Thursday, 27 September 2012

IJMA’



A.    Pendahuluan
Menurut penyelidikan dapat dipastikan bahwa  dalil-dalil Syariah yang diambil dari padanya hukum-hukum amalillah berpangkal pada empat pokok yaitu : al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.[1]
Apabla terjadi suatu kejadian, untuk mencari hukmnya adalah dengan urutan dari dalam al-Qur’an, jika tidak ada didalamnya maka dicari dalam as-Sunnah (hadits) Nabi Muammad S.A.W, jika dalam hadits masih tidak ada maka haruslah mlihat Ijma’ dari para mujtahidin karena merekalah ulil amri bagi umat Islam dalam hal pembentukan hukum Islam.
Ijma merupakan sumber hukum Islam ketiga setehah al-Qur’an dan as-sunnah. Keberadaan ijma tidak diwahyukan melainkan kesepakatan para ulama. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang makna Ijma’, Kehujjahan Ijma, Macam-macam Ijma’ dan contoh Ijma’.
Dengan bertambahnya pengetahuan hukum Islam yang tidak diwahyukan terutama Ijma’, maka kita akan lebih tahu tentang sumber hukum Islam.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah ‘azm (cita-cita).[2] seperti dalam  firman Allah S.W.T dalam surat yunus ayat 71 berbunyi:
...... فَأَ جْمِعُو اَمَرَكُمْ وَشُرَكَأَكُم ...... (يونس:٧١ )
...... Maka bulatkanlah keputusan mu dan (kumpulkanlah) sekutumu ......  (Qs.Yunus :71).[3]

Ijma’ menurut istilah adalah:
اِتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ  مِنَ الْاُمَةِ اْلاِسْلَامِيَةِ فِي عَصْرٍ مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ اِنْتِهَاءِ فَتْرَةِ اْلرِّسَالَةِ عَلىَ حُكْمٍ شَرْعِىِّ.
“Kebetulan para mujtahidin dari umat Islam disuatu masa sesuah berakhir zaman risalah terhadap sesuatu hukum syara’.[4]
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada semua mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan mereka disebut Ijma’. Kemudian dianggaplah ijma’   mereka atas suatu hukum mengenai hal itu sebagai dalil bahwa hukum ini adalah bagian dari syariat Islam. Mengenai suatu kejadian. Definisi ini ditetapkan setelah wafatnya Rosulullah S.A.W karena ketika beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum Islam. Sehingga tidaklah terjadi perselisihan mengenai hukum Islam dan tidak pula terjadi kesepakaan (Ittifaq) sebab kesepakatan itu tidak akan dapat terwujud kecuali dari beberapa orang.[5]
2.      Kehujjahan Ijma’
Ijma’ itu menjai hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak dapat dalil (nash), yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Dalil tersebut berlaku ketika sudah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nash yang qoth’i yaitu kitabllah dan Hadits muthawatir.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai ke-hujjah-an ijma’ itu dzanni bukan qoth’i. Oleh karena nilai ijma’  itu dzanni maka dapat dijadikan hujjah  (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan ittiqod sebab urusan ittiqod sebab urusan tersebut harus dengan dalil yang qoth’i.[6]
Bukti kehujjahan ijma adalah hal-hal sebagai berikut :
a.    Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T telah memerintahkan tatat kepada ulil amri diantara umat Islam sebagai mana perintah kepada mu’minin mentaati Allah S.W.T dengan Rosulnya dan kepada ulil amri sebagaimana dalam Qs an-Nisa : 59.
يَا اَيُهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللَهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الْاَمْرِمِنْكُم (النساء :۵۹)  
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah S.W.T dan taatilah Rosul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu” (Qs an-nisa : 59).[7]
b.    Hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahidin pada hakikatnya adalah hukum Islam yang diperankan oleh mujtahid. Sebagaimana dijelaskan Nabi S.A.W  dalam sebuah hadits sebagaimana berikut :
لَاتَجْمَعُوْ اُمَّتِىْ عَلَى خَطَا ءِ
“Tidaklah berkumpul umatku untuk melakukan kesalahan”.
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa “tidaklah Allah menghimpun umatku untuk melakukan kesalahan”. Dalam sebuah hadits yang berbunyi
لَمْ يَكُنِ اللهَ ليَجْمَعُوْ اُمَّتِىْ عَلَى الظَلاَلَةِ
c.    Ijma’ atas hukum Syar’i  itu harus disandarkan kepada tempat bersandar syar’I, karena mujtahid Islam itu mempunyai batas- batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
3.      Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ dari sudut cara menghasilkan ada dua yaitu :
a.    Ijma’ Shorikh (The Real Ijma’)
Ijma’ Shorikh adalah ijma’  yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid disuatu masa atas hukum pada peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing scara jelas dengan sistem fatwa atau qodho (memberi keputusan) yang artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau  perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya.
b.    Ijma’ Syukuti (the Silent Ijma’)
Ijma’ Syukuti adalah keputusan dari sebagaian para mujtahid disuatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho, sedang sedang sebagaian mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokan atau perbedaannya.
Sedangkan ijma’ dilihat dari sudut bawah juga ada dua macam yaitu :



