellctual
Democrasi Posmodern :
1. Aktif, dialogis dan kritis.
Aktif, dialogis dan kritis disini tidak diperbolehkan dengan hal-hal yang
tidak sesuai dengan tatanan-tatanan yang ada dalam pondasi pokok ajaran Islam.
Seorang guru, murid maupun lainnya yang ada dalam masyarakat belajar
diperkenankan melakukan hal tersebut tapi harus tetap sadar diri akan adanya
rambu-rampu yang wajib di indahkan.
2. Mengubah isi program pendidikan ke arah yang menyadarka.
Tujuan pendidikan sebagai tujuan utama dalam pembentukan peradaban manusia
harus dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk manusia yang sadar diri,
baik sadar diri akan adanya perubahan zaman, kebutuhan maupun sadar diri akan
hakikat manusia dan tujuan hidup itu sendiri apa. Ketika pendidikan Islam tidak
bisa mejadikan manusia semakin sadar
diri sebagai makhluk sosial maupun hamba maka pendidian Islam tersebut hanya
akan sia-sia dan merugi
3. Pemilihan tema yang tepat.
Pemilihan tema yang tetap merupakan
hal yang tida kalah penting kaitannya dalam pendidikan. Islam melalui
pendidikannya harus dapat menyajikan tema yang tepat tujuannya supaya peradaban
manusia tidak salah arah dalam menentukan kiblatnya peradaban manusia.
Tema-tema yang digunakan harus bisa berperan positif bagi Islam maupun bagi
kepentingan peradaban manusia. Ketika hal tersebut tidak bisa berperan positif
makan pada akhirnya akan berbuah simalakama dan sama halnya mengantarkan
manusia pada zaman kebodohan.
BAB III
KESIMPULAN
Menyadari bahwa dalam memandang hubungan
antara manusia dengan manusia lain harus dilakukan secara demokratis supaya
tidak ada rasa kekangan antar satu pihak yang ada. Maka perlu adanya Pendidikan
Islam sebagai pengendali akan jalannya demokrasi supaya pemikiran-pemikiran
masyarakat pendidikikan atau umum bisa humanis sesuai pandangan Islam.
Sebagai bentuk humanisasi Islam dalam
dunia pendidikan memang perlu adanya kerja keras supaya bentuk-bentuk ajarannya
dapat dijadikan spirit / ghiroh menuju peradaban yang lebih maju.
Perlunya peranan pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal dapat dijadika
sebagai alat / media supaya produk-produk budaya dapat diwarnai oleh
keberagaman Islam yang tentunya tidak bisa lepas dari nilai-nilai humanisme.
Pengaruh pendidikan Islam terhadap perubahan
pendidikan tentunya mau dan mampu sebagai agen perubahan pendidikan supaya
Pendidika Islam hanya sebatas sebaga ma’mum dalam pembentukan peradaban
manusia. Kemudian pendidikan Islam dalam kaitannya memproses Intellectual
Democracy harus betul-betul dapat menentukan pandangan pemikiran masyarakat
belajar dengan maksud meningkatkan kwalitas yaitu dengan metode-metode yang
tertata bukan sekedar asal-asalan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Semarang: CV. ALWAAH),
Harits Hamam, Pluralitas Aswaja,
(Yogyakarta : abata, 2009),
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta :
Adicipta Karya Nusa, 2002),
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, cet 2 (bandung : alfabeta, 1995).
Zuhairini, 2006,
Sejarah Pendidikan Islam, Cet VI, (Bumi Aksaara : Jakarta)
[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Semarang: CV. ALWAAH),
[2]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Adicipta Karya
Nusa, 2002), hal. 1
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm 5
[4] Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam,
cet 2 (bandung : alfabeta, 1995), hal 265.
No comments:
Post a Comment