A.
Pendahuluan
Menurut
penyelidikan dapat dipastikan bahwa
dalil-dalil Syariah yang diambil dari padanya hukum-hukum amalillah
berpangkal pada empat pokok yaitu : al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’
dan al-Qiyas.[1]
Apabla terjadi
suatu kejadian, untuk mencari hukmnya adalah dengan urutan dari dalam
al-Qur’an, jika tidak ada didalamnya maka dicari dalam as-Sunnah (hadits) Nabi
Muammad S.A.W, jika dalam hadits masih tidak ada maka haruslah mlihat Ijma’
dari para mujtahidin karena merekalah ulil amri bagi umat Islam dalam
hal pembentukan hukum Islam.
Ijma merupakan
sumber hukum Islam ketiga setehah al-Qur’an dan as-sunnah. Keberadaan ijma
tidak diwahyukan melainkan kesepakatan para ulama. Dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang makna Ijma’, Kehujjahan Ijma, Macam-macam Ijma’
dan contoh Ijma’.
Dengan
bertambahnya pengetahuan hukum Islam yang tidak diwahyukan terutama Ijma’,
maka kita akan lebih tahu tentang sumber hukum Islam.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah ‘azm (cita-cita).[2]
seperti dalam firman Allah S.W.T dalam
surat yunus ayat 71 berbunyi:
...... فَأَ جْمِعُو اَمَرَكُمْ وَشُرَكَأَكُم ...... (يونس:٧١ )
Ijma’ menurut istilah adalah:
اِتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْاُمَةِ اْلاِسْلَامِيَةِ فِي عَصْرٍ
مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ اِنْتِهَاءِ فَتْرَةِ اْلرِّسَالَةِ عَلىَ حُكْمٍ
شَرْعِىِّ.
“Kebetulan
para mujtahidin dari umat Islam disuatu masa sesuah berakhir zaman
risalah terhadap sesuatu hukum syara’.[4]
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada
semua mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya dan mereka sepakat atas
suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan mereka disebut Ijma’. Kemudian
dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu
sebagai dalil bahwa hukum ini adalah bagian dari syariat Islam. Mengenai suatu
kejadian. Definisi ini ditetapkan setelah wafatnya Rosulullah S.A.W karena
ketika beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum Islam.
Sehingga tidaklah terjadi perselisihan mengenai hukum Islam dan tidak pula
terjadi kesepakaan (Ittifaq) sebab kesepakatan itu tidak akan dapat terwujud
kecuali dari beberapa orang.[5]
2.
Kehujjahan Ijma’
Ijma’ itu menjai hujjah (pegangan) dengan sendirinya di
tempat yang tidak dapat dalil (nash), yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Dalil
tersebut berlaku ketika sudah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama
tidak menyalahi nash yang qoth’i yaitu kitabllah dan Hadits
muthawatir.
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa nilai ke-hujjah-an ijma’ itu dzanni
bukan qoth’i. Oleh karena nilai ijma’ itu dzanni maka dapat dijadikan hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam
urusan ittiqod sebab urusan ittiqod sebab urusan tersebut harus
dengan dalil yang qoth’i.[6]
Bukti kehujjahan ijma
adalah hal-hal sebagai berikut :
a.
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T telah memerintahkan
tatat kepada ulil amri diantara umat Islam sebagai mana perintah kepada
mu’minin mentaati Allah S.W.T dengan Rosulnya dan kepada ulil amri sebagaimana
dalam Qs an-Nisa : 59.
يَا اَيُهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللَهَ
وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الْاَمْرِمِنْكُم (النساء :۵۹)
“ Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah S.W.T dan taatilah Rosul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu” (Qs an-nisa : 59).[7]
b.
Hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahidin
pada hakikatnya adalah hukum Islam yang diperankan oleh mujtahid. Sebagaimana
dijelaskan Nabi S.A.W dalam
sebuah hadits sebagaimana berikut :
لَاتَجْمَعُوْ اُمَّتِىْ عَلَى خَطَا ءِ
“Tidaklah
berkumpul umatku untuk melakukan kesalahan”.
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa “tidaklah
Allah menghimpun umatku untuk melakukan kesalahan”. Dalam sebuah hadits yang
berbunyi
لَمْ يَكُنِ
اللهَ ليَجْمَعُوْ
اُمَّتِىْ عَلَى الظَلاَلَةِ
c.
Ijma’ atas
hukum Syar’i itu harus
disandarkan kepada tempat bersandar syar’I, karena mujtahid Islam itu
mempunyai batas- batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
3.
Macam-macam Ijma’
Macam-macam
ijma’ dari sudut cara menghasilkan ada dua yaitu :
a.
Ijma’
Shorikh (The Real Ijma’)
Ijma’
Shorikh adalah ijma’ yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid
disuatu masa atas hukum pada peristiwa dengan menampilkan pendapat
masing-masing scara jelas dengan sistem fatwa atau qodho (memberi
keputusan) yang artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas
tentang pendapatnya.
b.
Ijma’ Syukuti (the Silent Ijma’)
Ijma’
Syukuti adalah keputusan
dari sebagaian para mujtahid disuatu masa menampilkan pendapatnya secara
jelas mengenai peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho, sedang
sedang sebagaian mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan terhadap
pendapat tersebut mengenai kecocokan atau perbedaannya.
Sedangkan ijma’
dilihat dari sudut bawah juga ada dua macam yaitu :
a.
Ijma yang
Qoth’i dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan)
Ijma
Qoth’i yang dholallah-nya
atas hukum (yang dihasilkan) yaitu Ijma’
Shorih dengan artian bahwa hukum telah dipastikan dan tidak ada jalan untuk
mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
b.
Ijma yang
Dhanni dholallah-nya atas hukum (yang dihasilkan)
Ijma
yang Dhanni dholallah-nya
atas hukum (yang dihasilkan) yaitu ijma’ sukuthi dalam artian bahwa
hukum tersebut terdapat dugaan yang kuat (hasil dari dugaan yang
kuat) dan tidak bisa lepas bila kejadian (yang didugakan hukumnya) itu terlepas
dari usaha ijtihad karena iya adalah hasil pencerminan pendapat jama’ah mujtahid
yang bukan keseluruhan.[8]
4.
Contoh Ijma’
Beberapa contoh mengenai soal yang telah ditetapkan oleh
ketetapan ijma’ seperti pada kekhalifahan Abu Bakar yang membahas
tentang keharaman babi, pembagian waris seper enam bagi nenek, tertutupnya
ibni-ibni dari pewarisan sebab adanya ibni dan lain sebagainya dari hukum-hukum
juz’iyah (bagian) dan qullyah (total).[9]
C.
Kesimpulan
Ijma’ merupakan kebetulan pendapat para mujtahidin disuatu masa sesudah berakhirnya zaman risalah
terhadap sesuatu hukum Syara’. Ijma’ menjadi pegangan (hujjah) dengan
sendirinya ditempat yang tidak dapat dalil (nash) yaitu al-Qur’an dan
al-Hadits. Jika telah disepakati oleh semua ulama Islam dan selama tidak
menyalahi Kitabullah dan Hadits mutawatir (nash yang qoth’i).
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khollaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam,
Cet 6, Rajawali Persada.
Departemen
Agama, 1993, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV ALWAAH.
Hasbi
Ash-Sidiqy, 1985, Pengantar Fiqih, Cet 4, Jakarta
: Bulan Bintang
H. Moh. Rifa’i, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap,
cet I, Semarang : PT Karya Toha Putra.
[3]
Departemen Agama, 1993, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang : CV ALWAAH), hal. 317
[4]
Hasbi Ash-Sidiqy, 1985, Pengantar
Fiqih, Cet 4, (Jakarta : Bulan Bintang), hlm 178
[5] Op.cit, Kaidah-kaidah …..., hlm
64
[6]
H.Moh. Rifa’i, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, cet I (Semarang : PT
Karya Toha Putra), hlm 36
No comments:
Post a Comment