a.    Ijma yang Qoth’i dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan)
Ijma Qoth’i yang dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan) yaitu  Ijma’ Shorih dengan artian bahwa hukum telah dipastikan dan tidak ada jalan untuk mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
b.    Ijma yang Dhanni dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan)
Ijma yang Dhanni dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan) yaitu ijma’ sukuthi dalam artian bahwa hukum tersebut terdapat dugaan yang kuat (hasil dari dugaan yang kuat) dan tidak bisa lepas bila kejadian (yang didugakan hukumnya) itu terlepas dari usaha ijtihad karena iya adalah hasil pencerminan pendapat jama’ah mujtahid yang bukan keseluruhan.[8]
4.      Contoh Ijma’
Beberapa contoh mengenai soal yang telah ditetapkan oleh ketetapan ijma’ seperti pada kekhalifahan Abu Bakar yang membahas tentang keharaman babi, pembagian waris seper enam bagi nenek, tertutupnya ibni-ibni dari pewarisan sebab adanya ibni dan lain sebagainya dari hukum-hukum juz’iyah (bagian) dan qullyah (total).[9]
C.     Kesimpulan
Ijma’ merupakan kebetulan pendapat para mujtahidin  disuatu masa sesudah berakhirnya zaman risalah terhadap sesuatu hukum Syara’. Ijma’ menjadi pegangan (hujjah) dengan sendirinya ditempat yang tidak dapat dalil (nash) yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Jika telah disepakati oleh semua ulama Islam dan selama tidak menyalahi Kitabullah dan Hadits mutawatir (nash yang qoth’i).

Daftar Pustaka

Abdul Wahab Khollaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Cet 6, Rajawali Persada.
Departemen Agama, 1993, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV ALWAAH.
Hasbi Ash-Sidiqy, 1985, Pengantar Fiqih, Cet 4, Jakarta : Bulan Bintang
H. Moh. Rifa’i, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, cet I, Semarang : PT Karya Toha Putra.














[1]  Abdul Wahab Khollaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Rajawali Persada, Cet 6, hlm 18
[2] Ibid,  hlm. 63-64
[3] Departemen Agama, 1993, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : CV ALWAAH), hal. 317
[4] Hasbi Ash-Sidiqy, 1985, Pengantar Fiqih, Cet 4, (Jakarta : Bulan Bintang), hlm 178
[5] Op.cit, Kaidah-kaidah …..., hlm 64
[6] H.Moh. Rifa’i, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, cet I (Semarang : PT Karya Toha Putra), hlm 36
[7] Op.Cit, Al-Quran dan …., hlm 128.
[8]  Op.Cit, Kaidah-kaidah...., hlm 67-69
[9] Ibid, hlm 72

No comments: