Thursday, 27 September 2012

INTELLECTUAL DEMOCRACY PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM di ERA POSMODERN


BAB I
PENDAHULUAN


INTELLECTUAL DEMOCRACY PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM di ERA POSMODERN membawakan sebuah pemikiran pendidikan Islam yang mampu bersikap humanis / Insaniyah sebagai bentuk pembebasan terhadap perangkat-perangkat peradaban dalam kehidupan. Islam sebagai agama penyelamat manusia dari kejahiliyahan ortodok maupun moderen harus bisa berperan cinta kasih, rendah hati, penuh harapan, keyakinan yang tinggi akan tercapainya derajat manusia yang luhur dan kritis terhadap sajian-sajian pendidikan.
Gerakan konstruktivistik terhadap permasalahan pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari pemikiran posmodern dalam memandang kehidupan di dunia. Pemikiran posmodern ini termasuk dalam rumpun filsafat. Setidak-tidaknya Wilson berupaya mengkalisifikasikan pandangan-pandangan filsafat tersebut menjadi tiga yakni: pandangan kuno, pandangan modern dan pandangan posmodern
Pendidikan sebagai Ikhtiar menuju pendewasaan peserta didik atau masyarakat yang lebih luas cangkupannya sehingga dapat berproses secara maksimal dan mencapai titik temu cita-cita pendidikan yang utuh, ringan  dan ada dorongan untuk mengembangkan sebagai bekal dalam kehidupan fana’ maupun kekal ini perlu adanya konsep untuk dijadikan sebagai pondasi. Islam sebagi agama yang penganutnya tidak dibatasi oleh wilayah, warna kulit, keturunan bahkan ajarannya pun tidak hanya untuk dan dipelajari oleh pemeluknya saja ini berarti ruang lingkup Islam lebih luas dalam wilayah pencerdasan manusia.
Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan membahas tentang berbagai macam kinerja pendidikan Islam dalam menghadapi wilayah sosial untuk memunculkan wajah humanis-nya. Untuk mempermudah pembahasan maka penulis gunakan pertanyaan sebagai pembatasan bahasan. Adapun pertanyaan sebagai batasan pemahasannya adalah :
1.      Bagaimana humanisasi Islam dalam dunia pendidikan ?
2.      Bagaimana peranan pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal ?
3.      Seberapa besar pengaruh pendidikan Islam terhadap perubahan pendidikan ?
4.      Apakah pendidikan Islam memproses Intellectual Democracy.
  




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Humanisme Pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai tujuan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia dengan melalui proses pembelajaran baik di lembaga formal maupun non formal.
Pendidikan secara utuh ditujukan kepada manusia dengan tujuan peningkatan drajat baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad S.A.W  yang artinya :

“barang siapa menghendaki dunuia maka dengan ilmu, barang siapa mengendaki akhirat maka dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu.

Dari hadits tersebut dapat tercermin bahwa ilmu yang dihasilkan dari proses pendidikan bukan hanya sekedar rutinitas untuk mengisi ruang lingkup kehidupan saja atau hanya sekedar pemuas urusan duniawi agar manusia dapat mencapai tingkatan yang diharapkan dalam satu urusan tersebut melaikan juga melebihi batasan itu yang kemudian sampai pada drajat tinggi setelah selesai urusan kehidupannya.
Kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan dalam pandangan Islam ini merupakan bentuk Humanisme Islam untuk menyelamatkan kwalitas manusia melalui wilayah pendidikan dalam wilayah kehidupan. Sedangkan nilai lain yang tak kalah penting adalah sebagai media petunjuk dalam ibadah yang pada titik finalnya untuk mendapatkan drajat mulia dihadapan Allah.
Bila kita amati bahwa manusia memiliki dua kecenderungan arah yang saling berlawanan, maka disini peran Pendidikan Islam sangatlah penting sebagai pembimbing supaya dua arah tersebut sejajar dan saling memanfaatkan sebagaimana dalam surat al-Qoshas : 77 :

Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”.[1]

Disinilah letak keseimbangan pendidikan Islam baik dalam lingkup akhirat maupun sosial, Islam dalam pendidikannya lebih mengedepankan / menomor satukan kebahagiaan lingkup negeri akhirat sebagaimana disebut dalam ayat tersebut dan tidaklah menyukai kerusakan.



B.     Pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal.
Dengan bersendikan pandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pengalihan budaya (cultural transmission) dari satu angkatan ke angkatan yang lain dan pengembangan manusia (human development) maka selain memperhatikan manusia sebagai objek dan subjek, pendidikan juga perlu memperhatikan masukan-masukan eksternal (eksternal input) yang sangat luas cakupannya, antara lain yang selama ini disebut kebudayaan.[2]
Islam sebagai agama samawi yang di-transfer ke wilayah yang bernama dunia tentunya peradaban-peradaban tempat asal dengan tempat yang dituju tidaklah sama persis apalagi wilayah duniapun antara satu sisi dengan sisi-sisi yang lain tidaklah sama maka dari itu konsep / ajaran pendidikan Islam tidak bisa disama ratakan akan tetapi toleransi yang tinggi baik dalam segi wacana / pemikiran maupun ibadah / amaliyah harus dapat bijak kepada suhu budaya yang ada dalam lingkungan yang tentunya tidak bersebragan dengan tujuan utama adanya Islam. 
Dalam dimensi kearifan lokal ini, pendidikan Islam dapat memanfaatkan media yang terlahir dari wujud budaya, wujud budaya ini antara lain adalah :
1.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai, norma-norma dan peraturan.
2.    Wujud kebudayaan sebagi suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[3]

Tiga wujud ini sebagai dasar adanya budaya maka pendidikan Islam mampu masuk sebagai pemegang peran penting didalammnya supaya perilaku manusia dapat terkendali oleh pendidikan Islam.
Adapun maksud dari tiga wujud tersebut yang harus dikendalikan adalah Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai, norma-norma dan peraturan ini yang bersifat abstrak yang tak dapat diraba atau difotho ini dapat dipengaruhi secara total oleh pendidikan Islam semisal penghormatan terhadap arwah leluhur, ritual mengirim do’a kepada jenazah, do’a terhadap bayi dalam kandungan dan bentuk abstrak lain yang pada awalnya bagian dari kebudayaan warga bumi.  Wujud ini kemudian diarahkan dengan tujuan kelompok penganut kebudayaan dapat tertata ide, gagasan, nilai, dan normanya sehingga sopan santun sesuai dengan kepentingan yang tertata dalam pendidikan Islam.
Wujud kedua adalah Wujud kebudayaan sebagi suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat wujud yang kedua ini sering disebut dengan tatanan sosial. Islam sebagai Rokhmatal lil ‘alamin harus dapat mengarahkan manusia kepada tatanan sosial yang memiliki peradaban luhur dalam budayanya dan dapat beradaptasi dengan perubahan zaman. Contoh dari wujud kebudayaan ini salah satunya adalah penegakan nilai hukum. Penegakan nilai hukum / keadilan di tengah masyarakat adalah dengan cara manusiawi.[4] Dalam sisi wujud ini Islam mampu menyajikan pendidikan sebagai pengaruh budaya hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat sehingga penerapan hukum dapat menerapkan konsep amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana dalam surat ali Imran : 110.

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# .[5]
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Wujud yang ketiga adalah Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau kebudayaan fisik yang secara konkrit dapat dilihat, diraba dan di photo. Kebudayaan fisik disini bukanlah nilai sesembahan tapi nilai artistik atau simbol dari bentuk aktivitas manusia.
Benda-benda yang menjadi wujud ketiga ini kita sering jumpai pada sebuah patung yang dijadikan hasan maupun maskot, logo, benda perabotan hasil produk budaya. Pendidikan Islam disini harus mampu mewarnai produk tersebut sehingga corak, penggunaan dan bahan bakunya bukan dari hal-hal yang dilarang oleh Islam.
Dari ketiga dasar budaya inilah pendidikan Islam harus bisa menyusup sehingga kebudayaan yang ada dalam masyarakat secara mutlak terpengaruh oleh pendidikan Islam atau pendidikan Islam membentuk budaya baru yang dapat diterima masyarakat tanpa adanya rasa keberatan.
C.    Pendidikan Islam Sebagai Tulang Punggung Perubahan Pendidikan.
Dengan bergantinya zaman berganti pula peradaban, kebutuhan dan tingkah laku manusia baik karena faktor alamiah maupun tuntutan. Pendidikan yang bagi manusia merupakan sebuah kendali dalam bertingkah tidak bisa terpaku atau monoton tanpa melihat kebutuhan manusia pada tatanan zaman yang sedang maupun akan dialaminya oleh manusia.
Filosofi posmodern menekankan secara kontekstual konstruksi pemahaman (meanings) dan mensahihkan berbagai perspektif
Landasannya adalah:
1.      Pengetahuan dikonstruksi oleh manusia dan sekelompok/sejumlah manusia
2.      Realitas adalah multi perspektif
3.      Kebenaran diletakkan dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan kemasyarakatan
4.      Kehidupan adalah teks; pemikiran adalah interpretasi tindakan
5.      Fakta dan nilai tidak dapat dipisahkan
6.      Ilmu pengetahuan dan semua kegiatan kemanusiaan sangat mempunyai nilai dan berkaitan

Sajian Pendidikan dalam Islam sebagai pemeran utama dalam perubahan pendidikan secara umum perlu dijalankan bukan hanya sekedar wacana belaka. Konsep yang penting dan perlu diterapkan adalah pemahaman akan diri manusia itu sendiri baik dalam nilai sosial maupun sebagai sosok hamba yang memiliki tujuan jelas dan terencana.[6] Pendewasaan sebagai anggota masyarakat peserta didik, masyarakat dalam artian negara maupun  umat dalam artian agama harus betul betul tercermin amalannya sesuai dengan zaman yang sedang dilewati dan wacananya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rencana pembentukan peradaban yang akan dilewati.
Pendidikan Islam sebagai Agen of change dalam pendidikan tentu nilai-nilai demokrasi harus bisa dikembangkan namun dengan kadar positif dengan menggunakan rambu-rambu demokrasi secara baku bukan demokrasi untuk kepentingan sendiri. Kurikulum yang dijadikan sebagai peta-nya pendidikan juga harus tertata rapi, terfokus dan tertuju pada satu titik tujuan yang jelas sesuai kebutuhan yang ingin dicapai.
Jika kurikulum pendidikan Islam yang dijadikan peta tidak bisa tertata rapi, terfokus dan tertuju maka hasil dari pendidikan Islam akan berakibat acak-acakan, tidak sesuai harapan dan tidak pula tepat sasaran seperti dalam wacana yang diidam-idamkan.   

D.    Pendidikan Islam dan  Intellectual Democracy Posmodern.
Demokrasi dalam dunia pendidikan Islam harus diajarkan namun muatan-muatan yang disampaikan juga harus tidak bersebrangan apalagi keblabasan sehingga tidak sesuai dengan ajaran Islam yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Setiap individu dalam Islam melalui peranan pendidikannya haruslah dihormati baik itu warga belajar maupun masyarakat. Adanya kritik seharusnya dapat dijaikan koreksi dan pembangkit cara berfikir sedangkan problem-problem yang muncul sendiri maupun dibuat-buat dapat diselesaikan / ada solusi yang humanis sehingga pelaku yang ada didalamnya  tidak serta merta saling mencari sisi kesalahan.
Secara umum, bentuk pandangan Intellctual Democrasi Posmodern merupakan sebuah analisis mendalam terhadap fenomena modernitas dengan segala realitas yang melingkupinya sehingga kebebasan disini akan banyak lahir norma kebenaran yang tidak hanya terlahir dari dunia pendidikan saja melainkan berbagai unsur yang ada dalam ruang lingkup akal maupun masyarakat yang mempengaruhinya.
Pada hakikatnya, pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Maka dari itu pendidikan Islam dapat dijadikan filter sehingga akal dan jiwa manusia tidak mudah rusak terkontaminasi oleh keberadaan zaman yang diarunginya. Pasokan materi guna memenuhi kebutuhan Intellctual Democrasi Posmodern jangan sampai lepas dari al-Qur’an, al-Hadits berikut ijma dan qiys supaya tidak salah pemaknaan.
Pendidikan Islam yang cenderung saat ini dipakai harus dapat memposisikan diri untuk dijadikan kendali ketika demokrasi yang terlahir terlalu berlebih-lebihan maka metode yang dijadikan alat Pendidikan Islam harus bisa menggiring peserta didik pada wilayah yang teratur.  Adapun metode yang perlu dalam Intellctual Democrasi Posmodern :

1.      Aktif, dialogis dan kritis.
Aktif, dialogis dan kritis disini tidak diperbolehkan dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan tatanan-tatanan yang ada dalam pondasi pokok ajaran Islam. Seorang guru, murid maupun lainnya yang ada dalam masyarakat belajar diperkenankan melakukan hal tersebut tapi harus tetap sadar diri akan adanya rambu-rampu yang wajib di indahkan.

2.      Mengubah isi program pendidikan ke arah yang menyadarka.
Tujuan pendidikan sebagai tujuan utama dalam pembentukan peradaban manusia harus dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk manusia yang sadar diri, baik sadar diri akan adanya perubahan zaman, kebutuhan maupun sadar diri akan hakikat manusia dan tujuan hidup itu sendiri apa. Ketika pendidikan Islam tidak bisa mejadikan manusia  semakin sadar diri sebagai makhluk sosial maupun hamba maka pendidian Islam tersebut hanya akan sia-sia dan merugi

3.      Pemilihan tema yang tepat.
 Pemilihan tema yang tetap merupakan hal yang tida kalah penting kaitannya dalam pendidikan. Islam melalui pendidikannya harus dapat menyajikan tema yang tepat tujuannya supaya peradaban manusia tidak salah arah dalam menentukan kiblatnya peradaban manusia. Tema-tema yang digunakan harus bisa berperan positif bagi Islam maupun bagi kepentingan peradaban manusia. Ketika hal tersebut tidak bisa berperan positif makan pada akhirnya akan berbuah simalakama dan sama halnya mengantarkan manusia pada zaman kebodohan.



BAB III
KESIMPULAN


Menyadari bahwa dalam memandang hubungan antara manusia dengan manusia lain harus dilakukan secara demokratis supaya tidak ada rasa kekangan antar satu pihak yang ada. Maka perlu adanya Pendidikan Islam sebagai pengendali akan jalannya demokrasi supaya pemikiran-pemikiran masyarakat pendidikikan atau umum bisa humanis sesuai pandangan Islam.
Sebagai bentuk humanisasi Islam dalam dunia pendidikan memang perlu adanya kerja keras supaya bentuk-bentuk ajarannya dapat dijadikan spirit / ghiroh menuju peradaban yang lebih maju. Perlunya peranan pendidikan Islam Terhadap Kearifan Lokal dapat dijadika sebagai alat / media supaya produk-produk budaya dapat diwarnai oleh keberagaman Islam yang tentunya tidak bisa lepas dari nilai-nilai humanisme.
Pengaruh pendidikan Islam terhadap perubahan pendidikan tentunya mau dan mampu sebagai agen perubahan pendidikan supaya Pendidika Islam hanya sebatas sebaga ma’mum dalam pembentukan peradaban manusia. Kemudian pendidikan Islam dalam kaitannya memproses Intellectual Democracy harus betul-betul dapat menentukan pandangan pemikiran masyarakat belajar dengan maksud meningkatkan kwalitas yaitu dengan metode-metode yang tertata bukan sekedar asal-asalan.



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. ALWAAH),

Harits Hamam, Pluralitas Aswaja, (Yogyakarta : abata, 2009),

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Adicipta Karya Nusa, 2002),

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994)

Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, cet 2 (bandung : alfabeta, 1995).

Zuhairini, 2006, Sejarah Pendidikan Islam, Cet VI, (Bumi Aksaara : Jakarta)





















[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. ALWAAH),

[2]  Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Adicipta Karya Nusa, 2002), hal. 1
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm 5
[4] Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, cet 2 (bandung : alfabeta, 1995), hal 265.
[5] Ibid. Hlm 305
[6] Harits Hamam, Pluralitas Aswaja, (Yogyakarta : abata, 2009), hlm. 101

No comments: